Selasa, 11 September 2012

MAPANDES


MAPANDES = POTONG GIGI

Sejarah Terjadinya Potong Gigi


Penggalian fossil-fossil manusia purba yang diketemukan di Gilimanuk yang diperkirakan berumur sekitar 2000 tahun yang lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sistem penguburan mayat yang terlipat dan pada gigi-gigi mereka menunjukkan tanda-tanda telah diasah. Dengan demikian maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa upacara potong gigi sudah dikenal dipulau Bali ini sejak 2000 tahun yang lalu.


Menurut G.A. Wilken seorang sarjana barat yang terkenal, menyebutkan bahwa pada bangsa-bangsa pra sejarah di daerah kepulauan Polinesia, Asia Tengah dan Asia Tenggara terdapat suatu kepercayaan pentingnya memotong bagian-bagian tertentu dari tubuh seperti rambut, gigi, menusuk (melobangi) telinga, tatuage (mencacah kulit) dan sebagai upacara berkorban kepada nenek moyang. Kepercayaan mutilasi tubuh ini sampai sekarang juga dikenal, dimana kebiasaan semacam itu sebagian dianggap sebagai adat dan sebagian lagi malahan dianggap sebagai sarat agama. Penyiksaan diri dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai korban dalam agama, antara lain adalah tapa dan brata.

Demikian pula upacara-upacara yang sudah merupakan adat agama Hindu di Pulau Bali antara lain ialah: upacara potong rambut pada waktu umur tiga bulan dianggap sebagai upacara penyucian, melenyapkan mala (kekotoran) dari rambut yang dibawa sejak lahir, disertai dengan upacara “metusuk kuping “ yaitu melobangi daun telinga. Disamping itu upacara 3 bulan ini adalah upacara perubahan status dimana si bayi mengambil nama (diberi nama secara resmi), berkenalan dengan alam sekitarnya, mempermaklumkan ke Bale Agung dan permakluman kepada Kepala Desa Adat sebagai warga desa yang baru.

Jadi potong rambut dan melobangi daun telinga ini dimana menurut G.A. Wilken dianggap sebagai korban kepada roh nenek moyang bagi orang primitif kini mempunyai arti perubahan status dan penyucian dalam agama Hindu di Bali. Demikian pulalah halnya upacara potong gigi yang akan kita bicarakan sekarang lebih bersifat adat agama, karena ditunjuk dan ditunjang oleh mithology-mithology keagamaan sehingga upacara ini menjadi bernilai sakral atau suci.

Untuk memberikan gambaran sedikit mengenai arti gigi dalam mithology-mithology di Bali kiranya baik kalau kami kemukakan beberapa petikan atau garis besar isi ceritra-ceritra yang disebutkan dalam mithology-mithology itu.

a. Petikan dari PUJA KALAPATI

b. Ringkasan dari Kala Tattwa

c. Ringkasan ceritra Semaradahana.

Dari beberapa petikan lontar atau Ringkasan ceritra yang kami sebutkan di atas maka dapat kita tarik suatu kesimpulan :

Puja Kalapati.
Gigi yang wajib dipotong adalah taring dan gigi seri. Kalau tidak melaksanakan upacara potong gigi maka mala (kekotoran) yang disebabkan oleh kelahiran akan terbawa sehingga yang bersangkutan tetap masih berjasad bhuta, kala, pisaca dan sebagainya.
Kalau masih berjasad bhutakala maka para Dewa dan Pitara tidak akan berani dekat sehingga akhirnya waktu meninggal tidak akan bisa bertemu dengan Ibu Bapa (mungkin yang dimaksud disini adalah penciptanya yaitu Sanghyang Widhi).
Sebab itu Sanghyang Parameswara menganugrahkan kepada manusia Puja Kalapati. Perlu dimaklumi bahwa puja atau mantramnya tercantum dalam puja Khalib. Yang isinya merupakan tuntunan melaksanakan upacara kalau terjadi perubahan umur, status atau kwalitas yang disebabkan oleh peningkatan umur ataupun peningkatan kesucian.

Dari Ringkasan Kala Tattwa kita dapat simpulkan :
Bhatara Kala lahir dari Kama (air  mani) yang salah tempat dan salah  waktu (maksudnya pertemuan sex  yang didasarkan pada semata-mata  hawa nafsu).  Bhatara kala ingin menemui Ibu  Bapanya. Baru bisa bertemu atau mengenal Ibu  dan Bapa setelah taringnya dipotong.

Dari Ringkasan Semaradahana kita dapat simpulkan :
Dewa Ganesa lahir dari kama  (hubungan sex akibat panah dewa  asmara) yang dilakukan atas keinginan Dewa-Dewa. Dewa Ganesa baru bisa mengalahkan  raksasa Nilarudraka setelah taringnya  patah dan dengan senjata itu raksasa  itu dibunuh.  Disini menonjol peranan Dewa  Semara Ratih.
Setelah kami ambil point-point dari ketiga ceritra ini maka rupa-rupanya ceritra inilah yang dipakai sebagai dasar rituil dan dasar etik dalam melaksanakan upacara potong gigi yang di Pulau Bali dikenal dengan upacara Mapandes atau Metatah.  Tujuannya untuk melenyapkan sifat Bhutakala agar bisa bertemu kembali dengan penciptanya (Ibu Bapa) setelah meninggal.

Disamping itu ada versi yang lain lagi yaitu dari lukisan Atmaprasangsya yang dilukiskan di Taman Kertaghosa Klungkung. Disana ada gambaran pitara yang dihukum menggigit pangkal bambu karena bersalah selama hidup belum pernah melakukan potong gigi.
Mungkin ceritra ini merupakan salah satu dari pada anjuran yang bersifat menakut-nakuti agar orang mau melaksanakan upacara potong gigi. Jelaslah fungsi upacara potong gigi, merupakan pelunasan hutang kewajiban dari orang tua kepada anak-anak mereka, dengan harapan setelah upacara itu anak-anak mereka tidak lagi dikuasai oleh sifat-sifat bhutakala. Mengapa ada hubungannya dengan bhutakala, bukankah bayi itu dilahirkan tanpa dosa? 

Orang tua mereka telah melakukan senggama didorong oleh hawa nafsu, sehingga lahirlah anak yang memiliki sifat keraksasaan. Sifat-sifat ini diwariskan oleh orang tua mereka. Oleh karena itu ibu dan bapak merasa berhutang yaitu hutang kewajiban. Perasaan berhutang sering menimbulkan penasaran bila anaknya yang sudah dewasa meninggal dan belum sempat diupacarai potong gigi. Mereka bersikeras untuk melaksanakan upacara potong gigi itu sebelum mayat anaknya diaben. Sampai sekarang dikalangan masyarakat Bali timbul pro dan kontra tentang boleh dan tidak bolehnya orang yang sudah meninggal diupacarai potong gigi. Masalah pro kontra ini kami akan sajikan pada bagian akhir tulisan ini. Sebagaimana diketahui Umat Hindu suka sekali memakai simbol-simbol, temyata simbol-simbol ini kalau kita dalami banyak sekali mengandung kebenaran-kebenaran yang tersembunyi. Kiranya untuk dapat mengerti arti simbol-simbol itu perlu diikuti jalan pikiran nenek moyang kita, pencipta mithology-mithology itu terlebih dahulu. Untuk itu kita harus menempatkan diri ke alam mereka dan menghayati simbol-simbol ini dalam suasana yang dialami nenek moyang kita itu. Tafsiran yang lepas dari suasana dan lingkunganya akan melahirkan tafsiran yang keliru.

Dibawah ini kita akan bahas satu persatu aspek-aspek potong gigi ini dengan memakai latar belakang petikan ceritra-ceritra yang telah kami sebutkan tadi.
Mulai umur berapa orang baru boleh melaksanakan upacara potong gigi?
Untuk memberikan jawaban kepada pertanyaan ini sumber-sumber lontar yang telah kami sebutkan tidak ada menyinggung secara tegas. Namun dalam Lontar Tutur Sanghyang Yama ada disebutkan sebagai berikut:
... mwah yan amandesi wwang durung angraja, pada tan kawenang, amalat rare ngaranya, tunggal alanya ring wwang angrabyaning wwang durung angraja, tan sukrama kna ring jagat megawe sanggar negaranira Sri Aji.
Terjemahan bebasnya :
... lagi jika memotong gigi orang yang belum kotor kain, sama sekali tidak dibenarkan, memperkosa bayi (anak-anak) namanya, sama buruknya dengan orang yang mengawini orang yang belum kotor kain (belum dewasa) tidak patut hal itu dilakukan di dunia akan mengakibatkan rusaknya negara sang raja.

Jadi dengan demikian seseorang baru boleh melaksanakan upacara Mepandes setelah mereka naik dewasa dalam arti sudah pernah kotor kain. Didalam Smaradahana ada disinggung sedikit bahwa kelahiran Bhatara Ganesa adalah perbuatan Bhatara Semara. Sebab itu maka di dalam upacara Mepandes yang dilaksanakan di Bali pada umumnya maka Bhatara Semara Ratih-lah yang dipuja (memakai Puja smara) dengan harapan agar Beliau menuntun hawa nafsu keinginan yang diupacarai. Warna yang menonjol adalah warna kuning.
Demikian pula hiasan-hiasan yang dipergunakan serba kuning lambang cinta kasih, karena Dewa Semara adalah Dewanya cinta kasih. Dengan demikian upacara potong gigi ada hubungannya dengan mulainya pria dan wanita merasakan getaran cinta (puber) sebagai tanda Sanghyang Semara Ratih telah masuk di dalam kalbu kedua insan yang berlainan jenis ini. Sanghyang semara Ratih telah diperintahkan oleh Bhatara Siwa untuk memasuki lubuk hati semua mahluk. Perintah itu diucapkan waktu Beliau menebarkan abu Sanghyang Semara Ratih ke dunia. Namun walaupun demikian waktu yang paling tepat untuk melaksanakan upacara potong gigi adalah pada umur meningkat dewasa dan sudah kotor kain.
Konon menurut para Sangging (tukang tatah gigi) kalau gigi itu sudah tua, gigi itu mudah rapuh dan cepat rusak, sedang gigi orang muda katanya lemas dan kuat.
Walaupun sudah ada anjuran sebaiknya upacara potong gigi itu dilaksanakan pada waktu masih muda namun orang Bali membenarkan pemilihan situasi sesuai dengan desa, kala, patra, yaitu keadaan keuangan mereka, hari yang dianggap baik, dan keadaan lainnya yang mendukung terselenggaranya upacara tersebut.
Mungkin saja pada waktu masih muda orang tuanya belum cukup mempunyai uang untuk melaksanakan upacara, sebab itu tidaklah ada kata absolut yang harus dalam adat agama Hindu. Upacara potong gigi-pun bisa ditunda sampai keadaan memungkinkan. Masalah biaya, adanya hari baik dan kalau mungkin mencari kesempatan agar bisa bersama-sama dengan adik-adiknya atau familinya sekaligus juga dengan tujuan mengirit biaya.

Tujuan Upacara Potong Gigi (Mepandes).

Berdasarkan lontar-lontar dan mithology-mithology yang telah kami sebutkan di muka dapatlah ditarik suatu kesimpulan yaitu :
  1. Upacara potong gigi adalah upacara  penyucian bagi orang yang sudah  menginjak dewasa, agar menjadi  manusia yang baik.
  2. Swadharma atau kewajiban dari orang tua yang merasa bertanggung jawab mendidik dan menuntun putra-putrinya menganggap secara spiritual dan ritual perlu memotong gigi (mandesin) putra-putriya agar sifat-sifat Bhuta kala pisaca itu dapat ditinggalkan sehingga putra-putrinya menjadi manusia yang baik atau suputra. Orang tua yang belum melaksanakan upacara potong gigi untuk putra-putrinya menganggap dirinya masih belum selesai (berhutang) terhadap salah satu kewajibannya sebagai orang tua.
  3. Gigi tajam ataupun taring selalu dihubungkan dengan sifat-sifat Bhuta kala pisaca yang sering dihubungkan dengan sadripu (6 musuh utama dari kebaikan) yaitu : 1. kama (keinginan); 2. kroda (kemarahan); 3. lobha (tamak); 4. moha (kebingungan karena gejolak hawa nafsu); 5 mada (kemabukan); dan 6. matsarya (iri hati).
  4. Kalau sudah melaksanakan potong gigi (kelak setelah meninggal) agar bisa bertemu dengan orang tuanya, mungkin yang dimaksud dengan orang tuanya disini adalah penciptanya yaitu Ida Sang Hyang Widhi yang memang menjadi “sangkanparan” yaitu asal mula dan tujuan akhir dari manusia yaitu mencari Ida Sang Hyang Widhi.

Cita-cita orang tua yang bertanggung jawab selalu menginginkan putra-putrinya agar menjadi manusia utama sebab itu disamping pendidikan lahiriah baik melalui sekolah ataupun tuntunan-tuntunan berupa nasehat atau petuah-petuah. Mereka meaganggap perlu memohonkan doa kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud Beliau sebagai Sanghyang Semara Ratih penguasa dari hawa nafsu keinginan. Untuk itulah dibuatkan upacara (ritual) yang bersifat simbolik dalam bentuk upacara mepandes. Gigi yang dipakai sebagai obyek simbol rupanya dalam pandangan Adat Agama Hindu mempunyai kias atau perumpamaan yang cukup masuk akal. Sebagaimana diketahui pada umumnya binatang yang disebut dan digolongkan binatang buas adalah binatang yang bergigi tajam seperti halnya anjing, harimau, kucing dan sebagainya yang hampir semuanya makan daging. Sebaliknya binatang yang tidak bergigi tajam dimasukkan binatang memamah biak dan tidak makan daging. Dalam katagori ini apakah manusia masuk binatang buas atau memamah biak? Nyatanya sifat-sifat manusia bisa lebih buas dari binatang buas tetapi bisa juga lebih lembut dari binatang memamah biak.

Kita sebagai manusia sepatutnya tidak sebuas seperti binatang. Lambang kebuasan itu disimbolkan dengan gigi yang tajam. Sebab itulah maka upacara potong gigi itu berfungsi sebagai simbol bahwa seseorang haruslah mengendalikan kebuasannya itu. Sebagaimana diketahui pada upacara potong gigi hanya enam buah gigi di atas saja yang dipotong, yaitu dua buat taring dan empat buah gigi seri yang bagian rahang atas, sedangkan gigi yang bagian rahang bawah tidak dipotong. Ini merupakan simbol bahwa dharma atau ketidakbuasan letaknya di atas dari pada adharma atau kebuasan, kebaikan harus mengatasi ketidakbaikan.
Jelaslah bahwa nafsu dan keinginan-keinginan yang bergejolak dari anak muda yang baru naik dewasa harus dapat diatasi oleh ajaran-ajaran kebenaran yang berwujud ethik sopan santun.
Semuanya ini disimbolkan dengan gigi yang rata. Mengapa tidak semua gigi itu diratakan? Didalam agama Hindu dikenal ajaran Rwabhineda, dua hal yang selalu berlawanan. Pertemuan dari kedua hal yang berbeda itu melahirkan kemajuan dan peningkatan. Kita tidak boleh membunuh indria-indria atau keinginan-keinginan  atau  nafsu-nafsu  kita sepenuhnya. Manusia tanpa keinginan sama dengan batu, sebab nafsu keinginan itu menimbulkan kemajuan. Kalau keinginan dikendalikan secara benar dan terarah akan mcndorong untuk maju. Tetapi kalau tidak dikendalikan dia akan merusak, indria itu harus diatasi dengan kebajikan dan dharma, sebab itu pulalah yang rata letaknya di atas dari pada gigi yang tajam. Dua sifat yang berbeda dan bertentangan ini memang kita dapati di dalam segala wujud atau berbagai-bagai wujud di dunia ini : ada siang ada malam, ada laki ada perempuan, ada baik ada buruk, demikian pula pada segala jenis mesin tentu ada gerak maju dan mundur lihatlah seker mobil pada suatu mesin dia selalu maju mundur. Demikian pula listrik geraknya selalu mati, hidup. Gerak mati, hidup, demikian rupa, karena berlangsung cepat tampaknya seperti hidup terus padahal sebenamya mengalami proses mati, hidup. Gerak yang berbeda ini atau gerak yang bertentangan inilah yang menimbulkan kemajuan.

Itulah sebabnya maka tidak semua gigi yang tajam itu diratakan. Manusia dilahirkan dengan membawa 3 sifat yaitu sifat satwam, rajas dan tamas, sifat satwam dianggap sifat baik, rajas dianggap kurang baik dan tamas dianggap tidak baik. Jika sifat satwam bertemu dengan rajas, maka kebaikan akan didorong maju dengan cepat. Tetapi sebaliknya bila sifat rajas bersatu dengan tamas maka kejahatan akan dipacu dengan deras. Sifat rajas sangat berguna untuk mendorong ke arah kebaikan atau kehancuran.
Didalam upacara potong gigi juga diadakan kesaksian yaitu upacara persaksian kehadapan Ida Sang Hyang widhi dalam manifestasi beliau sebagai Semara Ratih. Sanghyang Semara Ratih di dalam agama Hindu adalah penguasa dari hawa nafsu keinginan dan cinta kasih.  Kita sebagai manusia pada waktu naik remaja mengalami gejolak hawa nafsu keinginan. Semua tingkah laku anak-anak yang sedang puber ingin serba bhairawa, yaitu serba hebat merangsang dan menarik. 

Kalau gelora nafsu ini tidak dikendalikan maka anak-anak muda akan melampiaskan nafsu sexnya sehingga terjadilah free sex, mereka melampiaskan nafsu kehebatannya dengan membentuk gang, perkumpulan berkelahi, ngebut-ngebutan dijalan dan sebagainya. Kepada Sanghyang Semara Ratih kita memohonkan doa dan perlindungan agar Beliau menuntun dan mengandalikan hawa nafsu keinginan ke arah yang benar.
Saat yang tepat untuk melaksanakannya adalah pada saat puber, menginjak dewasa, karena pada saat itu anak-anak sedang goyah pikirannya, emosionil dan ingin mendapat perhatian.

Upacara Potong Gigi setelah meninggal (mati).

Kalau upacara mepandes dilakukan setelah usia lanjut tidaklah banyak menjadi persoalan paling-paling hanya menimbulkan kesan-kesan sudah keliwatan atau terlambat. Tetapi yang sering menjadi masalah ialah jika upacara potong gigi dilakukan setelah yang bersangkutan meninggal.
Menanggapi masalah semacam ini di masyarakat banyak timbul pro dan kontra. Alasan-alasan mereka juga berdasarkan lontar-lontar dan tradisi yang ada. Untuk itu kiranya baik kalau kami petik sebagian dari isi lontar Castra Proktah sebagai berikut:
‘Iki linggih Castra proktah ngaran, mwah yan hana wwang durung apandes, katekan pejah, aywa amandesing wong pejah tan kawenang, angludi wangke ngaranya, yan amandesing sawa, yang mangkana kramanya, papa dahat, apan tan kawenang ikang wwung mati wehing sopakaraning wwang maurip, tunggal alanya sang maweh lawan sang wineh, tinemah de Bhatara Yama dipati”.
Artinya :
Inilah ucapan Castra Proktah, namanya, bila ada seseorang yang belum potong gigi lalu meninggal dunia, tidak dibolehkan, “angludi wangke” namanya Bila demikian halnya amatlah papanya (sengsaranya), karena tidak patut orang yang telah meninggal diupacarai dengan upacara orang hidup. Sama dosanya antara yang mengupacarai dan orang yang diberi upacara, dikutuk oleh Sanghyang Yamadipati.

Jadi menurut lontar ini orang yang sudah meninggal walaupun belum potong gigi, sangat dilarang mengupacarai potong gigi disebut ngeludin wangke katanya dan dikutuk kalau melanggarnya. Namun walaupun ada lontar yang menyebutkan sedemikian, kita menjumpai pula tradisi-tradisi yang hidup di masyarakat dengan peralatan-peralatan yang dipergunakan untuk Upacara potong gigi untuk orang yang telah meningal, walaupun tidak dalam bentuk tertulis namun bisa juga diterima oleh akal, dan sering dilakukan dahulu.

Dalam tulisan ini perlu kami kemukakan bukan berarti untuk diteladani, tetapi sebagai bahan penelitian terutama mengenai peralatan yang digunakan dan orang yang bertindak sebagai sangging (orang yang bertugas memotong gigi dengan kikir) adalah sebagai berikut:
  1. Yang bertindak sebagai sangging harus orang tuanya sendiri tidak boleh orang lain.
  2. Sebagai tumpuan tempat berdirinya sangging waktu menatah gigi itu dipergunakan padi, berdiri sambil menginjak padi.
  3. Tangan sangging itu digelangi dengan uang kepeng (satakan).
  4. Sebagai pengganti kikir (alat memotong gigi dipergunakan) anggapan yaitu alat yang biasa untuk memotong padi oleh para petani di Bali. Di beberapa daerah ada juga yang menggunakan bunga tunjung (teratai) sebagai pengganti kikir. Dalam hal ini sudah tentu bunga teratai ini hanya sebagai simbol saja untuk memotong  gigi.
  5. Penggunaan Lesung (alat penumbuk  padi), sebagai peralatan upakara.

Ketentuan ini kami petik dari Hasil Keputusan Seminar V. Kesatuan Tafsir Terhadap aspek-aspek agama Hindu.

Penjelasan :
ad.a. Mengapa orang tuanya sendiri yang bertindak sebagai Sangging? Hal ini mungkin mengambil kias dari ceritra Kalatattwa dimana Bhatara Siwa-lah yang memotong taring Bhatara Kala agar Bhatara Kala bisa mengenal orang tuanya sendiri.
ad.b. Penggunaan padi dan anggapan mungkin merupakan kias yang didasarkan pada kepercayaan Umat Hindu di Bali yaitu : dimana kalau ada orang mimpi memotong padi (manyi), sering diartikan akan ada kematian di lingkungan keluarganya atau yang bersangutan sendiri akan mati.
         Demikian pula kalau ada orang mimpi giginya lepas (tanggal) atau mimpi potong gigi maka mimpi yang sedemikian biasa juga diartikan akan ada keluarganya yang meninggal. Kalau kita perhatikan peralatan upacara potong gigi bagi orang yang sudah meninggal itu, tampaknya ada hubungan arti antara kematian dengan mimpi mengetam padi. Hal ini kiranya dapat dihubungkan dengan kepercayaan di Bali bahwa pada waktu seseorang meninggal, merasakan diriya seperti mimpi. Sebaliknya suatu mimpi biasanya mempunyai arti tertentu seperti contohnya :
         Bila orang bermimpi giginya lepas (copot) hal itu berarti salah satu keluarganya akan meninggal.
         Bila bermimpi memotong padi artinya akan ada kematian pada keluarga atau dirinya sendiri.
         Bila mimpi buang air besar, mempunyai arti akan sakit atau kehilangan barang miliknya. Hal ini mungkin jadi alasan mengapa peralatan upacara potong gigi bagi orang yang sudah meninggal itu mempergunakan sarana-sarana seperti padi dan alat pemotong padi karena ada kaitannya dengan kematian.
ad.c. Pada tangan Sangging dikalungi benang tetebus dan andel-andel (uang kepeng satakan). Yang memberikan petunjuk bahwa si Sangging (orang tuanya) ini bermaksud menebus hutang kewajibannya terhadap anaknya yang meninggal sebelum sempat diupacarai potong gigi. Uang kepeng sebagai andel yang merupakan sarana kepercayaan untuk menebus. Sebagaimana diketahui andel-andel artinya kepercayaan atau keyakinan.

ad.d. Mengenai penggunaan “anggapan” sebagai pengganti kikir, mempunyai arti yang berhubungan dengan kemuliaan.

ad.e. Penggunaan lesung (alat penumbuk padi) dalam upacara potong gigi untuk orang yang sudah meninggal mungkin sekali ada kaitannya dengan penggunaan lesung pada upacara kematian. Di daerah Badung khususnya di kota Denpasar kalau ada pengabenan atau pengutangan (mayat ditanam dalam, arti tidak diaben) maka di jalan umum di muka rumah orang yang kematian ditaruh sebuah lesung alat penumbuk padi dan mayat itu sebelum diusung ke setra mengitari lesung terlebih dahulu.

Apa hubungannya orang mati dengan lesung ? 
Rupa-rupanya lesung itu mempunyai arti simbolik untuk menunjukkan adanya suatu proses perubahan dari orang hidup kemudian mati, demikian pula kalau ada gerhana bulan ataupun gempa maka lesung itu dibunyikan agar katanya gempa dan gerhana itu cepat berlalu. Dalam upacara “Nyuci” agar pekerjaan di dapur suci cepat bisa selesai maka ada upacara khusus yaitu “Nguncang” dimana beras yang akan dijadikan tepung kemudian untuk jajan catur ditumbuk dengan berirama (nguncang).
    Menurut kepercayaan katanya dengan nguncang ini bidadari-bidadari akan turun dari kahyangan membantu para tukang bekerja agar cepat dan lancar. Suatu hal yang logis ialah lesung itu adalah alat untuk mengubah status, dari padi menjadi beras, atau dari beras menjadi tepung. Sebab itu lesung itu mungkin sekali adalah simbol proses perubahan wujud, dan dalam hubungan kematian digunakan sebagai simbol perubahan dari manusia jadi mayat dan dari mayat menjadi abu. Disamping itu penggunaan lesung mungkin ada hubungannya dengan penyupatan (pengruwatan). Didalam riwayat Sri Krsna ada disebutkan yaitu ketika Sri Krsna masih anak-anak beliau dihukum oleh ibu angkatnya Yasoda, dimana Sri Krsna diikat tubuhnya dengan tali dan tali itu diikatkan pada lesung alat penumbuk padi. Hukuman itu diberikan karena Sri Krsna membagi-bagikan susu ibunya kepada kawan-kawannya.
    Dengan tidak setahu ibunya Sri Krsna merangkak sambil menyeret lesung yang begitu berat ke halaman rumah dan kebetulan disana ada dua pohon kayu besar yang menghalangi lesung yang diseret itu.
Karena Sri Krsna bukan orang biasa maka kedua batang kayu itu rebah dilanda oleh lesung yang ditarik itu. Tiba-tiba kedua batang kayu yang rebah itu berubah menjadi dua orang Gandarwa. Gandarwa itu menjelaskan bahwa dahulu mereka dikutuk oleh Dewa Siwa hidup sebagai pohon kayu, mereka baru bisa kembali dalam wujud sebagai Gandarwa kembali bila sudah mendapat pengruwatan (penyucian) dari Sri Krsna. Jadi arti simbol lesung itu erat artinya dengan proses perubahan yang cepat, dan juga mempunyai arti penyucian atau pengruwatan.
Kini kembali kita membicarakan mengenai upacara potong gigi menurut Lontar Proktah yang melarang dengan keras memotong gigi orang mati. Tetapi sebaliknya tradisi di beberapa tempat menganjurkan dengan alasan membayar hutang kewajiban orangtua kepada anaknya meskipun dengan peralatan yang khusus pula. Orang mati itu diperlakukan seperti orang tidur karena itu alat-alat upacaranya disesuaikan dengan arti mimpi. Di Pulau Bali memang dikenal ada upacara menghidupkan secara spiritual dan simbolik orang yang sudah meninggal dengan membuatkan badan darurat dari banten (puspa úarìra).

Contohnya banten yang diletakkan disebelah kanan mayat pada waktu masih disimpan di Bale Gede atau Semanggen.

Demikian pula waktu Nyekah almarhum disetarakan berbadan kayu cendana dan daun beringin. Demikianlah secara ringkas telah kami sajikan beberapa pengertian mengenai upacara potong gigi dan beberapa arti simbol yang dapat kami perkirakan.
Ahkhirnya kami dapat simpulkan tujuan dari upacara potong gigi itu sebagai berikut:
  1. Upacara potong gigi adalah upacara penyucian secara ritual, agar menjadi manusia yang baik dapat mengendalikan hawa nafsu dibawah tuntunan Sanghyang Semara Ratih, serta pada akhir hayatnya bisa bertemu dan menghadap kepada penciptanya.
  2. Upacara potong gigi juga bertujuan memenuhi hutang kewajiban orang tua membimbing putra-putrinya lahir bathin. Sebelum putra-putrinya diupacarai potong gigi, orang tua masih merasa berhutang kewajiban. Sebab itu diusahakan terlaksana pada waktu masih jejaka. Adalah merupakan aib bagi keluarga kalau anak perempuan mereka baru melakukan potong gigi setelah punya anak. Bagi yang demikian harus menempuh tata cara khusus yaitu, waktu upacara dilakukan dia harus memakai bantal sapu lidi (magaleng sampat). Demikian pula kalau sampai terjadi upacara potong gigi setelah meninggal harus menempuh upacara yang tidak lazim.
  3. Mengenai upacara, potong gigi setelah meninggal kami tidak berani memberikan anjuran atau larangan. Mudah-mudahan Parisadha Hindu Dharma akan bisa memberikan ketetapan untuk dapat diikuti oleh umatnya. Kami hanya sekedar menyampaikan bahan-bahan pemikiran.
  4. Untuk melengkapi naskah ini, bersama ini kami petik pelaksanaan upacara dan upakara potong gigi dari buku Catur Yadnya, tulisan Nyonya Putra.

UPACARA POTONG GIGI (MAPANDES).

1. URAIAN UPACARA :
Upacara ini dapat dijadikan satu dengan Upacara meningkat dewasa dan mapetik dan penambahan Upakaranya tidak begitu banyak.
Upacara ini bertujuan untuk mengurangi Sad Ripu dari seseorang, dan sebagai simbulnya akan dipotong 6 buah gigi atas (4 buah gigi dan 2 buah taring).

Yang dimaksud dengan sad Ripu adalah 6 sifat manusia yang dianggap kurang baik, bahkan sering dianggap sebagai musuh dalam diri sendiri. Keenam sifat tersebut, ditimbulkan oleh Budi rajas dan Budi Tamas.
Sebenarnya kita sebagai manusia memiliki 3 budhi yaitu: Budhi Rajas, Budhi Tamas dan Budhi Satwan. Sedangkan pada binatang hanya memiliki 2 budhi yaitu : Budhi Rajas dan Budhi Tamas. Oleh karena itu segala pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh Budhi Rajas dan Budhi Tamas, kiranya dianggap sebagai sifat-sifat kebinatangannya, yang tidak selayaknya menguasai kita sebagai manusia. Ini bukannya berarti bahwa Budhi Rajas dan Budhi Tamas beserta pengaruh-pengaruhnya itu tidak perlu, tetapi hendaknya ada keseimbangan antara Budhi rajas, Budhi Tamas dan Budhi Satwam sebagai penuntunnya. Adapun yang dimaksud dengan Sad Ripu adalah :
1.      Tamak/loba.                    
2.      Suka menipu.
3.      Suka dipuji (moha).
4.      Murka/Keroda (suka marah).
5.      Suka menyakiti sesama mahluk.
6.      Suka memfitnah.
Demikianlah Upacara Potong Gigi itu bukanlah semata-mata mencari keindahan/kecantikan belaka, melainkan mempunyai tujuan yang mulia.

2. SUSUNAN UPAKARA.
A. Upakara yang paling kecil.
Banten Pabiakalaan, prayascita, panglukatan dan tataban seadanya.
B. Upakara yang lebih besar.
Seperti di atas, tetapi tatabannya memakai Pulugembal.

CATATAN.
Disamping Upakara-upakara tersebut, terdapat pula Upakara/perlengkapan lainnya, yaitu :
  1. Membuat/menyediakan sebuah balai-balai (dipan) untuk tempat Upacara potong gigi. Pada tempat tersebut diisi perlengkapan seperti bantal, kasur, seperai (permadani) dan tikar yang berisi gambaran semara ratih.
  2. Bale Gading : Bale Gading ini dibuat dari bambu gading (yang lain) dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning serta didalamnya diisi beras, ajuman daksina kadang-kadang dapat dilengkapi dengan suci, canang buratwangi, canang sari dan raka-raka; kekiping, pisang mas, nyahnyah gula kelapa. Bale gading ini adalah sebagai tempat (palinggih) dari Sanghyang Semara Ratih.
  3. Tegteg : Yang dimaksud dengan tegteg, adalah sejenis jejahitan yang berisi jajan dan sampian tegteg. Biasanya dipakai daun rontal.
  4. Kelapa gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulisi “Ardhanareswari” (gambar Semara Ratih). Kelapa Gading itu akan dipakai tempat ludah, dan singgang gigi yang sudah dipakai. Setelah upacara, kelapa gading itu dipendam dibelakang Sanggah Kemulan.
  5. Untuk singgang gigi (pedangal), adalah tiga potong dapdap dan tiga potong tebu malem/tebu ratu. Panjang pedangal ini kira-kira 1 Cm atau 1½ Cm.
  6. “Pengilap” yaitu sebuah cincin bermata merah.
  7. Untuk pengurip-urip adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.
  8. Sebuah bokor yang berisi kikir, cermin dan pahat, biasanya “pengilap” yang disebut di atas ditaruh pada bokor ini, demikian pula “pangurip-uripnya”.
  9. Sebuah tempat sirih, lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang dan gambir (di dalam lekesan itu sudah berisi kapur).
  10. Beberapa potong kain (yang agak baik) dipakai untuk menutupi badan pada waktu Upacara dan disebut “Rurub”.
  11. Banten “tatingkeb” yang akan diinjak waktu turun nanti (dapat diganti dengan segehan agung).

3. TATA UPACARA.
Seperti biasa dilakukan Upacara mabiyakala dan maprayascita lalu bersembahyang kehadapan Bhatara Surya dan Sanghyang Semara ratih, kemudian naik ke tempat Upacara potong gigi (ke balai yang disebut di depan) serta duduk menghadap ke hulu, (keluanan) pimpinan Upacara mengambil cincin yang akan dipakai untuk Ngerajah pada beberapa tempat yaitu :



Pada dahi (antara kedua kening) dengan huruf ( ehÙíº ) hweam


Pada taring sebelah kanan dengan huruf ( Á¸  ) am

Pada taring sebelah kiri dengan huruf ( Á; ) ah

Pada gigi atas dengan huruf ( ÿºý  ) om/om

Pada lidah bawah dengan huruf  ( ü  ) ai

Pada dada dengan huruf  ( eGº  ) gona

Pada nabi puser dengan huruf  ( er¸  ) rem

Pada paha kanan dan kiri dengan huruf  ( evÜ  ) bhyo
 
Setelah itu barulah diperciki “Tirta Pesangihan” selanjutnya Upacara dipimpin oleh “Sangging” yaitu pelaksanaan memotong gigi itu (nyangihin). Setelah orang bersangkutan tidur serta memakai rurub, maka Sangging mengambil kikir lalu dipujai. Orang yang akan diupacarai diberi pedangal tebu, di sebelah kanan (kalau orang laki-laki, sedang kalau perempuan dipasang sebelah kiri, terlebih dahulu). Setelah kikir dipuja, lalu dimulailah pelaksanaan potong gigi dengan disertai puja, kemudian pedangal diganti, orang yang bersangkutan disuruh meludah, pedangal diganti dan demikian seterusnya sampai dianggap cukup (ludah dan pedangal dibuang ke dalam kelapa gading).
Bila dianggap sudah cukup rata, lalu diberi pengurip-urip (kunir) kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya makan sirih (ludahnya ditelan tiga kali) dan sisanya dibuang ke dalam kelapa gading. Selanjutnya natab banten peras, dan waktu turun menginjakkan kakinya pada tetingkeb (segehan agung) tiga kali. Sore harinya, setelah pemujaan sajen, dilakukan muspa kehadapan Surya Candra, kemudian dilanjutkan dengan mejayajaya dan natab.

BEBERAPA MANTERA YANG DIPAKAI.




Demikianlah sekedar ulasan mengenai maksud dan tujuan upacara potong gigi yang sudah tentu banyak kekurangan dan kesalahannya sebab itu kami tidak lupa minta maaf kepada para pembaca.

Sumber: Buku Arti Simbol Dalam Upacara Potong Gigi
Oleh: Cudamani
---------------------------------------------


Potong gigi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Potong gigi (bahasa Bali: mepandes, mesangih atau metatah) adalah upacara keagamaan Hindu-Bali. Upacara ini termasuk apa yang disebut dengan istilah upacara manusa yadnya. Yang dilakukan pada saat potong gigi adalah mengikis 6 gigi bagian atas yang berbentuk taring. Tujuan dari upacara ini ialah untuk mengurangi sifat buruk (sad ripu) pada yang bersangkutan

Upacara potong gigi (mepandes / metatah)
Arti Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada diri si anak.
Sarana
1 Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
2 Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi beserta perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk rurub serta sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah dihias.
3 Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari, kelapa gading dan sebuah bokor.
4 Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan dipakai tebu, supaya lebih enak rasanya.
5 Pengurip-urip yang terdiri dari kunyit serta pecanangan lengkap dengan isinya.
Waktu Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga.
Tempat Seluruh rangkaian upacara potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan.
Pelaksana Upacara potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging (sebagai pelaksana langsung).
Tata cara
1 Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.
2 Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya memohon kesaksian.
3 Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha barulah diperciki tirtha pesangihan.
4 Upacara dilanjutkan oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.
5 Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
6 Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras kernudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.
Mantram-mantramnya
1. Mantram prayascita dan bhyakala. Artinya:
Om Hrim, Srim, Mam, Sam, Warn, Saçwa rogha satru winasa ya rah phat.
Om Hrim. Srim. Am. Tarn. Sam. Bam. Im, sarwa dandamala papa klesa, wenasaya rah, Um, phat.
Om Hrim, Srim, Am, Um, Mam, Sarwa, papa petaka wenasaya rah, Um phat,
Om Siddhi guru srom, Sarwasat.
Om sarwa weghena winasaya, sarwa papa wenasaya, astu ya namah swaha.
Om Hyang Widhi Wasa, semoga semua musuh yang berupa penderitaan, kesengsaraan, bencana dan lain-lain menjadi sirna.
2. Mantram mohon persaksian. Artinya:
Om adityasya parantyoti rakta tejo nama stute, swera pang kajo mandhyaste Bhaskara ya namo namah, pranamya bhaskara dewam, sarwa klesa wia sanam, pranamya ditya siwartham bhukti mukti warapradam.
Om rang ring sah paramya Çiva dityaya namo namah swaha.
Om Hyang Widhi Wasa, semoga hamba mendapat perkenanMu, untuk melalui tahapan hidup ini dalam jalanMu dengan pertolongan hanya dariMu.
Om dimulyakanlah Engkau ya Tuhan.
3. Mantram alat pengasah. Artinya:
Om Sang perigi manik, aja sira geger lunga antinen kakang nira sang kanaka teka pageh, tan katekaning lara wigena, teka awet, awet, awet. Om Hyang Widhi Wasa, semoga alat-alat ini dapat memberikan kekuatan.
4. Mantram pengurip-urip. Artinya:
Om urip-urip bayu, sabda idep teka urip, ang, ah. Om Sang Hyang Widhi Wasa, dalam wujud Brahma Maha Sakti, semoga tenaga, ucapan dan pikiran hamba memberikan kekuatan terhadap alat-alat ini.
5. Mantram Mejaya-jaya. Artinya:
Om Dirgayur Astu tat astu,
Om subham astu tat astu,
Om Sukham bhawantu,
Om Pumam bhawantu,
Om sreyam bhawantu,
Om Sapta wrddhin astu tat astu astu swaha.
Om Hyang Widhi Wasa semoga kami dianugrahi kesejahteraan, kebahagiaan, dan panjang umur
 Sumber: http://www.babadbali.com/canangsari/banten/mepandes.html

Tidak ada komentar: