Selasa, 11 Desember 2012

Pinangan Maut


PINANGAN KEMATIAN

Setelah mendapat petunjuk seperti itu Mpu Peradah pun menutup yoga samadhinya, kemudian kembali ke ruang pertemuan. Sang Mpu berpikir sejenak kemudian memanggil sisia-nya, yang bernama Mpu Bahula dan berkata: “Anakku Bahula, sekarang kau kuutus ke puri menghadap Sang Prabu.
Kamu harus minta upakara peminangan ke Dirah, Akan meminang Diah Ratna Manggali. Jika engkau sudah menikah hendaknya kamu mampu meneliti tempat lontar kesaktian Walunateng Dirah. Jika sudah dijumpai bawalah - segera kemari akan kupelajari. Hati-hatilah anakku, karena kamu sebagai duta yang pantas menolong rakyat Kediri dari mara bahaya, sehingga negeri bisa kerta kembali”.
    Setelah mendengar wejangan tersebut, pada saat itu juga Mpu Bahula mohon pamit, kepada Mpu Peradah, akan menghadap ke puri hendak meminta upakara peminangan ke Dirah. Tidak disebutkan perjalanan Mpu Bahula bersama para utusan, sekarang disebutkan mereka telah menghadap Sang Prabu: “Ampun Tuanku, tuanku Mpu Peradah tidak ikut ke puri. Semua perihal yang menyangkut mara bahaya negara paduka, sudah diserahkan kepada Mpu Bahula. Akan tetapi, paduka di-mohon berkenan menganugrahkan upakara peminangan beliau untuk meminang Diah Ratna Manggali”.
     Sang Prabu menyanggupi seraya memberikan upakara peminangan. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mpu Bahula berangkat ke Dirah akan meminang Diah Ratna Manggali. Beliau menunggang kuda diiringi oleh banyak rakyat.
       Tidak disebutkan perjalanan beliau. Kini disebutkan beliau telah sampai di Dirah dan bertemu Walunateng Dirah. Beliau berkata: “Ya, tuan yang baru datang, ada urusan apa gerangan?”, dilanjutkan, “Supaya pembicaraan berlangsung lancar tolong sampaikan hal itu, termasuk dari kasta mana tuan ini?”.
     “Hamba bernama Mpu Bahula, wangsa Brahmana Buddha, sisia Mpu Peradah di Petulisan. Ada pun tujuan kedatangan hamba ke sini adalah untuk meminang putri ibunda Diah Ratna Manggali akan hamba jadikan istri. Pada kesempatan ini, hamba juga menyerahkan diri kepada ibunda”, jelas Mpu Bahula tenang dan meyakinkan.
       “Jika demikian halnya, ibu sangat senang bermantukan kamu. Diamlah kau di sini dan bimbinglah adikmu, karena kita sama-sama wangsa Brahmana Buddha”, sambut Walunateng Dirah dengan wajah berseri. Saat itu juga Mpu Bahula dinikahkan dengan Diah Ratna Manggali. Alangkah serasinya pasangan itu. Begitu pula cinta kasih mereka amat erat.
    Dan pada saat itu juga maut Walunateng Dirah sudah ditentukan. Tinggal menunggu waktu, tinggal menghitung hari. Dia tidak tahu bahwa itu adalah pinangan kematian bagi dirinya. Sang Maut memang tidak pernah datang terlambat dan tidak pula pernah datang terlalu cepat. Dia selalu datang pada saat yang tepat. Dan itulah yang sekarang dialami Walunateng Dirah.
     Pada suatu hari, Walunateng tidak berada di istana. Kesempatan itu digunakan oleh Mpu Bahula untuk mencuri pustaka pengeleakan Walunateng Dirah lalu diserahkan kepada Mpu Peradah. Beliau membaca pustaka itu lalu merenung, bahwa pada dasarnya pustaka itu mengajarkan perihal filsafat yang sangat utama, namun Walunateng keliru di dalam penerapannya. Nilai kebaikan dan keutamaan pustaka itu dipraktekkan terbalik, sehingga menjadi ajiwegig, karena digunakan untuk membunuh orang-orang tidak berdosa. Selain itu, dari pustaka itu diketahui juga sejauhmana kesaktian Walunateng Dirah.
        Bagi orang sekaliber Mpu Peradah, tidaklah sulit untuk meluruskan ajaran yang bengkok. Mudah baginya untuk membuat Ongkara yang dibuat Sungsang oleh Walunateng Dirah, menjadi Ongkara Ngadeg atau Ongkara Tunggal. Dengan merubah satu atau dua kata maka ajaran leak ugig Walunateng Dirah, bisa menjadi leak sari versi Mpu Peradah.
       Menurut I Wayan Kardji: “Mulai dari kelas Mpu Peradah ajaran Pangiwa, sudah tidak memerlukan pengorbanan lagi untuk kenaikkan tingkatnya (di Bali sudah digolongkan dengan leak ngisep sari). Oleh karena tidak ugig (runyam), maka pangiwa dari tingkat Mpu Peradah ke atas, sudah berubah fungsinya menjadi panengen, sehingga akan bertambahlah jumlah panengen tersebut. Bahkan, di dalam cerita Mpu Peradah disebutkan sudah melaksanakan ilmu sadu dharma (ilmu ke-pemangku-an)”. (Ilmu Hitam dari Bali.CV. Bali Media.1999)
      Setelah mengetahui kelemahan ajaran leak ugig Walunateng Dirah, dan menciptakan ajaran leak sari, Mpu Peradah pun datang ke Dirah bermaksud melihat menantunya. Beliau menunggangi kuda tanpa diiringi sisia seorang pun. Beliau pergi sendirian.
            Tidak disebutkan perjalanan menuju Dirah, sekarang disebutkan di Puri Dirah. Walunateng Dirah sudah mendengar berita bahwa beliau akan kedatangan tamu dan sudah bersiap-siap membuat tempat tinggal pendeta dan bahan-bahan makanan. Dengan tiba-tiba langit gemuruh, kerug-krebek di siang belong itu pertanda kurang baik, dan tiba-tiba, ia mendengar sabda dari angkasa: “Hai, rangda (janda) hati-hatilah kamu menjaga jiwamu, karena sudah masanya kamu didatangi oleh Kala Mertiu (Dewa Kematian) yang sedang mencari mangsa”. Mendengar sabda seperti itu, Walunateng tidak menghiraukannya, karena ia sangat bahagia mempunyai menantu yang sangat tampan, pandai dan sederajat.
            Sekarang disebutkan perjalanan Mpu Peradah sudah sampai di Puri Dirah. Walunateng menyapa: “Terimalah apa adanya di sini, wahai adikku. Sungguh hatiku bagaikan pepohonan yang baru mendapatkan hujan, setelah kedatanganmu”. Tentu saja Mpu Peradah tersenyum menerima sambutan yang hangat itu. Apalagi melihat bermacam-macam jamuan makanan, lalu beliau berkata: “Dari tadi saya tidak menjumpai kedua orang menantu kita. Di manakah mereka tinggal?”
     “Mereka sudah dinikahkan di sini. Semua upacara pernikahan sudah dilaksanakan”, jawab Walunateng Dirah.
            Setelah lima belas hari lamanya beliau bersukaria di Dirah, maka Walunateng teringat akan perbuatan jahatnya terdahulu. Seketika parasnya pucat pasi, maka beliau berkeinginan mohon penyucian kepada Mpu Peradah: “Uduh, adikku, tolong sucikan diriku dari perbuatan jahat yang pernah kulakukan agar aku bisa menjadi orang sadu dharma. Hanya kepadamulah aku bisa mendapatkan hal itu, karena kau sama seperti Sang Hyang Buddha, yang mampu menghilangkan dosa, aib dan segala perbuatan buruk”.
         Setelah berpikir sejenak, maka menjawablah Mpu Peradah: “Baiklah jika begitu menurut pendapat kakak, tetapi saya tidak akan mungkin bisa menyucikan dirimu, karena dosamu terlalu besar. Banyak manusia telah mati, karena perbuatanmu, yang melaksanakan sad tatayi. Sungguh sangat sulit meruwat orang yang telah banyak dosa. Apalagi saya, Sang Hyang Hari Candani pun tidak mampu. Ada disebutkan dalam ilmu pengetahuan bahwa ia sangat lama harus berada di dalam kawah, yakni seribu seratus tahun”.
            Walunateng sangat takut mendengarkan perkataan Mpu Peradah tersebut. Namun demikian, ia menyembunyikan ketakutannya itu. Ia lalu marah dengan menuduh Mpu Peradah tidak mau meruwatnya. Walunateng menantang Mpu Peradah untuk berperang tanding dan mengadu kesaktian di pekuburan. Setelah sampai di tengah pekuburan, Walunateng berkata sambil menuding Mpu Peradah, dengan serta-merta matanya membelalak mengeluarkan api, lidahnya menjulur, taringnya gemerlapan, hidungnya besar, mulutnya besar menganga, dan semuanya mengeluarkan api.
            “Hai Peradah, lihatlah aku”, kata Walunateng sambil menunduk ke tanah. Dengan seketika tanah itu menjadi abu beterbangan ke sana ke mari bagaikan hujan debu. Kemudian Walunateng memandang laut, dengan mendadak laut itu bergoncang seperti terayun-ayun. Setelah itu, Walunateng memandang gunung, dengan seketika gunung itu roboh menjadi hujan batu. Apapun yang dipandanginya dengan kemarahannya itu roboh seketika. Dunia bergetar seakan-akan terjadi gempa.
            “Sekarang bagaimana kehendakmu, hai Peradah”, tantang Walunateng tidak sabar, “apakah engkau benar-benar pemberani? Tidak lama lagi kau akan kubakar menjadi abu”.
     “Wahai Walunateng, lanjutkanlah sesuka hatimu. Sekarang aku akan membalasnya dengan ludah. Lihatlah, Mpu Peradah akan membunuhmu dengan air ludah”, jawab Mpu Peradah melayani tantangan Walunateng Dirah dengan sabar. Beliau lalu bersemadi memohon Sang Hyang Cintia agar menghidupkan kembali kayu-kayu itu. Setelah itu, Mpu Peradah berkata: “Lihatlah sekarang ini, semuanya sudah kembali seperti sedia kala. Sekarang tunjukkanlah kemampuan penge1eakan-mu yang lainnya. Tidak urung semua penge1eakan -mu akan berbalik menyerang dirimu sendiri”.
            Mpu Peradah bersemadi kembali. Kali ini memohon Sanghyang Siwa geni. Dari kedua mata beliau keluarlah api. Walunateng lalu dibakar oleh api sehingga menjadi debu. Setelah itu, abunya dihidupkan kembali menjadi Walunateng dan Menyembah kepada Mpu Peradah. Walunateng memohon agar jangan dihidupkan lagi, karena sangat malu hidup menanggung malu, menjadi gunjingan orang sedunia. Oleh karena demikian permintaannya, maka ia pun dibunuh kembali oleh Mpu Peradah. Inilah yang disebut dengan pinangan kematian, artinya karena dia menerima pinangan Mpu Bahula, maka kelemahan ilmunya menjadi ketahuan sehingga dengan mudah dibunuh Mpu Peradah.
            Setelah Walunateng wafat, Mpu Peradah kembali ke Puri Dirah. Alangkah dukanya Ratna Manggali ketika mendengar kematian ibunya. Ia lalu diruwat oleh Mpu Peradah. Demikian pula semua hamba sahaya yang dulu melaksanakan bicari, sehingga menjadi orang sadu dharma. Mulai saat itu, negeri Dirah menjadi makmur di bawah kekuatan kerajaan Kediri. Mpu Peradah pun kembali ke Puri Kediri dan diangkat sebagai bagawanta (pendeta istana) di sana. Demikian cuplikan naskah seperti yang termuat dalam teks Tanting Mas dan Tanting Rat.

(Sumber : Buku Leak Sari, Paramita Surabaya)

Tidak ada komentar: