Rabu, 20 Juni 2012

Galungan

GALUNGAN

Budha Kliwon Dunggulan: 
Merupakan piodalan jagat (hari raya umum/ hari raya kenegaraan/hari raya semesta) yang dirayakan oleh semua lapisan masyarakat untuk merayakan kemenangan Dharma (kebenaran) menaklukkan adharma (ketidakbenaran), dengan memuja Hyang Widhi, memohon semoga berkenan melimpahkan kesejahteraan, ketenangan lahir-batin bagi alam semesta (jagat raya) beserta seluruh isinya. Di tiap-tiap rumah-tangga menghaturkan penghormatan juga kepada para dewa pitara (leluhur) di merajan (tempat pemujaan keluarga) masing-masing.

Hari Úuci Galungan datangnya setiap 210 hari sekali (6 bulan) yaitu tepatnya pada hari Budha Kliwon wuku Dunggulan saat itu umat Hindu melaksanakan persembahyangan di tempat Úuci keluarga dan tempat Úuci umum dengan tujuan memperingati hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Sehari sebelum Galungan disebut hari Penampahan Galungan. Pada hari raya Galungan umat Hindu membuat penjor dan dipasang di depan rumah. Tujuannya adalah sebagai tanda terima kasih atas kemakmuran yang dianugrahi Hyang Widhi.


CERITA MAYADANAWA
Pada zaman dahulu, bertahta seorang raja Mayadànawa, keturunan Daitya (Rakûasa) di daerah Blingkang (sebelah Utara Danau Batur), anak dari Dewi Danu Batur. Beliau adalah raja yang sakti dan dapat mengubah diri menjadi bentuk yang diinginkannya. Beliau hidup pada masa Mpu Kul Putih. Karena kesaktian sang raja, daerah Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan dapat ditaklukkannya. 
Karena kesaktiannya, Mayadànawa menjadi sombong dan angkuh. Rakyat Bali tak diizinkan lagi menyembah Tuhan, dilarang melakukan upacara keagamaan dan merusak semua Pura. Rakyat menjadi sedih dan sengsara, namun tak kuasa menentang Raja yang sangat sakti. Tanaman penduduk menjadi rusak dan wabah penyakit menyerang di mana-mana.
Melihat hal tersebut, Mpu Kul Putih melakukan yoga semadhi di Pura Besakih untuk mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan. Beliau mendapat pawisik/petunjuk agar meminta pertolongan ke India (Jambùdwìpa). Kemudian diceritakan pertolongan datang dari Sorga, yang dipimpin oleh Bhaþþàra Indra dengan pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap. 
Dalam penyerangan melawan Mayadànawa, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena dan Citràògada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sangjayantaka. Sedangkan pasukan induk dipimpin langsung oleh Bhaþþàra Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh Gandarwa untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadànawa, dengan mengirim Bhagawan Nàrada.
Menyadari kerajaannya telah terancam, Mayadànawa mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki pasukan Bhaþþàra Indra serta menyiapkan pasukannya. Ketika pasukan Bhaþþàra Indra menyerang, pasukan Mayadànawa memberikan perlawanan yang hebat. Pasukan Bhaþþàra Indra unggul dan membuat pasukan Mayadànawa melarikan diri bersama patihnya yang bernama Kala Wong. 
Karena matahari telah terbenam, peperangan dihentikan. Pada malam harinya, Mayadànawa menciptakan mata air yang beracun di dekat tenda pasukan Bhaþþàra Indra. Agar tidak meninggalkan jejak, ia berjalan mengendap dengan memiringkan telapak kakinya, sehingga daerah itu kemudian dikenal dengan nama Tampak Siring.
Keesokan harinya banyak pasukan Bhaþþàra Indra yang jatuh sakit karena minum air yang beracun. Melihat hal itu, Bhaþþàra Indra kemudian menciptakan mata air yang kemudian dinamakan Tìrtha Empul, dan semua pasukannya bisa disembuhkan kembali. Bhaþþàra Indra dan pasukannya melanjutkan mengejar Mayadànawa. Untuk menyembunyikan dirinya, Mayadànawa mengubah dirinya menjadi Manuk Raya (ayam), dan daerah tersebut dinamakan Desa Manukaya. Bhaþþàra Indra tak bisa dikibuli dan terus mengejar. 
Mayadànawa mengubah dirinya menjadi Buah Timbul sehingga daerah itu dinamakan Desa Timbul, kemudian menjadi Busung (janur) sehingga daerah itu dinamakan Desa Blusung, menjadi Susuh sehingga daerah itu dinamakan Desa Panyusuhan, kemudian menjadi Bidadari sehingga daerah itu dinamakan Desa Kadewatan dan menjadi Batu Paras (batu padas) bersama patihnya Si Kala Wong. Batu padas tersebut dipanah oleh Bhaþþàra Indra sehingga Mayadànawa dan patihnya menemui ajalnya. 
Darahnya terus mengalir membentuk sungai yang disebut Sungai Petanu. Sungai itu dikutuk oleh Bhaþþàra Indra yang isinya, jika air sungai itu digunakan untuk mengairi sawah akan menjadi subur, tetapi ketika dipanen akan mengeluarkan darah dan berbau bangkai. Kutukan itu berumur 1000 tahun.
Kematian Mayadànawa tersebut diperingati sebagai Hari Raya Galungan sebagai tonggak peringatan kemenangan Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar