Rabu, 12 Desember 2012

Leak Sari


AJARAN LEAK SARI

Leak ada yang baik dan ada pula yang jahat. Leak yang baik disebut Leak Sari. Leak Petak atau Leak Putih. Sedangkan leak yang jahat, buruk dinamai Leak Pamoroan, Leak Badeng atau Leak Selem.
Leak Sari berguru kepada Dewa Brahma, yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari Bhatari Durga. Dewa Brahma inilah yang memberikan ajaran Ngaleak kepada Bhatari Durga, dengan tujuan untuk membuat manusia sakit, kemudian mati, sehingga mayatnya dapat dimakan oleh Bhatari Durga. Karena berguru langsung kepada Dewa Brahma dan tujuannya tidak untuk mencelakakan manusia, tetapi untuk memperoleh kekuatan sehingga tidak mudah dibencanai oleh orang yang hendak berbuat jahat kepadanya, maka yang diajarkan ialah ajaran Pangiwa Sempurna, Siwa Nirmala. Sebelum mempelajari ajaran ini, seseorang terlebih dahulu harus sudah memahami tentang ajaran Dewa Tattwa, yang mengandung tentang dharmaning agama, (Prof. Dr. Ngurah Nala, M.P.H. Usada Bali. PT. Upada Sastra.1992, hlm. 183).
            Menurut Ngurah Nala, Leak Sari dapat berubah wujud tidak seperti binatang atau seperti Leak Pamoroan, tetapi menjadi makhluk yang lebih utama, sering tidak berujud apa-apa. Orang yang bisa menjadi leak sari ini badan raganya tidur di rumah, tetapi sukmanya melayang-layang di angkasa menikmati panorama yang indah rupawan. Dia seperti bermimpi dan mendapat kepuasan yang luar biasa setelah bangun dari tidurnya. Dia mampu mengirim pikirannya kemanapun yang dia kehendaki. Tempat kedudukannya adalah pada aksara Ang, aksara pertama dari Ong (Om = Ang + Ung + Mang). Makanannya adalah sari darah suci, yakni sari bunga yang harum. Dia mampu menidurkan semua makhluk yang jahat, sehingga tidak dapat melakukan aksinya. Di dalam dirinya bersemayam dasa-aksara: sa, ba, ta, a, i, na, ma, si, wa, ya.
            Tata cara untuk menjadi Leak Sari ini, berbeda dengan tata cara untuk menjadi Leak Pamoroan, Leak Ugig. Pada malam tanggal apisan, yakni hari pertama terang bulan, di perempatan jalan dihaturkan sajen berupa nasi tumpeng barak (nasi tumpeng merah), ayam panggang buik (bulu merah), kelapa beras dan uang kepeng yang jumlahnya masing-masing 9 buah. Sajen ini ditaruh di sanggah cukcuk yang ditancapkan di perempatan jalan tersebut. Orang yang akan mempelajari ajaran ini, berdiri menghadap ke selatan, tempat ke dudukan Dewa Brahma dan mengucapkan mantera:
            “Om, Ah, Ang Sang Hyang Brahma Wisesa, ingsun aminta lugraha kesaktian. Ong sidhi rastu-astu”.
            Mantera ini diucapkan tiga kali. Tubuh dilemaskan, napas ditahan beberapa saat, ujung lidah dilipat ke langit-langit. Bayangkan Dewa Brahma bersemayam di hati. Kemudian berputar ke kiri (putar kiwa) sambil membaca mantera, mula-mula ke arah utara, lalu ke barat, kemudian ke timur. Seterusnya tengadahkan kepala ke atas dan kemudian menunduk ke bawah. Ingat, pada setiap arah pandangan itu, mantera tersebut di atas diucapkan sebanyak tiga kali. Selanjutnya bayangkan bahwa Dewa Brahma keluar dari hati naik ke atas dan keluar lewat mata kanan atau mulut. Dia memancarkan sinar yang terang-benderang menuju ke arah tenggara, tempat kedudukan Dewa Sangkara yang bersenjatakan dupa murub, mantera:
            “Om, Ah, Ang Sang Hyang Brahma Wisesa. Ong agni murub sakalangan, murub angabar-abar sekadi gunung Mahameru, ebek me nyeleg panes, bedah ring akasa, tagel betel ring sapta petala, metu geni maring tingale Betara Hyang Parameswara, ring tingale tengen ida metu, mengeseng mengelebur sakwehing ................. (dasamala) ...........................
Ong sidhirastu-astu, porno, pomo, porno”.
            Itu kalau kita mau mengeluarkan kekuatan agni yang ada di dalam diri kita melalui mata kanan. Namun, jika ingin mengeluarkan kekuatan agni tersebut lewat mulut, maka mantranya menjadi sebagai berikut:
            “Om, Ah, Ang Sang Hyang Brahma Wisesa,  medal ring hati, amarga sira ring cangkem, mangregep japa mantra wisesa, metu geni mawisesa, ring cangkem murub, bedah ring akasa, tagel betel maring sapta petala, mangeseng manglebur sakwehing ....................... (dasamala) .........................
Ong sidhi rastu-astu, pomo, pomo, pomo”.
            Tanda ...................... diisi menurut keperluan. Umpamanya; mangeseng mang lebur sakwehing “gering sekoti-koti gering, papa klesa, danda upata, ujar ala, upadrawa dan sebagainya”.
            Disamping itu masih ada 5 macam api yang dapat dihidupkan di dalam diri manusia, yang disebut Panca Agni, yaitu:
1. Agni Petak:
     api yang berwarna putih, berawal di jantung, melalui saluran sumsum tulang belakang atau urung-urung gading dapat dinaikkan menuju ke ubun-ubun, siwadwara.
2. Agni Abang:
     api berwarna merah, berasal dari hati dapat dinaikkan menuju ke mulut.
3. Agni Kuning:
     api berwarna kuning, berasal dari buah pinggang dapat di salurkan menuju ke telinga.
4. Agni Cemeng:
     api berwarna hitam, berasal dari empedu dapat diteruskan menuju ke hidung.
5. Agni Nila:
     api berwarna biru-merah, berpusat di rangkaian hati dapat disalurkan menuju kerambut.
            Untuk dapat mengalirkan kekuatan api ini dari alat-alat tubuh tempat asalnya menuju ke atas, sehingga mau mengalir melalui urung-urung gading, maka ucapkanlah mantra berikut: “Sing, Ung, Mang, Ong” sebanyak 33 kali. Dengan cara ini kekuatan berwujud api ini dapat memperkuat alat tubuh lainnya sehingga dapat menghadapi ancaman dari luar. (Usada Bali. Upada Sastra. 1997. Hlm 111).
            Hanya mungkin yang sedikit agak membingungkan, bagaimana bisa banten atau sajen yang sedemikian banyaknya itu dapat masuk ke dalam sanggah cukcuk yang kecil? Hal yang lainnya adalah mengapa di perempatan? Apakah Dewa Brahma hanya bisa dihayati lewat perempatan?
            Apakah perempatan itu? Orang bali mempersepsinya secara beragam: Sebagai titik yang menghubungkan empat ruas jalan, “margi nyatur desa”, “margi pat”, “catuspatha”, “margi betel”, “perempatan agung”, tempat menghidupkan aji pengiwa, pecaruan, tawur agung, pola palemahan tradisional dan lain-lain.
            Perempatan adalah sebuah titik magis, filosofis, dan poros jagat yang memutar ritme kehidupan sakala, niskala dan sakala-niskala. Selain di alam makro (jagadraya) perempatan juga terdapat di alam mikro (dalam tubuh kita), disebut perempatan alit. Perempatan alit yang ditemukan dalam tubuh manusia juga dapat ditangkap dari adegan tari Siwanataraja. Cobalah tiru adegan itu, dengan melangkahkan kaki ke depan dan merentangkan tangan ke samping, maka tampak suatu persilangan yang dapat diklaim sebagai perempatan alit dengan sang diri sebagai titik pusat persilangan. Apabila sang diri goyah, maka manusia dalam keadaan tidak seimbang. Cukupkah jawaban seperti itu? Tentu saja tidak. Bila anda ingin jawaban yang panjang lebar, bacalah bukunya Jiwa Atmaja, Ed. Yang berjudul Perempatan Agung.
            Yang ingin saya tekankan disini adalah perempatan bisa bermakna sekala dan niskala atau sekala-niskala. Sekarang tergantung tingkat kesadaran anda dalam memaknai perempatan itu sendiri. Bila anda artikan secara sekala, maka anda harus mencari perempatan untuk menghidupkan ajaran leak sari ini. Namun bila anda dapat mengartikannya secara niskala, maka anda dapat menghidupkan ajaran leak sari ini dari mana saja, yang penting pada saat tengah malam dan diawali dengan menghadap ke arah selatan, seperti yang sudah dijelaskan di muka. Tapi bila anda masih bingung juga, maka sebaik nya anda mencari seorang guru, yang sudah memahami ajaran leak sari ini.

(Sumber : Buku Leak Sari, Paramita Surabaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar