Selasa, 10 Juli 2012

Swarga

Konsep Svarga
Di dalam Veda, svarga digambarkan sebagai tempat cahaya yang selalu terang bersinar, tidak pernah ada kegelapan, tempat berkumpulnya orang-orang suci, merupakan dunia kebaikan, dan
bahkan terdapat keabadian seperti digambarkan dalam kitab suci Ågveda IX.113.8-11, Ågveda X.154.2-5, Atharvaveda VI.120. 1-3, Atharvaveda IV.3-6, Atharvaveda IV.3-6, Atharvaveda XII.3.17, dan Atharvaveda XIII.3.4.

Dalam kitab-kitab Puràóa seperti Vàyu Puràóa (34. 96; 41.82; 103.42; 108.76 dan 84) digambarkan bahwa svarga memiliki tujuh pintu gerbang bagi mereka yang melakukan tapa (pengendalian diri), dàna (melakukan pemberian dengan tulus ikhlas), sàma (memandang sama suka dan duka), dama (tahan uji), hrìá (memiliki rasa malu), àrjavam (rendah hati), dan karuóa (simpati) kepada semua makhluk (Matsya Puràóa 39.22). Sifat-sifat itu dimiliki oleh Mahàràja Úibi (Matsya Puràóa 42.20). Svarga pernah dicapai oleh Mahàràja Yayàti dengan 4 orang cucunya (Matsya Puràóa 42.28). Svarga juga tempat untuk memuja Agastya (Matsya Puràóa 553.29). Nama lainnya adalah svargaloka juga disebut  divam, terletak pada ruang antara matahari dan bintang dhruva (Ramachandra, III. 1995: 729). 

Svarga adalah tempat roh suci para leluhur dan Dewa Yama, tempatnya sangat tinggi atau pada svarga ketiga, yakni cahaya yang abadi. Demikian juga digambarkan sebagai titik pusat matahari dan merupakan langkah tertinggi dewa Viûóu (ketika ber-trivikrama atau melangkah tiga langkah). Di sini terdapat satu pohon yang bayangannya menyejukkan merupakan tempat bagi Dewa Yama dan Devatà yang lainnya menikmati minuman. Di dalam Atharvaveda dinyatakan bahwa pohon tersebut adalah pohon aúvata. Svarga diyakini merupakan pahala dari perbuatan baik, juga bagi pahlawan yang gugur dalam medan pertempuran, dan bagi mereka yang melakukan latihan pertapaan dengan tekun, lebih-lebih mereka yang suka memberikan dàna puóya dengan ikhlas. Di dalam Atharvaveda dijumpai penjelasan yang cukup banyak tentang mereka yang memperoleh rakhmat untuk hal ini. 

Roh orang yang meninggal berjumpa kembali dengan roh suci leluhurnya, ibu, bapak, keluarga, anak, dan istri. Tidak ada penyakit, sakit fisik dan mental tidak dikenal, demikian pula umur tua. Di sana tidak ada yang kaya dan miskin, tidak ada yang kuasa dan yang dikuasai. Kehidupan orang yang mendapat berkat akan melalui jalan para Devatà, teristimewa akan menghadap Dewa Yama dan Varuóa. Di sini terdengar suara seruling yang merdu dan lagu-lagu yang indah, Sungai Soma, minyak ghee (mentega cair), susu, madu, dan anggur mengalir;  di sana terdapat spirit dari makanan dan kesenangan. Bercahaya,  sapi-sapi beraneka warna, dan apa saja yang diinginkan akan tercapai. 

Kehidupan di svarga adalah kehidupan yang penuh kelembutan dengan kebahagian material, kegembiraan sensual. Di dalam Upaniûad dinyatakan bahwa kehidupan di alam Devatà akan diikuti oleh kelahiran kembali, lebih rendah dan sifat kebahagiaanya sementara; hanya yang mengetahui kebenaran yang sejati mencapai tingkatan yang lebih tinggi, kebahagiaannya tidak berubah, kedamaian yang tanpa akhir sebagai hasil penyerapan spirit duniawi (Subodh, 2000:1905). Selanjutnya di dalam bahasa Jawa Kuno disebut “sukha tan pawali duhkha”.

Roh mereka yang dirakhmati tinggal di svarga yang ketiga, yakni alam leluhur (pitå atau pitåloka). Penjelasan ini secara umum berarti bahwa leluhur yang terlebih dahulu telah membuka jalan sehingga orang yang baru meninggal dapat segera bergabung dengan mereka.  Leluhur kondisinya juga berbeda-beda, ada yang lebih tinggi, lebih rendah, ada yang di tengah-tengah, ada yang duluan datang dan ada yang belakangan, semuanya mengenal Dewa Agni, tetapi hanya beberapa saja untuk keturunan mereka. Para leluhur senang dengan Soma, menikmatinya bersama para Dewa dan hidup bersamanya. 

Makhluk yang hidupnya abadi disamakan dengan para Dewa. Aksi-aksi kosmis yang besar disamakan dengan para Dewa atau diidentifikasikan sebagai kekuatan para Dewa. Selanjutnya, disebutkan bahwa mereka menghiasi langit dengan bintang-bintang, menempatkan kegelapan pada waktu malam hari dan cahaya pada waktu siang hari. Seperti halnya pembakaran jenasah tidak dalam arti  pelaksanaan sebuah upacara yajña, Agni pembakar jenasah dibedakan dengan Agni sebagai pengantar persembahan kepada para Dewa; demikian pula jalan leluhur dan jalan menuju pada Dewa (ke-devatà-an). Kitab Úatapatha Bràhmaóa menjelaskan lebih jauh tentang perbedaan antara alam svarga (svargaloka) yang merupakan svarga para Dewa dan alam leluhur (pitåloka). 

Leluhur juga disembah seperti para Dewa, dimohon rakhmatnya dan perlindungan bagi penyembahnya, serta menghentikan pahala buruk dari keturunannya atas dosanya sebagai manusia yang dilakukan terhadapnya. Kepada mereka juga dimohon untuk memberikan kekayaan, keturunan, dan umur panjang keturunannya. Sering kali leluhur secara perorangan disebut nama pribadinya. Leluhur datang menghadiri suatu upacara bersama dengan kendaraannya Dewa Indra dan Devatà lainnya, mereka minum persembahan Soma dan duduk di atas alas rumput (kuúa) di selatan (di wilayah tempat tinggal roh).  Mereka datang dalam jumlah ribuan dan duduk bersama di altar persembahan. Mereka menerima  persembahan, yang berbeda dengan persembahan kepada para Dewa (Subodh, 2000:1906).

Lebih jauh penggambaran svarga atau kahyangan, di antaranya disebutkan dalam Sabhàparva (10) bahwa penggambaran kahyangan milik Dewa Kubera sebagai berikut. Ruang sidang utama (hall) panjang dan lebarnya masing-masing 100 yojana, di kelilingi tembok perkotaan yang tinggi. Di tengah-tengah (pusat) kota terdapat gedung yang sangat besar (masion), yakni pada tiang-tiangnya bertaburan permata yang indah. Dewa Kubera dikelilingi oleh ribuan wanita. Dewa Màruta membawakan bau harum dari kalpavåkûa dan memberi hormat kepadanya. gandharva dan apsarà (apsarì), yakni para bidadari memainkan alat musik dan memberi hiburan kepada Dewa Kubera. Miúrakeúì, Rambhà, Menakà, Urvaúi, Citrasenà, Úucismità, Ghåtàcì, Puñjikasthalà, Viúvàcì, Sahajanyà, Pramalocà, Vargà, Saurabheyì, Samìcì, Budhbudà, dan Latà adalah pemuka para bidadari kahyangan milik Dewa Kubera. 

Maóibhadra (Màóibhadra), Dhanada, Àúvetà, Bhadra, Guhyaka, Keúareka, Gaóðakaóðu, Pradyota, Mahàbala, Ka, Tumburu, Piúàca, Gajakaróa, Viúala, Varàhakaróa, Tàmroûþha, Halakakûa, Halodaka, Haýsacùða, Úaòkàvarta, Hemanetra, Vibhìsana, Puûpànana, Piògalaka, Úonitoda, Pravàlaka, Våkûabàûpaniketa, Cìravàsas, dan Nalakubera adalah pejabat tinggi yang mendampingi Dewa Kubera. Dewa Úiva adalah sahabat dekat dari Dewa Kubera yang sering berkunjung ke istananya. Para gandharva dan para åûi kahyangan seperti Viúvàvasu, Hàhà, Parvata, Tumburu, dan Úailùûa tinggal di keraton Dewa Kubera yang selalu menyenangkan dan sangat indah (Mani, 1989:435).

Di dalam Garuda Puràóa (14) dijumpai penggambaran kahyangan Dewa Yama (Yamapurì) sebagai berikut. Yamapurì luasnya ribuan yojana. Terdapat gapura yang besar dan indah pada masing-masing 4 penjuru untuk memasuki kahyangan ini. Pada salah satu sisi kota terdapat sebuah bangunan gedung yang besar, yakni merupakan tempat tinggal Dewa Citragupta. Terdapat beberapa benteng mengelilingi kota yang masing-masing terbuat dari baja. Tedapat ratusan jalan di Kota Yamapurì. Seluruh jalan-jalan dihiasi dengan umbul-umbul dan rangkaian glantungan bunga. Terdapat sekelompok orang (manusia Dewa) di istana Dewa Citragupta. Mereka yang menghitung umur setiap makhluk. Mereka menghitung pahala karma baik, dan buruk dari setiap manusia serta makhluk hidup lainnya. 

Di sebelah selatan gedung tempat tinggal Dewa Citragupta terdapat Jvaramandira (tempat penyakit). Berdampingan dengan tempat tinggal Dewa Citragupta terdapat tempat berbagai penyakit, masing-masing jenis penyakit memiliki tempat sendiri-sendiri. Istana Dewa Yama terletak 20 yojana dari tempat tinggal Dewa Citragupta. Luas wilayahnya 200 yojana dengan tinggi 50 yojana. Bangunan istana Dewa Yama disangga oleh seribu tiang. Pada bagian lain terdapat ruang sidang yang sangat luas. Mereka yang berbuat kebajikan di dunia ini memperoleh tempat yang baik setelah kematiannya, mencapai kebahagiaan dan rakhmat surgawi (Mani, 1989:368).


Sumber: Buku Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Mokûa Dalam Svargarohaóaparva: Perspektif Kajian Budaya; Dr. I Made Titib, Ph.D; 2006 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar