Selasa, 10 Juli 2012

Teori Agama


Teori Agama (Religi)
Penelitian tentang persepsi umat Hindu di Bali terhadap  svarga, naraka, dan mokûa, perspektif kajian budaya, tidak dapat melepaskan diri dari teori agama atau religi yang dianut oleh sebagian masyarakat Bali
dan yang relevan dengan hal itu diketengahkan beberapa konsep agama menurut beberapa ahli peneliti budaya, di antaranya Clifford Geertz. Dalam tulisan Religion As a Cultural System, yakni bab 4 dari The Interpretation of Cultures: Selected Essay, karya Clifford Geertz (1973:90) yang sangat terkenal dalam kajian budaya dinyatakan definisi agama, terutama yang memiliki sifat eksplisit dan berguna, yakni:
(1) a system of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4) clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seem uniquely realistic.

Lebih jauh dalam tulisannya “Internal Conversionin Contemporary Bali yang merupakan bab 7 dari The Interpretation of Cultures: Selected Essay, karya Clifford Geertz (1973:176) dinyatakan:
Religion not only is not pervaded with a consistent, highly distinctive tone (a kind of sedulous theatricalism which only extended description could evoke), but the elements which comprise it cluster into a number of relatively well-defined ritual complexes which exhibit, in turn, a definite approach to properly religious issues no less reasonable for being implicit. Of these, three are of perhaps greatest importance: (1) the temple system; (2) the sanctification of social inequality; and (3) the cult of death and witches. As the relevant ethnographic details are readily available in the literature, my description of these complexes can be cursory.  

Pengertian, definisi atau konsep tentang agama dan ciri-cirinya seperti tersebut di atas, khususnya ciri ketiga, yakni tentang upacara kematian dan ceritra alam gaib termasuk SNM, sangat relevan dengan topik penelitian ini. Studi tentang agama Hindu di Bali tidak hanya dapat dilakukan melalui pendekatan antropologi (kebudayaan), tetapi juga melalui pendekatan teologi dan filsafat, khususnya filsafat hermeneutik yang diajukan oleh Hans-Georg Gadamer.

Agama menyangkut suatu teologi yang di sekitarnya disusun upacara-upacara (ritual) serta dogma-dogma tertentu. Teologi hanya bermaksud memberikan  penjelasan atau interpretasi tentang dasar-dasar tersebut, sehingga teologi semacam itu digolongkan ke dalam teologi tradisional. Dalam sistem teologi Hindu yang dianut oleh orang Bali, teologi itu tidak menghapuskan kepercayaan dan kebudayaan asli, tetapi yang terjadi adalah lokalisasi, kontekstualisasi atau pempribumian terhadap agama Hindu sehingga melahirkan teologi lokal (Atmadja, 2002:2).

Teologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata theos yang berarti ‘Tuhan’ dan logos yang berarti ‘ilmu’. Jadi teologi adalah ilmu tentang Tuhan yang di dalam bahasa Sanskerta sangat dekat dengan kata Brahmàvidyà atau Tattva Jñàna (Pudja, 1977:9). Sebagai sebuah ilmu, teologi dirumuskan sebagai usaha sistematis untuk menampilkan, menafsirkan, dan membenarkan kepercayaan kepada Dewa-dewa dan atau Tuhan dengan cara yang konsisten dan bermakna (Lupito, 1995:342, Lorens, 2002:1091). 

Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu di Indonesia disebut Sang Hyang Widhi Wasa (di dalam teks ditulis Saò Hyaò Viddhi Vaúa). Nama ini berarti yang menakdirkan atau yang menciptakan dan mahakuasa (Monier, 1993:968,  Mani, 1989:155, Zoetmulder, 1995:1427), yang di dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan nama Saò Hyaò Tuduh atau Saò Hyaò Titah. Umat Hindu di Indonesia yang telah memeluk agama Hindu secara turun-temurun memuja Sang Hyang Widhi sebagai Bhaþþàra Úiva (Sura, 1999:25).

Dalam terminologi Hindu, tampaknya makna teologi dapat disejajarkan dengan pengertian Brahmàvidyà yang didefinisikan sebagai pengetahuan tentang Brahman. Kitab-kitab Hindu klasik di India yang membahas secara mendasar tentang Brahman, terutama kitab-kitab Upaniûad, Brahmà Sùtra dan Bhagavadgìtà. Ketiga kitab-kitab tersebut secara mentradisi disebut Prasthànatraya (Suamba, 2003: 191) atau disebut juga Prasthànatrayi (Titib, 1996:128). Sebagaimana yang dikutip oleh Suprayoga dan Tobroni (2001:57-58), Steenbrink mengatakan, bahwa teologi memang tidak bermaksud  membicarakan problematika mengenai ketuhanan, baik wujud, sifat, maupun perbuatan-Nya, yakni di dalam khasanah Islam disebut “Ilmu Kalam”. 

Selanjutnya, Suprayoga dan Tobroni  mengatakan  bahwa  teologi  merupakan  ilmu subjektif yang timbul dari dalam, yang lahir dari jiwa yang beriman dan bertaqwa berdasarkan wahyu. Di samping itu, juga dijelaskan bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman pada konteks ruang dan waktu tertentu. Dapat juga dikatakan bahwa teologi adalah pengkajian, penghayatan (internalisasi) dan perwujudan (aktualisasi) nilai-nilai iman dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan.

Dalam buku Aneka Pendekatan Studi Agama yang disunting oleh Peter Connoly (2002:312) dengan kata pengantar Ninian Smart, Frank Whaling secara khusus mengkaji agama melalui pendekatan teologi. Ia mengatakan bahwa posisi teologi sangatlah penting dalam berbagai pembahasan tentang studi dan pengajaran agama. Pendekatan teologis memfokuskan diri pada sejumlah konsep, khususnya yang didasarkan pada ide theologos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan. Lebih lanjut dikatakan bahwa pandangan teologi dapat dikategorikan menjadi tiga kesimpulan: 
  1. teologi mesti berkaitan dengan Tuhan atau transendensi, apakah dilihat dari mitologis, filosofis, atau dogmatis; 
  2. doktrin tetap menjadi elemen signifikan dalam memaknai teologi; dan 
  3. teologi sesungguhnya adalah aktivitas yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan.


Paul Tillich (2002:4)  dalam bukunya Teologi Kebudayaan menjelaskan bahwa kritik keyakinan ilmiah dan teologis mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia dengan Tuhan yang eksistensinya dinyatakan oleh kritik teologis sehingga agama merupakan aspek jiwa. Seorang sosiolog, Pitrim Sorokin,  telah menguraikan masyarakat varna àúrama dengan istilahnya sendiri sebagai budaya idaman, yaitu sebuah budaya yang pandangannya atas dunia pada dasarnya bersifat metafisik, bukannya dunia yang hanya terbatas oleh indera. Ìúa Upaniûad memberi ide dasar terhadap budaya idaman tersebut (Pudja, 1976:21). Berikut ini kutipan kitab Ìúa Upaniûad dimaksud.

¡xavaSyimdm( sv| yiTkÆ jgTya' jgt( -
ten Tyµwn .uÇ¢qa ma g*/" kSy iSvd( /nm( --1-- 
Ìúavasyam idaý sarvaý yatkiñca jagatyaý jagat,
tena tyaktena bhùñjitha ma gåddhah kaúya svidhanam
 Ìúa Upaniûad 1.
‘Sesungguhnya apa pun  yang ada di jagat raya ini, yang berjiwa dan yang tidak berjiwa, dikendalikan oleh Ìúa (Tuhan Yang Maha Esa), oleh karena itu orang hendaknya menerima apa yang diperlukan dan diperuntukkan bagi dirinya dan tidak menginginkan milik orang lain’

Berdasarkan berbagai definisi atau pengertian tentang teologi seperti tersebut di atas,  maka pada prinsipnya mempunyai arti atau pengertian yang sama, yakni ilmu tentang Tuhan dengan berbagai aspeknya, termasuk ajarannya. Dengan pemahaman terhadap konsep teologi tersebut, maka penelitian ini akan lebih mudah dilaksanakan. Oleh karena itu konsep atau pendekatan teologi sangat berguna dalam penelitian ini,  terutama untuk mencari pembenaran tekstual (normatif) dengan persepsi dan kontekstual tentang SNM. Hal ini sejalan dengan pendapat Irmayanti (2004:27) yang menyatakan bahwa pengertian religi dilihat sebagai suatu teks atau doktrin atau ajaran-ajaran.

          Makna agama (religi) berangkat dari pemahaman ketuhanan sehingga akan meningkatkan úraddhà (keimanan) dan bhakti (taqwa) umat Hindu terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut dengan aneka nama. Makna etis menjadikan umat Hindu bertingkah laku yang baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai Sang Pencipta, terhadap semua makhluk hidup dan alam semesta ciptaan-Nya, sedang makna estetis dari pemahaman ketuhanan akan menumbuh-kembangkan seni budaya yang adiluhung. Oleh karena keindahan adalah sebuah persembahan, sebagai sarana untuk memuja-Nya sehingga dapat memberikan ketentraman, kedamaian, dan kebahagiaan kepada seseorang yang meyakininya.

          Karya sastra baik berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno, dan  Bali sesungguhnya merupakan susastra agama atau susastra Hindu. Berkenaan dengan hal tersebut maka subjek kajian Svargarohaóaparva berbahasa Jawa Kuno dan karya sastra Bali seperti: Gaguritan Bhìma Svarga (GBS), Putru Pasaji (PP), Àtmapraúaòúa (Ap), Kakavin Aji Palayon (KAP),  Gaguritan I Japatvan (GIJ), Kiduò Bagus Diarsa (KBD), dan Gaguritan Bagus Diarsa (GBD) adalah susastra agama  Hindu yang di dalamnya mengandung makna religi, etika dan estetika.

Sumber: Buku Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Mokûa Dalam Svargarohaóaparva: Perspektif Kajian Budaya; Dr. I Made Titib, Ph.D; 2006 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar