Selasa, 10 Juli 2012

Teori Perubahan


Teori Perubahan
Adanya perubahan adalah pertanda kehidupan, yaitu merupakan kebenaran yang melandasi sejarah dan mempunyai tingkat perubahan yang berbeda-beda.
Demikian pula laju perubahan tidak selalu dan tidak perlu sama dalam segala sektor kehidupan. Adapun yang menjadi peletup perubahan adalah gagasan dasar (Sedyawati, 1975). Perubahan diartikan sebagai proses yang mengakibatkan keadaan sekarang berbeda dengan keadaan sebelumnya, perubahan bisa berupa kemunduran atau bisa berupa kemajuan/progress (Syani, 1995:83). 

Konsep perubahan umumnya difokuskan pada perubahan masyarakat dan perubahan kebudayaan. Ada tiga bentuk perubahan masyarakat, yaitu (1) perubahan alami, (2) perubahan yang direncanakan, (3) perubahan yang tergantung kepada kehendak individu. Perubahan alami adalah perubahan yang terjadi secara tidak sengaja atau terjadi dengan sendirinya. Perubahan alami dapat berproses lebih cepat atau lebih lambat, biasanya menggunakan sumber-sumber alam, energi dan modal, peraturan  baru, tenaga kerja, serta penggunaan teknologi baru. Semua hal ini akan menyebabkan adanya sestem produksi dan dihasilkannya produk-produk baru. Dalam proses penemuan baru ini, baik yang berupa alat maupun ide baru biasanya berlangsung cukup lama (Koentjaraningrat, 1990:108-109). Perubahan persepsi tentang SNM, akan bertolak dari teori perubahan  Alvin Boskoff (1964:140-157) yang mengungkapkan bahwa perubahan sosial budaya dalam masyarakat disebabkan adanya faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah sebagai faktor yang datang dari dalam, sedang faktor eksternal merupakan faktor yang datang dari luar. 

Faktor internal (manusia) yang dapat mempengaruhi perubahan sosial adalah adanya tiga tenaga dinamis yang dimiliki oleh manusia, yaitu kecenderungan, dorongan hati, dan kemauan, sedangkan faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap perubahan, yakni meliputi berbagai hal, seperti: sistem  pendidikan yang terencana, ekonomi, nilai-nilai sosial dan warna politik negara yakni negara sosialis dan negara Pancasila (Hendropuspito, 1989:266-267). Faktor internal menurut Koentjaraningrat (1972:132). menyebutkan tiga hal, yaitu (1) dorongan adanya kesadaran orang-orang akan kekurangan dalam kebudayaannya, (2) kualitas ahli-ahli dalam satu kebudayaan, dan (3) perangsang kreativitas-kreativitas penciptaan dalam masyarakat. Faktor eksternal yang penting adalah adanya akulturasi budaya atau pengenalan dengan budaya lain.

Edi Sedyawati (1995/1996:138-139) mengungkapkan bahwa adanya perubahan disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah perubahan kebudayaan yang datang dari masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri yang disebabkan oleh karena berbagai macam dorongan, antara lain tantangan dari perubahan yang sifatnya alami dan demikian bermaknanya perubahan tersebut sehingga manusia didorong ke arah suatu keharusan untuk menyesuaikan diri, artinya mengadakan tindakan-tindakan perubahan. Penyebab yang lain adalah kejenuhan. Faktor eksternal adalah pengaruh-pengaruh dari luar karena adanya interaksi, misalnya interaksi antara bangsa. Pada masa-masa yang lalu, interaksi hanya dapat terjadi apabila ada pertemuan-pertemuan tatap muka. Berbeda dengan sekarang, berkat kecanggihan teknologi komunikasi, interaksi dapat dilakukan melalui media komunikasi jarak jauh, baik personal maupun impersonal.

Piliang (2000: 112-116) menyatakan bahwa ada empat macam wacana perubahan yang mempengaruhi wacana kebudayaan dan kesenian di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia adalah perubahan wacana pada bidang sosial-ekonomi, sains dan teknologi, budaya, dan perubahan pada wacana estetik. Perubahan tersebut membawa dampak positif dan negatif. Dampak posistifnya adalah semakin terbukanya cakrawala dunia kesenian Indonesia dan melihat berbagai kemungkinan perubahan masa depannya. Akan tetapi, pengaruh negatifnya adalah terseretnya  wacana kesenian tersebut ke dalam arus dan irama perubahan global, tanpa dapat memberikan sumbangan dan peran yang berarti dalam gerak, proses, dan perubahan dinamika, baik secara ekonomi, kultutral, dan estetik.
    
Suatu teks penuh makna bukan hanya karena mempunyai struktur tertentu, suatu kerangka yang menentukan, dan mendukung bentuk, tetapi juga karena teks itu berhubungan dengan teks lain. Sebuah teks lahir dari teks-teks (lain) dan harus dipandang sesuai dengan tempatnya dalam kawasan tekstual. Hal inilah yang disebut dengan intertekstual atau hubungan antarteks, yaitu dengan pengertian bahwa suatu teks tidak dapat tidak dipengaruhi  oleh teks-teks lain (Partini, 1986:60). Sejalan dengan kerangka berpikir tersebut di atas, teori perubahan dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis persepsi umat Hindu terhadap SNM  dalam Svargarohaóaparva. Perubahan berupa penggambaran yang berbeda tersebut dapat dijumpai dalam berbagai teks karya sastra Bali dalam bentuk tutur, kakavingaguritan atau gancaran yang menguraikan tentang SNM seperti telah diuraikan di atas.

Sumber: Buku Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Mokûa Dalam Svargarohaóaparva: Perspektif Kajian Budaya; Dr. I Made Titib, Ph.D; 2006 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar