Teori Hermeneutik
Secara etimologis hermeneutik berasal dari kata hermeneuein,
bahasa Yunani, yang berarti “menafsirkan atau menginterpretasikan”. Secara
mitologis hermeneutik dikaitkan
dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang menyampaikan pesan Illahi kepada manusia.
Pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa
tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri.
Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas
bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak makna yang tersembunyi atau
dengan sengaja disembunyikan (Kutha, 2004: 45). Pada mulanya hermeneutik
berkaitan erat dengan kitab suci yang digunakan untuk menafsirkan
komentar-komentar aktual atas teks kitab suci atau eksegese (Irmayanti,
2004:22).
Hermeneutik
merupakan hasil pemikiran Friederich Schleiermacher (1768-1834), ahli teologi
dan juga ahli filologi klasik dari Jerman. Ia berasumsi bahwa jika orang
memahami sesuatu, hal itu terjadi karena analogi, yakni dengan jalan
membandingkannya dengan sesuatu yang lain yang sudah diketahuinya. Selanjutnya
yang diketahui itu membentuk kesatuan-kesatuan yang bersistem atau juga membentuk lingkaran-lingkaran yang
terdiri atas bagian-bagian. Lingkaran tersebut sebagai satu keseluruhan
menentukan arti masing-masing bagian, dan bagian-bagian itu secara bersama-sama
membentuk lingkaran. Lingkaran inilah yang disebut lingkaran hermeneutik (Poespoprodjo,
1987:44-45). Pemikiran Schleiermacher tentang hermeneutik itu digarap
lebih lanjut oleh W. Dilthey (1833-1911) seorang ahli filsafat, juga dari
Jerman, yang melihat hermeneutik sebagai metode ilmu sosial dan
humaniora, yaitu semua studi yang menafsirkan ekspresi kehidupan kejiwaan
manusia, seperti hukum tertulis, karya seni, dan karya sastra. Sejalan dengan
pemikiran Schleiermacher, Dilthey juga berpendapat bahwa kegiatan pemahaman (verstehen)
berlangsung di dalam prinsip lingkaran
hermeneutik. Keseluruhan diartikan berdasarkan bagian. Sebaliknya,
bagian-bagian hanya dapat ditangkap dalam kaitan dengan keseluruhan
(Poespoprodjo, 1987:65).
Selanjutnya, berkaitan
dengan pengertian hermeneutik, Josef Bleicher (1990:1) menyatakan
sebagai berikut.
Hermeneutics can loosely be defined as the theory or philosophy of the interpretation of meaning. It has recently emerged as a central topic in the philosophy of the social sciences, the philosophy of art and language and in literary criticism – even though its modern origin points back to the early nineteenth century.
The realization that human expressions contain a meaningful component, which has to be recognized as such by a subject and transposed into his own system of values and meanings, has given rise to the ‘problem of hermeneutics’: how this process is possible and how to render accounts of subjectively intended meaning objective in the face of the fact that they are mediated by the interpreter’s own subjectivity.
Contemporary hermeneutics is characterized by conflicting views concerning this problem; it is possible to distinguish three clearly separable strands: hermeneutical theory, hermeneutic philosophy critical hermeneutics.
Hermeneutical theory focuses on the problematic of general theory of interpretation as the methodology for human sciences (or Geisteswissenchaften, which include the social sciences). Though the analysis of verstehen as the method appropriate to the re-experiencing or re thinking of what an author had originally felt or thought, Betti hoped to gain an insight into the process of understanding in general, i.e. how we are able to transpire a meaning-complex created by someone else into our own understanding of ourselves and our world.
Selain
itu, Josef Bleicher menyatakan bahwa teori hermeneutik menggunakan alat
metodologis mengenai lingkaran
hermeneutik (hermeneutic circle)
yang di dalamnya terdapat sebuah teks didalami melalui interpretasi resiprokal
(timbal balik) atas keseluruhan dan elemen-elemen pokoknya. Lingkaran
hermeneutik (hermeneutic circle) dan filsafat hermeneutik
jelas-jelas membungkus topik interpretasi dengan baik, dan dengan demikian,
menghancurkan konsep-diri objektivitas ilmu-ilmu hermeneutik dengan
mengacu pada peranan kesejarahan subjek. Saat “keseluruhan” tampak sebagai
“cakrawala” yang menuntun “antisipasi kesempurnaan”, hermeneutik kritis
menangkapnya kembali sebagai sebuah totalitas, seakan-akan darinyalah
antisipasi dan tujuan sejarah, sebagai proses pembentukan kemanusiaan dan
kritik atas masa lalu dan masa kini yang diterangi olehnya, menjadi mungkin
untuk melengkapi interpretasi dengan makna peristiwa-peristiwa historis,
seperti dijelaskan berikut ini.
Hermeneutical theory uses the methodological device of the hermeneutical circle in which a text is brought to the understanding through the reciprocal interpretations of a whole and its constituent elements. The ‘hermeneutic circle’ hermeneutic philosophy has evidenced envelops the subject of interpretation as well and thereby destroy the objectivist self-conception of the hermeneutical sciences by pointing to the role of the subject’s historically. Whereas here the ‘whole’ still appears as the ‘horizon’ which guides the ‘anticipation of perfection’ critical hermeneutics recast it is as a totality, as the process of the formation of humanity and the critique of the past and present in its light, becomes possible in addition to the interpretation of the meaning of historical events (Bleicher, 1990: 258).
Kailan
(2005:81-83) menyatakan bahwa lingkaran hermenutik adalah semacam pola
penyelidikan ilmiah untuk interpretasi, karena di dalam lingkaran itu terdapat
kategori, bagian-bagian, serta unsur-unsur yang telah ditentukan peneliti.
Hubungan antara kategori satu dengan lainnya merupakan satu proses
interpretasi. Simbol-simbol atau obyek verbal yang pada kebudayaan manusia
selalu memiliki makna ganda, yaitu makna literal atau harfiah dan makna sesungguhnya.
Makna yang pertama menghasilkan pemaknaan literal (harfiah); sedangkan makna
kedua yang berada di balik makna literal, merupakan makna yang sesungguhnya,
makna yang harus dicari, diterjemahkan, dan dipahami oleh peneliti. Di sisi
lain, pada pemaknaan verbal teks harus dilihat sebagai hubungan antara peneliti
dan pencipta teks. Hubungan antara pencipta teks dengan peneliti menyebabkan
adanya dua posisi, yaitu distansi dan apropriasi. Penerapan cara kerja atau
proses lingkaran hermeneutik tersebut dapat dilihat pada Skema 1 berikut.
Skema 1
PROSES PEMAKNAAN DALAM LINGKARAN HERMENEUTIK
Selanjutnya,
tujuan hermeneutik adalah untuk mencapai dan menemukan makna yang terkandung
dalam obyek penelitian yang berupa fenomena kehidupan manusia, melalui
pemahaman dan interpretasi (Irmayanti, 2002:70). Lebih jauh mengenai
interpretasi, Teeuw (2003:102-104)
mengemukakan pendapatnya tentang interpretasi teks, sebagai berikut.
....
interpretasi keseluruhannya tidak dapat dimulai tanpa pemahaman
bagian-bagiannya, tetapi interpretasi bagian mengandaikan lebih dahulu
pemahaman keseluruhan karya itu. Dalam praktik sastra, lingkaran itu
dipecahkan secara dialektik, bertangga
dan lingkarannya sebenarnya bersifat spiral, mulai dari interpretasi menyeluruh
yang bersifat sementara kita berusaha untuk menafsirkan anasir-anasir sebaik
mungkin; penafsiran bagian-bagian pada gilirannya menyanggupkan kita untuk
memperbaiki pemahaman keseluruhan karya, kemudian interpretasi itulah pula yang
memungkinkan kita untuk memahami secara lebih tepat dan sempurna
bagian-bagiannya, dan seterusnya, sampai pada akhirnya kita mendapatkan taraf
penafsiran di mana diperoleh integrasi makna total dan makna bagian yang
optimal....
.... Yang jelas pula: proses interpretasi yang bertangga didasarkan pada asumsi atau
konvensi ataupun aksioma bahwa teks yang dibaca mempunyai kesatuan,
keseluruhan, kebulatan makna dan koherensi intrinsik. Dalam masyarakat sastra
yang menganut konvensi dasar bahwa sebuah karya tidak harus mempunyai makna
yang homogen, menyeluruh dan terintegrasi (seperti sastra India dan China),
proses interpretasi tidak mungkin dikuasai oleh lingkaran hermeneutik yang
hanya dapat dipecahkan secara bertangga....
.... Kalau seorang pembaca tidak berhasil mencapai
interpretasi integral dan total, hanya
ada dua kemungkinan: karya itu gagal, atau pembaca bukanlah pembaca yang baik,
kemungkinan ketiga tidak ada.
Interpretasi
teks, bahasa, dan pemahamannya untuk mengemukakan kebenaran yang tersembunyi,
yakni merupakan isu sentral hermeneutik filosofisnya Hans-Georg Gadamer.
Menurut Richard E. Palmer dalam bukunya Hermeneutics: Interpretation
Theory in Schleirmacher, Dilthey, Heiddegger, dan Gadamer (dalam Edi
Mulyono, 2003:139), konsepsi Gadamer tentang hakikat bahasa ialah penolakannya
terhadap ‘teori tanda’, karena penempatan bahasa sebagai tanda sama
dengan memperkosa kekuatan primordialnya dan hanya mengeliminasinya semata sebagai alat penanda. Hubungan primordial
pembicaraan dan pemikiran terkikis menjadi hubungan instrumental saja. Kata
menjadi alat pemikiran dan penentang sesuatu yang ditandai. Edi Mulyono
(2003:139) menambahkan bahwa bahasa terbonsaikan sebagai kendaraan dan
kehilangan kekuatan pengalaman dan tradisinya. Bahasa bukanlah semata alat yang
kita gunakan, sesuatu yang kita konstruksikan untuk mengkomunikasikan dan
membedakan. Menurut Gadamer bahasa harus
dipahami sebagai yang menunjuk pada pertumbuhan mereka secara historis, dengan
kesejarahan makna-maknanya, tata bahasa, dan sintaksisnya. Dengan demikian,
maka bahasa muncul sebagai bentuk-bentuk variatif logika pengalaman, hakikat,
termasuk pengalaman historis/tradisi, di samping juga meliputi pengalaman
supernatural/spiritual. Gadamer (1992:395) menambahkan pernyataannya seperti berikut ini.
Furthermore, our conception of the nature of
literary tradition contains a fundamental objection to the hermeneutical
legitimacy of the idea of the original
reader. We saw that literature is defined by the will to hand on. But a person
who copies and passes on is doing it for his own contemporaries. Thus the
reference to the original reader, like that to the meaning of the author, seems
to offer only a very crude historico-hermeneutical criterion that cannot really
limit the horizon of a text’s meaning. What is fixed in writing has detached
itself from the contingency of its origin and its author and made itself free for new relationships. Normative
concepts such as the author’s meaning or the original reader’s understanding in
fact represent only an empty space that is filled from time to time in
understanding.
Lebih
jauh tentang penafsiran teks, Hans-Goerg Gadamer (1992:292) menyatakan seperti
di bawah ini.
When we try to understand a text, we do not
try to transpose ourselves into the author’s mind but, if one wants to use this
terminology, we try to transpose ourselves into the perspective within which he
has formed his views. But this simply means that we try to understand how what
he is saying could be right. If we want to understand, we will try to make his
argument even stronger. This happens even in conversation, and its a fortiori
true of understanding what is written down that we are moving in a dimension of
meaning that is intelligible in itself and such offers no reason for going back
to the subjectivity of the author. The task of hermeneutics is to clarify this
miracle of understanding, which is not a mysterious communion of souls, but
sharing in a common meaning.
Di antara beberapa teori hermenutik,
Hermeneutik Hans-Georg Gadamer sangat relevan
dipakai sebagai landasan teori dalam mengkaji pesan atau makna yang terkandung
dalam teks-teks, yakni di dalamnya terdapat persepsi tentang SNM yang terkandung dalam Svargarohaóaparva.
Sumber:
Buku Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Mokûa Dalam Svargarohaóaparva: Perspektif Kajian Budaya; Dr.
I Made Titib, Ph.D; 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar