MAPANDES = POTONG GIGI
Sejarah Terjadinya Potong Gigi
Penggalian fossil-fossil manusia purba yang diketemukan di Gilimanuk yang diperkirakan berumur sekitar 2000 tahun yang lalu, menunjukkan sudah dikenalnya sistem penguburan mayat yang terlipat dan pada gigi-gigi mereka menunjukkan tanda-tanda telah diasah. Dengan demikian maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa upacara potong gigi sudah dikenal dipulau Bali ini sejak 2000 tahun yang lalu.
Menurut G.A. Wilken seorang sarjana barat
yang terkenal, menyebutkan bahwa pada bangsa-bangsa pra sejarah di daerah
kepulauan Polinesia, Asia Tengah dan Asia Tenggara terdapat suatu kepercayaan
pentingnya memotong bagian-bagian tertentu dari tubuh seperti rambut, gigi,
menusuk (melobangi) telinga, tatuage (mencacah kulit) dan sebagai upacara
berkorban kepada nenek moyang. Kepercayaan mutilasi tubuh ini sampai sekarang
juga dikenal, dimana kebiasaan semacam itu sebagian dianggap sebagai adat dan
sebagian lagi malahan dianggap sebagai sarat agama. Penyiksaan diri dalam
batas-batas tertentu dianggap sebagai korban dalam agama, antara lain adalah
tapa dan brata.
Demikian pula upacara-upacara yang sudah
merupakan adat agama Hindu di Pulau Bali antara lain ialah: upacara potong
rambut pada waktu umur tiga bulan dianggap sebagai upacara penyucian,
melenyapkan mala (kekotoran) dari rambut yang dibawa sejak lahir, disertai
dengan upacara “metusuk kuping “ yaitu melobangi daun telinga. Disamping itu upacara
3 bulan ini adalah upacara perubahan status dimana si bayi mengambil nama
(diberi nama secara resmi), berkenalan dengan alam sekitarnya, mempermaklumkan
ke Bale Agung dan permakluman kepada Kepala Desa Adat sebagai warga desa yang
baru.
Jadi potong rambut dan melobangi daun
telinga ini dimana menurut G.A. Wilken dianggap sebagai korban kepada roh nenek
moyang bagi orang primitif kini mempunyai arti perubahan status dan penyucian
dalam agama Hindu di Bali. Demikian pulalah halnya upacara potong gigi yang
akan kita bicarakan sekarang lebih bersifat adat agama, karena ditunjuk dan
ditunjang oleh mithology-mithology keagamaan sehingga upacara ini menjadi
bernilai sakral atau suci.
Untuk memberikan gambaran sedikit
mengenai arti gigi dalam mithology-mithology di Bali kiranya baik kalau kami
kemukakan beberapa petikan atau garis besar isi ceritra-ceritra yang disebutkan
dalam mithology-mithology itu.
a. Petikan dari PUJA KALAPATI
b. Ringkasan dari Kala Tattwa
c. Ringkasan ceritra Semaradahana.
Dari beberapa petikan
lontar atau Ringkasan ceritra yang kami sebutkan di atas maka dapat kita tarik
suatu kesimpulan :
Puja Kalapati.
Gigi yang wajib dipotong adalah taring
dan gigi seri. Kalau tidak melaksanakan upacara potong gigi maka mala
(kekotoran) yang disebabkan oleh kelahiran akan terbawa sehingga yang
bersangkutan tetap masih berjasad bhuta, kala, pisaca dan sebagainya.
Kalau
masih berjasad bhutakala maka para Dewa dan Pitara tidak akan berani dekat
sehingga akhirnya waktu meninggal tidak akan bisa bertemu dengan Ibu Bapa
(mungkin yang dimaksud disini adalah penciptanya yaitu Sanghyang Widhi).
Sebab itu Sanghyang Parameswara menganugrahkan
kepada manusia Puja Kalapati. Perlu dimaklumi bahwa puja atau mantramnya
tercantum dalam puja Khalib. Yang isinya merupakan tuntunan melaksanakan
upacara kalau terjadi perubahan umur, status atau kwalitas yang disebabkan oleh
peningkatan umur ataupun peningkatan kesucian.
Dari Ringkasan Kala Tattwa kita dapat
simpulkan :
Bhatara Kala lahir dari Kama (air mani) yang salah tempat dan salah waktu (maksudnya pertemuan sex yang didasarkan pada semata-mata hawa nafsu).
Bhatara kala ingin menemui Ibu
Bapanya. Baru bisa bertemu atau mengenal Ibu dan Bapa setelah taringnya dipotong.
Dari Ringkasan Semaradahana kita dapat
simpulkan :
Dewa Ganesa lahir dari kama (hubungan sex akibat panah dewa asmara) yang dilakukan atas keinginan
Dewa-Dewa. Dewa Ganesa baru bisa mengalahkan
raksasa Nilarudraka setelah taringnya
patah dan dengan senjata itu raksasa
itu dibunuh. Disini menonjol
peranan Dewa Semara Ratih.
Setelah kami ambil point-point dari
ketiga ceritra ini maka rupa-rupanya ceritra inilah yang dipakai sebagai dasar
rituil dan dasar etik dalam melaksanakan upacara potong gigi yang di Pulau Bali
dikenal dengan upacara Mapandes atau Metatah.
Tujuannya untuk melenyapkan sifat Bhutakala agar bisa bertemu kembali
dengan penciptanya (Ibu Bapa) setelah meninggal.
Disamping itu ada versi yang lain lagi
yaitu dari lukisan Atmaprasangsya yang dilukiskan di Taman Kertaghosa
Klungkung. Disana ada gambaran pitara yang dihukum menggigit pangkal bambu
karena bersalah selama hidup belum pernah melakukan potong gigi.
Mungkin ceritra ini merupakan salah satu
dari pada anjuran yang bersifat menakut-nakuti agar orang mau melaksanakan
upacara potong gigi. Jelaslah fungsi upacara potong gigi, merupakan pelunasan
hutang kewajiban dari orang tua kepada anak-anak mereka, dengan harapan setelah
upacara itu anak-anak mereka tidak lagi dikuasai oleh sifat-sifat bhutakala.
Mengapa ada hubungannya dengan bhutakala, bukankah bayi itu dilahirkan tanpa
dosa?
Orang tua mereka telah melakukan senggama
didorong oleh hawa nafsu, sehingga lahirlah anak yang memiliki sifat
keraksasaan. Sifat-sifat ini diwariskan oleh orang tua mereka. Oleh karena itu
ibu dan bapak merasa berhutang yaitu hutang kewajiban. Perasaan berhutang
sering menimbulkan penasaran bila anaknya yang sudah dewasa meninggal dan belum
sempat diupacarai potong gigi. Mereka bersikeras untuk melaksanakan upacara
potong gigi itu sebelum mayat anaknya diaben. Sampai sekarang dikalangan
masyarakat Bali timbul pro dan kontra tentang boleh dan tidak bolehnya orang
yang sudah meninggal diupacarai potong gigi. Masalah pro kontra ini kami akan
sajikan pada bagian akhir tulisan ini. Sebagaimana diketahui Umat Hindu suka
sekali memakai simbol-simbol, temyata simbol-simbol ini kalau kita dalami
banyak sekali mengandung kebenaran-kebenaran yang tersembunyi. Kiranya untuk
dapat mengerti arti simbol-simbol itu perlu diikuti jalan pikiran nenek moyang
kita, pencipta mithology-mithology itu terlebih dahulu. Untuk itu kita harus
menempatkan diri ke alam mereka dan menghayati simbol-simbol ini dalam suasana
yang dialami nenek moyang kita itu. Tafsiran yang lepas dari suasana dan
lingkunganya akan melahirkan tafsiran yang keliru.
Dibawah ini kita akan bahas satu persatu
aspek-aspek potong gigi ini dengan memakai latar belakang petikan ceritra-ceritra
yang telah kami sebutkan tadi.
Mulai umur berapa orang baru boleh
melaksanakan upacara potong gigi?
Untuk memberikan jawaban kepada
pertanyaan ini sumber-sumber lontar yang telah kami sebutkan tidak ada
menyinggung secara tegas. Namun dalam Lontar Tutur Sanghyang Yama ada
disebutkan sebagai berikut:
... mwah yan amandesi wwang durung
angraja, pada tan kawenang, amalat rare ngaranya, tunggal alanya ring wwang
angrabyaning wwang durung angraja, tan sukrama kna ring jagat megawe sanggar
negaranira Sri Aji.
Terjemahan
bebasnya :
... lagi jika memotong gigi orang yang
belum kotor kain, sama sekali tidak dibenarkan, memperkosa bayi (anak-anak)
namanya, sama buruknya dengan orang yang mengawini orang yang belum kotor kain
(belum dewasa) tidak patut hal itu dilakukan di dunia akan mengakibatkan
rusaknya negara sang raja.
Jadi dengan demikian seseorang baru boleh
melaksanakan upacara Mepandes setelah mereka naik dewasa dalam arti sudah
pernah kotor kain. Didalam Smaradahana ada disinggung sedikit bahwa kelahiran
Bhatara Ganesa adalah perbuatan Bhatara Semara. Sebab itu maka di dalam upacara
Mepandes yang dilaksanakan di Bali pada umumnya maka Bhatara Semara Ratih-lah
yang dipuja (memakai Puja smara) dengan harapan agar Beliau menuntun hawa nafsu
keinginan yang diupacarai. Warna yang menonjol adalah warna kuning.
Demikian pula hiasan-hiasan yang
dipergunakan serba kuning lambang cinta kasih, karena Dewa Semara adalah
Dewanya cinta kasih. Dengan demikian upacara potong gigi ada hubungannya dengan
mulainya pria dan wanita merasakan getaran cinta (puber) sebagai tanda
Sanghyang Semara Ratih telah masuk di dalam kalbu kedua insan yang berlainan
jenis ini. Sanghyang semara Ratih telah diperintahkan oleh Bhatara Siwa untuk
memasuki lubuk hati semua mahluk. Perintah itu diucapkan waktu Beliau
menebarkan abu Sanghyang Semara Ratih ke dunia. Namun walaupun demikian waktu
yang paling tepat untuk melaksanakan upacara potong gigi adalah pada umur
meningkat dewasa dan sudah kotor kain.
Konon menurut para Sangging (tukang tatah
gigi) kalau gigi itu sudah tua, gigi itu mudah rapuh dan cepat rusak, sedang
gigi orang muda katanya lemas dan kuat.
Walaupun sudah ada anjuran sebaiknya
upacara potong gigi itu dilaksanakan pada waktu masih muda namun orang Bali
membenarkan pemilihan situasi sesuai dengan desa, kala, patra, yaitu keadaan
keuangan mereka, hari yang dianggap baik, dan keadaan lainnya yang mendukung
terselenggaranya upacara tersebut.
Mungkin
saja pada waktu masih muda orang tuanya belum cukup mempunyai uang untuk melaksanakan
upacara, sebab itu tidaklah ada kata absolut yang harus dalam adat agama Hindu.
Upacara potong gigi-pun bisa ditunda sampai keadaan memungkinkan. Masalah
biaya, adanya hari baik dan kalau mungkin mencari kesempatan agar bisa
bersama-sama dengan adik-adiknya atau familinya sekaligus juga dengan tujuan
mengirit biaya.
Tujuan Upacara Potong Gigi (Mepandes).
Berdasarkan lontar-lontar dan
mithology-mithology yang telah kami sebutkan di muka dapatlah ditarik suatu
kesimpulan yaitu :
- Upacara potong gigi adalah upacara penyucian bagi orang yang sudah menginjak dewasa, agar menjadi manusia yang baik.
- Swadharma atau kewajiban dari orang tua yang merasa bertanggung jawab mendidik dan menuntun putra-putrinya menganggap secara spiritual dan ritual perlu memotong gigi (mandesin) putra-putriya agar sifat-sifat Bhuta kala pisaca itu dapat ditinggalkan sehingga putra-putrinya menjadi manusia yang baik atau suputra. Orang tua yang belum melaksanakan upacara potong gigi untuk putra-putrinya menganggap dirinya masih belum selesai (berhutang) terhadap salah satu kewajibannya sebagai orang tua.
- Gigi tajam ataupun taring selalu dihubungkan dengan sifat-sifat Bhuta kala pisaca yang sering dihubungkan dengan sadripu (6 musuh utama dari kebaikan) yaitu : 1. kama (keinginan); 2. kroda (kemarahan); 3. lobha (tamak); 4. moha (kebingungan karena gejolak hawa nafsu); 5 mada (kemabukan); dan 6. matsarya (iri hati).
- Kalau sudah melaksanakan potong gigi (kelak setelah meninggal) agar bisa bertemu dengan orang tuanya, mungkin yang dimaksud dengan orang tuanya disini adalah penciptanya yaitu Ida Sang Hyang Widhi yang memang menjadi “sangkanparan” yaitu asal mula dan tujuan akhir dari manusia yaitu mencari Ida Sang Hyang Widhi.
Cita-cita orang tua yang bertanggung jawab
selalu menginginkan putra-putrinya agar menjadi manusia utama sebab itu
disamping pendidikan lahiriah baik melalui sekolah ataupun tuntunan-tuntunan
berupa nasehat atau petuah-petuah. Mereka meaganggap perlu memohonkan doa
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud Beliau sebagai Sanghyang Semara
Ratih penguasa dari hawa nafsu keinginan. Untuk itulah dibuatkan upacara
(ritual) yang bersifat simbolik dalam bentuk upacara mepandes. Gigi yang
dipakai sebagai obyek simbol rupanya dalam pandangan Adat Agama Hindu mempunyai
kias atau perumpamaan yang cukup masuk akal. Sebagaimana diketahui pada umumnya
binatang yang disebut dan digolongkan binatang buas adalah binatang yang
bergigi tajam seperti halnya anjing, harimau, kucing dan sebagainya yang hampir
semuanya makan daging. Sebaliknya binatang yang tidak bergigi tajam dimasukkan
binatang memamah biak dan tidak makan daging. Dalam katagori ini apakah manusia
masuk binatang buas atau memamah biak? Nyatanya sifat-sifat manusia bisa lebih
buas dari binatang buas tetapi bisa juga lebih lembut dari binatang memamah
biak.
Kita sebagai manusia sepatutnya tidak
sebuas seperti binatang. Lambang kebuasan itu disimbolkan dengan gigi yang
tajam. Sebab itulah maka upacara potong gigi itu berfungsi sebagai simbol bahwa
seseorang haruslah mengendalikan kebuasannya itu. Sebagaimana diketahui pada
upacara potong gigi hanya enam buah gigi di atas saja yang dipotong, yaitu dua
buat taring dan empat buah gigi seri yang bagian rahang atas, sedangkan gigi
yang bagian rahang bawah tidak dipotong. Ini merupakan simbol bahwa dharma atau
ketidakbuasan letaknya di atas dari pada adharma atau kebuasan, kebaikan harus
mengatasi ketidakbaikan.
Jelaslah bahwa nafsu dan
keinginan-keinginan yang bergejolak dari anak muda yang baru naik dewasa harus
dapat diatasi oleh ajaran-ajaran kebenaran yang berwujud ethik sopan santun.
Semuanya ini disimbolkan dengan gigi yang
rata. Mengapa tidak semua gigi itu diratakan? Didalam agama Hindu dikenal
ajaran Rwabhineda, dua hal yang selalu berlawanan. Pertemuan dari kedua hal
yang berbeda itu melahirkan kemajuan dan peningkatan. Kita tidak boleh membunuh
indria-indria atau keinginan-keinginan
atau nafsu-nafsu kita sepenuhnya. Manusia tanpa keinginan sama
dengan batu, sebab nafsu keinginan itu menimbulkan kemajuan. Kalau keinginan
dikendalikan secara benar dan terarah akan mcndorong untuk maju. Tetapi kalau
tidak dikendalikan dia akan merusak, indria itu harus diatasi dengan kebajikan
dan dharma, sebab itu pulalah yang rata letaknya di atas dari pada gigi yang tajam.
Dua sifat yang berbeda dan bertentangan ini memang kita dapati di dalam segala
wujud atau berbagai-bagai wujud di dunia ini : ada siang ada malam, ada laki
ada perempuan, ada baik ada buruk, demikian pula pada segala jenis mesin tentu
ada gerak maju dan mundur lihatlah seker mobil pada suatu mesin dia selalu maju
mundur. Demikian pula listrik geraknya selalu mati, hidup. Gerak mati, hidup,
demikian rupa, karena berlangsung cepat tampaknya seperti hidup terus padahal
sebenamya mengalami proses mati, hidup. Gerak yang berbeda ini atau gerak yang
bertentangan inilah yang menimbulkan kemajuan.
Itulah sebabnya maka tidak semua gigi
yang tajam itu diratakan. Manusia dilahirkan dengan membawa 3 sifat yaitu sifat
satwam, rajas dan tamas, sifat satwam dianggap sifat baik, rajas dianggap
kurang baik dan tamas dianggap tidak baik. Jika sifat satwam bertemu dengan
rajas, maka kebaikan akan didorong maju dengan cepat. Tetapi sebaliknya bila
sifat rajas bersatu dengan tamas maka kejahatan akan dipacu dengan deras. Sifat
rajas sangat berguna untuk mendorong ke arah kebaikan atau kehancuran.
Didalam upacara potong gigi juga diadakan
kesaksian yaitu upacara persaksian kehadapan Ida Sang Hyang widhi dalam
manifestasi beliau sebagai Semara Ratih. Sanghyang Semara Ratih di dalam agama
Hindu adalah penguasa dari hawa nafsu keinginan dan cinta kasih. Kita sebagai manusia pada waktu naik remaja
mengalami gejolak hawa nafsu keinginan. Semua tingkah laku anak-anak yang
sedang puber ingin serba bhairawa, yaitu serba hebat merangsang dan menarik.
Kalau gelora nafsu ini tidak dikendalikan
maka anak-anak muda akan melampiaskan nafsu sexnya sehingga terjadilah free
sex, mereka melampiaskan nafsu kehebatannya dengan membentuk gang, perkumpulan
berkelahi, ngebut-ngebutan dijalan dan sebagainya. Kepada Sanghyang Semara
Ratih kita memohonkan doa dan perlindungan agar Beliau menuntun dan
mengandalikan hawa nafsu keinginan ke arah yang benar.
Saat yang
tepat untuk melaksanakannya adalah pada saat puber, menginjak dewasa, karena
pada saat itu anak-anak sedang goyah pikirannya, emosionil dan ingin mendapat
perhatian.
Upacara Potong Gigi setelah meninggal (mati).
Kalau
upacara mepandes dilakukan setelah usia lanjut tidaklah banyak menjadi
persoalan paling-paling hanya menimbulkan kesan-kesan sudah keliwatan atau
terlambat. Tetapi yang sering menjadi masalah ialah jika upacara potong gigi
dilakukan setelah yang bersangkutan meninggal.
Menanggapi masalah semacam ini di
masyarakat banyak timbul pro dan kontra. Alasan-alasan mereka juga berdasarkan
lontar-lontar dan tradisi yang ada. Untuk itu kiranya baik kalau kami petik
sebagian dari isi lontar Castra Proktah sebagai berikut:
‘Iki linggih Castra proktah ngaran, mwah
yan hana wwang durung apandes, katekan pejah, aywa amandesing wong pejah tan
kawenang, angludi wangke ngaranya, yan amandesing sawa, yang mangkana kramanya,
papa dahat, apan tan kawenang ikang wwung mati wehing sopakaraning wwang
maurip, tunggal alanya sang maweh lawan sang wineh, tinemah de Bhatara Yama
dipati”.
Artinya :
Inilah ucapan Castra Proktah, namanya,
bila ada seseorang yang belum potong gigi lalu meninggal dunia, tidak
dibolehkan, “angludi wangke” namanya Bila demikian halnya amatlah papanya
(sengsaranya), karena tidak patut orang yang telah meninggal diupacarai dengan
upacara orang hidup. Sama dosanya antara yang mengupacarai dan orang yang
diberi upacara, dikutuk oleh Sanghyang Yamadipati.
Jadi menurut lontar ini orang yang sudah
meninggal walaupun belum potong gigi, sangat dilarang mengupacarai potong gigi
disebut ngeludin wangke katanya dan dikutuk kalau melanggarnya. Namun walaupun
ada lontar yang menyebutkan sedemikian, kita menjumpai pula tradisi-tradisi
yang hidup di masyarakat dengan peralatan-peralatan yang dipergunakan untuk
Upacara potong gigi untuk orang yang telah meningal, walaupun tidak dalam
bentuk tertulis namun bisa juga diterima oleh akal, dan sering dilakukan
dahulu.
Dalam tulisan ini perlu kami kemukakan
bukan berarti untuk diteladani, tetapi sebagai bahan penelitian terutama
mengenai peralatan yang digunakan dan orang yang bertindak sebagai sangging
(orang yang bertugas memotong gigi dengan kikir) adalah sebagai berikut:
- Yang bertindak sebagai sangging harus orang tuanya sendiri tidak boleh orang lain.
- Sebagai tumpuan tempat berdirinya sangging waktu menatah gigi itu dipergunakan padi, berdiri sambil menginjak padi.
- Tangan sangging itu digelangi dengan uang kepeng (satakan).
- Sebagai pengganti kikir (alat memotong gigi dipergunakan) anggapan yaitu alat yang biasa untuk memotong padi oleh para petani di Bali. Di beberapa daerah ada juga yang menggunakan bunga tunjung (teratai) sebagai pengganti kikir. Dalam hal ini sudah tentu bunga teratai ini hanya sebagai simbol saja untuk memotong gigi.
- Penggunaan Lesung (alat penumbuk padi), sebagai peralatan upakara.
Ketentuan ini kami petik dari Hasil
Keputusan Seminar V. Kesatuan Tafsir Terhadap aspek-aspek agama Hindu.
Penjelasan :
ad.a. Mengapa
orang tuanya sendiri yang bertindak sebagai Sangging? Hal ini mungkin mengambil
kias dari ceritra Kalatattwa dimana Bhatara Siwa-lah yang memotong taring
Bhatara Kala agar Bhatara Kala bisa mengenal orang tuanya sendiri.
ad.b. Penggunaan
padi dan anggapan mungkin merupakan kias yang didasarkan pada kepercayaan Umat
Hindu di Bali yaitu : dimana kalau ada orang mimpi memotong padi (manyi),
sering diartikan akan ada kematian di lingkungan keluarganya atau yang
bersangutan sendiri akan mati.
Demikian
pula kalau ada orang mimpi giginya lepas (tanggal) atau mimpi potong gigi maka
mimpi yang sedemikian biasa juga diartikan akan ada keluarganya yang meninggal.
Kalau kita perhatikan peralatan upacara potong gigi bagi orang yang sudah
meninggal itu, tampaknya ada hubungan arti antara kematian dengan mimpi
mengetam padi. Hal ini kiranya dapat dihubungkan dengan kepercayaan di Bali
bahwa pada waktu seseorang meninggal, merasakan diriya seperti mimpi.
Sebaliknya suatu mimpi biasanya mempunyai arti tertentu seperti contohnya :
Bila
orang bermimpi giginya lepas (copot) hal itu berarti salah satu keluarganya
akan meninggal.
Bila
bermimpi memotong padi artinya akan ada kematian pada keluarga atau dirinya
sendiri.
Bila
mimpi buang air besar, mempunyai arti akan sakit atau kehilangan barang
miliknya. Hal ini mungkin jadi alasan mengapa peralatan upacara potong gigi bagi
orang yang sudah meninggal itu mempergunakan sarana-sarana seperti padi dan
alat pemotong padi karena ada kaitannya dengan kematian.
ad.c. Pada
tangan Sangging dikalungi benang tetebus dan andel-andel (uang kepeng satakan).
Yang memberikan petunjuk bahwa si Sangging (orang tuanya) ini bermaksud menebus
hutang kewajibannya terhadap anaknya yang meninggal sebelum sempat diupacarai
potong gigi. Uang kepeng sebagai andel yang merupakan sarana kepercayaan untuk
menebus. Sebagaimana diketahui andel-andel artinya kepercayaan atau keyakinan.
ad.d. Mengenai
penggunaan “anggapan” sebagai pengganti kikir, mempunyai arti yang berhubungan
dengan kemuliaan.
ad.e. Penggunaan
lesung (alat penumbuk padi) dalam upacara potong gigi untuk orang yang sudah
meninggal mungkin sekali ada kaitannya dengan penggunaan lesung pada upacara
kematian. Di daerah Badung khususnya di kota Denpasar kalau ada pengabenan atau
pengutangan (mayat ditanam dalam, arti tidak diaben) maka di jalan umum di muka
rumah orang yang kematian ditaruh sebuah lesung alat penumbuk padi dan mayat
itu sebelum diusung ke setra mengitari lesung terlebih dahulu.
Apa hubungannya orang mati dengan lesung
?
Rupa-rupanya lesung itu mempunyai arti
simbolik untuk menunjukkan adanya suatu proses perubahan dari orang hidup
kemudian mati, demikian pula kalau ada gerhana bulan ataupun gempa maka lesung
itu dibunyikan agar katanya gempa dan gerhana itu cepat berlalu. Dalam upacara
“Nyuci” agar pekerjaan di dapur suci cepat bisa selesai maka ada upacara khusus
yaitu “Nguncang” dimana beras yang akan dijadikan tepung kemudian untuk jajan
catur ditumbuk dengan berirama (nguncang).
Menurut
kepercayaan katanya dengan nguncang ini bidadari-bidadari akan turun dari
kahyangan membantu para tukang bekerja agar cepat dan lancar. Suatu hal yang
logis ialah lesung itu adalah alat untuk mengubah status, dari padi menjadi
beras, atau dari beras menjadi tepung. Sebab itu lesung itu mungkin sekali
adalah simbol proses perubahan wujud, dan dalam hubungan kematian digunakan
sebagai simbol perubahan dari manusia jadi mayat dan dari mayat menjadi abu.
Disamping itu penggunaan lesung mungkin ada hubungannya dengan penyupatan
(pengruwatan). Didalam riwayat Sri Krsna ada disebutkan yaitu ketika Sri Krsna
masih anak-anak beliau dihukum oleh ibu angkatnya Yasoda, dimana Sri Krsna
diikat tubuhnya dengan tali dan tali itu diikatkan pada lesung alat penumbuk
padi. Hukuman itu diberikan karena Sri Krsna membagi-bagikan susu ibunya kepada
kawan-kawannya.
Dengan
tidak setahu ibunya Sri Krsna merangkak sambil menyeret lesung yang begitu
berat ke halaman rumah dan kebetulan disana ada dua pohon kayu besar yang
menghalangi lesung yang diseret itu.
Karena
Sri Krsna bukan orang biasa maka kedua batang kayu itu rebah dilanda oleh
lesung yang ditarik itu. Tiba-tiba kedua batang kayu yang rebah itu berubah
menjadi dua orang Gandarwa. Gandarwa itu menjelaskan bahwa dahulu mereka
dikutuk oleh Dewa Siwa hidup sebagai pohon kayu, mereka baru bisa kembali dalam
wujud sebagai Gandarwa kembali bila sudah mendapat pengruwatan (penyucian) dari
Sri Krsna. Jadi arti simbol lesung itu erat artinya dengan proses perubahan
yang cepat, dan juga mempunyai arti penyucian atau pengruwatan.
Kini
kembali kita membicarakan mengenai upacara potong gigi menurut Lontar Proktah
yang melarang dengan keras memotong gigi orang mati. Tetapi sebaliknya tradisi
di beberapa tempat menganjurkan dengan alasan membayar hutang kewajiban
orangtua kepada anaknya meskipun dengan peralatan yang khusus pula. Orang mati
itu diperlakukan seperti orang tidur karena itu alat-alat upacaranya
disesuaikan dengan arti mimpi. Di Pulau Bali memang dikenal ada upacara
menghidupkan secara spiritual dan simbolik orang yang sudah meninggal dengan
membuatkan badan darurat dari banten (puspa úarìra).
Contohnya
banten yang diletakkan disebelah kanan mayat pada waktu masih disimpan di Bale
Gede atau Semanggen.
Demikian
pula waktu Nyekah almarhum disetarakan berbadan kayu cendana dan daun beringin.
Demikianlah secara ringkas telah kami sajikan beberapa pengertian mengenai
upacara potong gigi dan beberapa arti simbol yang dapat kami perkirakan.
Ahkhirnya
kami dapat simpulkan tujuan dari upacara potong gigi itu sebagai berikut:
- Upacara potong gigi adalah upacara penyucian secara ritual, agar menjadi manusia yang baik dapat mengendalikan hawa nafsu dibawah tuntunan Sanghyang Semara Ratih, serta pada akhir hayatnya bisa bertemu dan menghadap kepada penciptanya.
- Upacara potong gigi juga bertujuan memenuhi hutang kewajiban orang tua membimbing putra-putrinya lahir bathin. Sebelum putra-putrinya diupacarai potong gigi, orang tua masih merasa berhutang kewajiban. Sebab itu diusahakan terlaksana pada waktu masih jejaka. Adalah merupakan aib bagi keluarga kalau anak perempuan mereka baru melakukan potong gigi setelah punya anak. Bagi yang demikian harus menempuh tata cara khusus yaitu, waktu upacara dilakukan dia harus memakai bantal sapu lidi (magaleng sampat). Demikian pula kalau sampai terjadi upacara potong gigi setelah meninggal harus menempuh upacara yang tidak lazim.
- Mengenai upacara, potong gigi setelah meninggal kami tidak berani memberikan anjuran atau larangan. Mudah-mudahan Parisadha Hindu Dharma akan bisa memberikan ketetapan untuk dapat diikuti oleh umatnya. Kami hanya sekedar menyampaikan bahan-bahan pemikiran.
- Untuk melengkapi naskah ini, bersama ini kami petik pelaksanaan upacara dan upakara potong gigi dari buku Catur Yadnya, tulisan Nyonya Putra.
UPACARA POTONG GIGI (MAPANDES).
1.
URAIAN UPACARA :
Upacara ini dapat dijadikan satu dengan
Upacara meningkat dewasa dan mapetik dan penambahan Upakaranya tidak begitu
banyak.
Upacara ini bertujuan untuk mengurangi
Sad Ripu dari seseorang, dan sebagai simbulnya akan dipotong 6 buah gigi atas
(4 buah gigi dan 2 buah taring).
Yang dimaksud dengan sad Ripu adalah 6
sifat manusia yang dianggap kurang baik, bahkan sering dianggap sebagai musuh
dalam diri sendiri. Keenam sifat tersebut, ditimbulkan oleh Budi rajas dan Budi
Tamas.
Sebenarnya kita sebagai manusia memiliki
3 budhi yaitu: Budhi Rajas, Budhi Tamas dan Budhi Satwan. Sedangkan pada
binatang hanya memiliki 2 budhi yaitu : Budhi Rajas dan Budhi Tamas. Oleh
karena itu segala pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh Budhi Rajas dan Budhi
Tamas, kiranya dianggap sebagai sifat-sifat kebinatangannya, yang tidak
selayaknya menguasai kita sebagai manusia. Ini bukannya berarti bahwa Budhi
Rajas dan Budhi Tamas beserta pengaruh-pengaruhnya itu tidak perlu, tetapi
hendaknya ada keseimbangan antara Budhi rajas, Budhi Tamas dan Budhi Satwam
sebagai penuntunnya. Adapun yang dimaksud dengan Sad Ripu adalah :
1. Tamak/loba.
2. Suka
menipu.
3.
Suka dipuji (moha).
4.
Murka/Keroda (suka marah).
5. Suka
menyakiti sesama mahluk.
6. Suka
memfitnah.
Demikianlah
Upacara Potong Gigi itu bukanlah semata-mata mencari keindahan/kecantikan
belaka, melainkan mempunyai tujuan yang mulia.
2.
SUSUNAN UPAKARA.
A. Upakara yang paling kecil.
Banten Pabiakalaan, prayascita,
panglukatan dan tataban seadanya.
B. Upakara yang lebih besar.
Seperti di atas, tetapi tatabannya memakai
Pulugembal.
CATATAN.
Disamping Upakara-upakara tersebut,
terdapat pula Upakara/perlengkapan lainnya, yaitu :
- Membuat/menyediakan sebuah balai-balai (dipan) untuk tempat Upacara potong gigi. Pada tempat tersebut diisi perlengkapan seperti bantal, kasur, seperai (permadani) dan tikar yang berisi gambaran semara ratih.
- Bale Gading : Bale Gading ini dibuat dari bambu gading (yang lain) dihiasi dengan bunga-bunga yang berwarna putih dan kuning serta didalamnya diisi beras, ajuman daksina kadang-kadang dapat dilengkapi dengan suci, canang buratwangi, canang sari dan raka-raka; kekiping, pisang mas, nyahnyah gula kelapa. Bale gading ini adalah sebagai tempat (palinggih) dari Sanghyang Semara Ratih.
- Tegteg : Yang dimaksud dengan tegteg, adalah sejenis jejahitan yang berisi jajan dan sampian tegteg. Biasanya dipakai daun rontal.
- Kelapa gading yang dikasturi, airnya dibuang dan ditulisi “Ardhanareswari” (gambar Semara Ratih). Kelapa Gading itu akan dipakai tempat ludah, dan singgang gigi yang sudah dipakai. Setelah upacara, kelapa gading itu dipendam dibelakang Sanggah Kemulan.
- Untuk singgang gigi (pedangal), adalah tiga potong dapdap dan tiga potong tebu malem/tebu ratu. Panjang pedangal ini kira-kira 1 Cm atau 1½ Cm.
- “Pengilap” yaitu sebuah cincin bermata merah.
- Untuk pengurip-urip adalah empu kunir (inan kunyit) yang dikupas sampai bersih dan kapur.
- Sebuah bokor yang berisi kikir, cermin dan pahat, biasanya “pengilap” yang disebut di atas ditaruh pada bokor ini, demikian pula “pangurip-uripnya”.
- Sebuah tempat sirih, lengkap dengan sirih lekesan, tembakau, pinang dan gambir (di dalam lekesan itu sudah berisi kapur).
- Beberapa potong kain (yang agak baik) dipakai untuk menutupi badan pada waktu Upacara dan disebut “Rurub”.
- Banten “tatingkeb” yang akan diinjak waktu turun nanti (dapat diganti dengan segehan agung).
3. TATA UPACARA.
Seperti biasa dilakukan Upacara
mabiyakala dan maprayascita lalu bersembahyang kehadapan Bhatara Surya dan Sanghyang
Semara ratih, kemudian naik ke tempat Upacara potong gigi (ke balai yang
disebut di depan) serta duduk menghadap ke hulu, (keluanan) pimpinan Upacara
mengambil cincin yang akan dipakai untuk Ngerajah pada beberapa tempat yaitu :
Pada dahi
(antara kedua kening) dengan huruf ( ehÙíº ) hweam
Pada
taring sebelah kanan dengan huruf ( Á¸
) am
Pada
taring sebelah kiri dengan huruf ( Á; ) ah
Pada gigi
atas dengan huruf (
ÿºý ) om/om
Pada
lidah bawah dengan huruf ( ü
) ai
Pada dada
dengan huruf ( eGº
) gona
Pada nabi
puser dengan huruf ( er¸
) rem
Pada paha
kanan dan kiri dengan huruf ( evÜ
) bhyo
Setelah itu barulah diperciki “Tirta
Pesangihan” selanjutnya Upacara dipimpin oleh “Sangging” yaitu pelaksanaan
memotong gigi itu (nyangihin). Setelah orang bersangkutan tidur serta memakai
rurub, maka Sangging mengambil kikir lalu dipujai. Orang yang akan diupacarai
diberi pedangal tebu, di sebelah kanan (kalau orang laki-laki, sedang kalau
perempuan dipasang sebelah kiri, terlebih dahulu). Setelah kikir dipuja, lalu
dimulailah pelaksanaan potong gigi dengan disertai puja, kemudian pedangal
diganti, orang yang bersangkutan disuruh meludah, pedangal diganti dan demikian
seterusnya sampai dianggap cukup (ludah dan pedangal dibuang ke dalam kelapa gading).
Bila dianggap sudah cukup rata, lalu
diberi pengurip-urip (kunir) kemudian berkumur dengan air cendana, selanjutnya
makan sirih (ludahnya ditelan tiga kali) dan sisanya dibuang ke dalam kelapa
gading. Selanjutnya natab banten peras, dan waktu turun menginjakkan kakinya
pada tetingkeb (segehan agung) tiga kali. Sore harinya, setelah pemujaan sajen,
dilakukan muspa kehadapan Surya Candra, kemudian dilanjutkan dengan mejayajaya
dan natab.
BEBERAPA MANTERA YANG DIPAKAI.
Sumber: Buku Arti Simbol Dalam Upacara Potong Gigi
Oleh: Cudamani
---------------------------------------------
Potong gigi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Potong gigi (bahasa Bali: mepandes, mesangih atau metatah) adalah upacara keagamaan Hindu-Bali. Upacara ini termasuk apa yang disebut dengan istilah upacara manusa yadnya.
Yang dilakukan pada saat potong gigi adalah mengikis 6 gigi bagian atas
yang berbentuk taring. Tujuan dari upacara ini ialah untuk mengurangi
sifat buruk (sad ripu) pada yang bersangkutan
Upacara potong gigi (mepandes / metatah)
Sumber: http://www.babadbali.com/canangsari/banten/mepandes.htmlArti | Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada pada diri si anak. | ||||||||||||
Sarana |
|
||||||||||||
Waktu | Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula dilaksanakan setelah berumah tangga. | ||||||||||||
Tempat | Seluruh rangkaian upacara potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan. | ||||||||||||
Pelaksana | Upacara potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu oleh seorang sangging (sebagai pelaksana langsung). | ||||||||||||
Tata cara |
|
||||||||||||
Mantram-mantramnya |
|
||||||||||||
|
|||||||||||||
|
|||||||||||||
|
|||||||||||||
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar