sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Bali
Sejarah
Bali meliputi
rentang waktu perkembangan kebudayaan masyarakat Bali. Sejarah Bali juga
terkait dengan beberapa mitologi dancerita rakyat, yang ada kaitannya dengan
sejarah sebuah tempat atau peristiwa yang pernah ada di Bali.
Daftar isi
[sembunyikan]
·
1 Masa Prasejarah
o 1.1 Masa berburu
dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
o 1.2 Masa berburu
dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
o 1.3 Masa bercocok
tanam
o 1.4 Masa
perundagian
·
2 Masuknya Agama Hindu
·
3 Masa 1343-1846
o 3.1 Kedatangan
Ekspedisi Gajah Mada
o 3.2 Periode
Gelgel
o 3.3 Zaman
Kerajaan Klungkung
o 3.4 Kerajaan-kerajaan
pecahan Klungkung
·
4 Masa 1846-1949
o 4.1 Perlawanan
Terhadap Orang-Orang Belanda
o 4.2 Zaman
Penjajahan Belanda
o 4.3 Lahirnya
Organisasi Pergerakan
o 4.4 Zaman
Pendudukan Jepang
o 4.5 Zaman
Kemerdekaan
o 4.6 Puputan
Margarana
o 4.7 Konferensi
Denpasar
o 4.8 Penyerahan
Kedaulatan
·
5 Masa 1949-2007
·
6 Lihat pula
·
Masa Prasejarah
Zaman prasejarah Bali
merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang ditandai oleh kehidupan
masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan. Walaupun pada zaman
prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan riwayat kehidupannya,
tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat pada masa itu dapat
pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah berlangsung dalam kurun
waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang
sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan kita.
Berkat penelitian yang
tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya bangsa Belanda dan
putra-putra Indonesia maka
perkembangan masa prasejarah di Bali semakin terang. Perhatian terhadap
kekunaan di Bali pertama-tama diberikan oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang dimuat dalam bukunya Amboinsche
Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian kepurbakalaan di Bali
adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan
perjalanan menjelajahi Bali. Dan memberikan beberapa catatan antara lain
tentang nekara Pejeng, Trunyan, dan Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh K.C Crucq
tahun 1932 yang berhasil menemukan
tiga bagian cetakan nekara Pejeng di Pura Desa Manuaba,Tegallalang.
Penelitian prasejarah di
Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus
on Bali tahun 1954. Pada tahun 1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P.
Soejono melakukan penggalian ini dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun1973, 1974, 1984, 1985. Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan terhadap benda-benda temuan yang berasal dari tepi pantaiTeluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan
dari zaman perundagian di Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.
Berdasarkan bukti-bukti
yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali, kehidupan masyarakat ataupun
penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat dibagi menjadi :
1.
Masa berburu dan
mengumpulkan makanan tingkat sederhana
2.
Masa berburu dan
mengumpulkan makanan tingkat lanjut
3.
Masa bercocok tanam
4.
Masa perundagian [sunting]
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
Sisa-sisa dari
kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-penelitian yang dilakukan
sejak tahun 1960 dengan ditemukan di Sambiran (Buleleng bagian timur), serta di
tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani)
alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam,kapak berimbas, serut dan sebagainya. Alat-alat batu yang
dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar.
Kehidupan penduduk pada
masa ini adalah sederhana sekali, sepenuhnya tergantung pada alam
lingkungannya. Mereka hidup mengembara dari satu tempat ketempat lainnya
(nomaden). Daerah-daerah yang dipilihnya ialah daerah yang mengandung
persediaan makanan dan air yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidupnya.
Hidup berburu dilakukan oleh kelompok kecil dan hasilnya dibagi bersama. Tugas
berburu dilakukan oleh kaum laki-laki, karena pekerjaan ini memerlukan tenaga
yang cukup besar untuk menghadapi segala bahaya yang mungkin terjadi. Perempuan
hanya bertugas untuk menyelesaikan pekerjaan yang ringan misalnya mengumpulkan
makanan dari alam sekitarnya. Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti
apakah manusia pada masa itu telah mengenal bahasa sebagai alat bertutur satu
sama lainnya.
Walaupun bukti-bukti
yang terdapat di Bali kurang lengkap, tetapi bukti-bukti yang ditemukan
di Pacitan (Jawa Timur) dapatlah kiranya dijadikan pedoman. Para ahli
memperkirakan bahwa alat-alat batu dari Pacitan yang sezaman dan mempunyai
banyak persamaan dengan alat-alat batu dari Sembiran, dihasilkan oleh jenis
manusia. Pithecanthropus erectus atau keturunannya. Kalau demikian mungkin juga alat-alat
baru dari Sambiran dihasilkan oleh manusia jenis Pithecanthropus atau
keturunannya. [sunting]
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat
lanjut
Pada masa ini corak
hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih berpengaruh. Hidup berburu dan
mengumpulkan makanan yang terdapat dialam sekitar dilanjutkan terbukti dari
bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan kulit kerang. Bukti-bukti
mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik berhasil ditemukan pada tahun
1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Gua ini terletak di pegunungan gamping di Semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat goa yang lebih besar
ialah Gua Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan suatu bukti tentang
kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian Gua Selonding
ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan sejumlah
alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat
tulang terdapat beberapa lencipan muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang
kedua ujungnya diruncingkan.
Alat-alat semacam ini
ditemukan pula di sejumlah gua Sulawesi Selatan pada tingkat perkembangan kebudayaan Toala
dan terkenal pula diAustralia Timur. Di luar Bali ditemukan lukisan dinding-dinding gua, yang
menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada waktu
itu. Lukisan-lukisan di dinding goa atau di dinding-dinding karang itu antara
lain yang berupa cap-cap tangan, babi rusa, burung, manusia, perahu, lambang matahari, lukisan mata dan sebagainya.
Beberapa lukisan lainnya ternyata lebih berkembang pada tradisi yang lebih
kemudian dan artinya menjadi lebih terang juga di antaranya adalah lukisan kadal seperti yang terdapat di Pulau Seram dan Papua, mungkin mengandung arti kekuatan magis yang dianggap sebagai
penjelmaan roh nenek moyang atau kepala suku. [sunting]
Masa bercocok tanam
Masa bercocok tanam
lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin dipisahkan dari usaha manusia
prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa
neolithik amat penting dalam sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban,
karena pada masa ini beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber
alam bertambah cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering)
berubah menjadi menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini
sesungguhnya sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam
serta meluas kedalam perekonomian dan kebudayaan.
Sisa-sisa kehidupan dari
masa bercocok tanam di Bali antara lain berupa kapak batu persegi dalam berbagai ukuran, belincung dan
panarah batang pohon. Dari teori Kern dan teori Von Heine-Geldern diketahui
bahwa nenek moyang bangsa Austronesia, yang mulai datang di kepulauan kita kira-kira 2000 tahun S.M
ialah pada zaman neolithik. Kebudayaan ini mempunyai dua cabang ialah cabang kapak persegi
yang penyebarannya dari dataran Asia melalui jalan barat dan peninggalannya
terutama terdapat di bagian barat Indonesia dan kapak lonjong yang penyebarannya melalui jalan timur dan
peninggalan-peninggalannya merata dibagian timur negara kita. Pendukung
kebudayaan neolithik (kapak persegi) adalah bangsa Austronesia dan gelombang
perpindahan pertama tadi disusul dengan perpindahan pada gelombang kedua yang
terjadi pada masa perunggu kira-kira 500 S.M. Perpindahan bangsa Austronesia
ke Asia Tenggara khususnya dengan memakai jenis perahu cadik yang terkenal
pada masa ini. Pada masa ini diduga telah tumbuh perdagangan dengan jalan tukar
menukar barang (barter) yang diperlukan. Dalam
hal ini sebagai alat berhubungan diperlukan adanya bahasa. Para ahli
berpendapat bahwa bahasa Indonesia pada masa ini adalah Melayu Polinesia atau
dikenal dengan sebagai bahasa Austronesia. [sunting]
Masa perundagian
Dalam masa neolithik
manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-kelompok serta mengatur
kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan kepada menghasilkan bahan
makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam masa bertempat tinggal tetap
ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-kegiatannya guna mencapai
hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Gong, yang ditemukan pula di berbagai tempat di Nusantara, merupakan alat musik yang diperkirakan berakar dari masa perundagian |
.
Pada zaman ini jenis
manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui dari berbagai penemuan
sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting di antaranya adalah
temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur), Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak jumlahnya menunjukkan
ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk dengan jumlah kerangka yang
ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongoloid yang kuat seperti terlihat pada
gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk terlihat penyakit gigi dan encok
yang banyak menyerang manusia ketika itu.
Berdasarkan bukti-bukti
yang telah ditemukan dapat diketahui bahwa dalam masyarakat Bali pada masa perundagian
telah berkembang tradisi penguburan dengan cara-cara tertentu. Adapun cara
penguburan yang pertama ialah dengan mempergunakan peti mayat atau sarkofagus
yang dibuat dari batu padas yang lunak atau yang keras. Cara penguburannya
ialah dengan mempergunakan tempayan yang dibuat dari tanah liat seperti
ditemukan di tepi pantai Gilimanuk (Jembrana). Benda-benda temuan ditempat ini ternyata cukup menarik
perhatian di antaranya terdapat hampir 100 buah kerangka manusia dewasa dan
anak-anak, dalam keadaan lengkap dan tidak lengkap. Tradisi penguburan dengan
tempayan ditemukan juga di Anyar (Banten), Sabbang (Sulawesi Selatan), Selayar, Rote dan Melolo (Sumba). Di luar Indonesia tradisi ini berkembang
di Filipina, Thailand, Jepang dan Korea.
Kebudayaan megalithik
ialah kebudayaan yang terutama menghasilkan bangunan-bangunan dari batu-batu
besar. Batu-batu ini mempunyai biasanya tidak dikerjakan secara halus, hanya
diratakan secara kasar saja untuk mendapat bentuk yang diperlukan. di daerah
Bali tradisi megalithik masih tampak hidup dan berfungsi di dalam kehidupan
masyarakat dewasa ini. Adapun temuan yang penting ialah berupa batu berdiri (menhir) yang terdapat di Pura Ratu Gede Pancering
Jagat di Trunyan. Di pura in terdapat sebuah arca yang disebut arca Da Tonta
yang memiliki ciri-ciri yang berasal dari masa tradisi megalithik. Arca ini
tingginya hampir 4 meter. Temuan lainnya ialah di Sembiran (Buleleng), yang terkenal sebagai desa Bali kuna,
disamping desa-desa Trunyan dan Tenganan. Tradisi megalithik di desa Sembiran
dapat dilihat pada pura-pura yang dipuja penduduk setempat hingga dewasa ini.
dari 20 buah pura ternyata 17 buah pura menunjukkan bentuk-bentuk megalithik
dan pada umumnya dibuat sederhana sekali. Di antaranya ada berbentuk teras
berundak, batu berdiri dalam palinggih dan ada pula yang hanya merupakan
susunan batu kali.
Temuan lainnya yang
penting juga ialah berupa bangunan-bangunan megalithik yang terdapat di Gelgel (Klungkung).Temuan yang penting di desa Gelgel ialah sebuah arca menhir
yaitu terdapat di Pura Panataran Jro Agung. Arca menhir ini dibuat dari batu
dengan penonjolan kelamin wanita yang mengandung nilai-nilai keagamaan yang
penting yaitu sebagai lambang kesuburan yang dapat memberi kehidupan kepada
masyarakat.[sunting]
Masuknya Agama Hindu
Berakhirnya zaman
prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan
lebih kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-masa pengaruh Hindu. Dengan
adanya pengaruh-pengaruh dari India itu berakhirlah zaman prasejarah Indonesia
karena didapatkannya keterangan tertulis yang memasukkan bangsa Indonesia ke
dalam zaman sejarah. Berdasarkan keterangan-keterangan yang ditemukan pada
prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno
meliputi kurun waktu antara abad ke-8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi
dengan datangnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama Balidwipa
tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini dapat
diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari Prasasti Blanjong yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang menyebutkan kata
"Walidwipa". Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka
tahun 1181 Masehi.
Gua Gajah (sekitar abad XI), salah satu peninggalan masa awal periode Hindu di Bali. |
Di antara raja-raja
Bali, yang banyak meninggalkan keterangan tertulis yang juga menyinggung
gambaran tentang susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja dibantu oleh suatu Badan
Penasihat Pusat. Dalam prasasti tertua 882-914, badan ini
disebut dengan istilah "panglapuan". Sejak zaman Udayana, Badan
Penasihat Pusat disebut dengan istilah "pakiran-kiran i jro
makabaihan". Badan ini beranggotakan beberapa orang senapati dan pendeta
Siwa dan Budha.
Di dalam
prasasti-prasasti sebelum Raja Anak Wungsu disebut-sebut beberapa jenis seni
yang ada pada waktu itu. Akan tetapi, baru pada zaman Raja Anak Wungsu, kita
dapat membedakan jenis seni menjadi dua kelompok yang besar, yaitu seni keraton
dan seni rakyat. Tentu saja istilah seni keraton ini tidak berarti bahwa seni
itu tertutup sama sekali bagi rakyat. Kadang-kadang seni ini dipertunjukkan
kepada masyarakat di desa-desa atau dengan kata lain seni keraton ini bukanlah
monopoli raja-raja.
Dalam bidang agama,
pengaruh zaman prasejarah, terutama dari zaman megalitikum masih terasa kuat.
Kepercayaan pada zaman itu dititikberatkan kepada pemujaan roh nenek moyang
yang disimboliskan dalam wujud bangunan pemujaan yang disebut teras piramid
atau bangunan berundak-undak. Kadang-kadang di atas bangunan ditempatkan
menhir, yaitu tiang batu monolit sebagai simbol roh nenek moyang mereka. Pada
zaman Hindu hal ini terlihat pada bangunan pura yang mirip dengan pundan
berundak-undak. Kepercayaan pada dewa-dewa gunung, laut, dan lainnya yang
berasal dari zaman sebelum masuknya Hindu tetap tercermin dalam kehidupan
masyarakat pada zaman setelah masuknya agama Hindu. Pada masa permulaan hingga masa pemerintahan Raja Sri Wijaya Mahadewi tidak diketahui dengan pasti agama yang
dianut pada masa itu. Hanya dapat diketahui dari nama-nama biksu yang memakai unsur nama Siwa, sebagai
contoh biksu Piwakangsita Siwa, biksu Siwanirmala, dan biksu Siwaprajna. Berdasarkan hal ini, kemungkinan agama yang
berkembang pada saat itu adalah agama Siwa. Baru pada masa pemerintahan Raja
Udayana dan permaisurinya, ada dua aliran agama besar yang dipeluk oleh
penduduk, yaitu agama Siwa dan agama Budha. Keterangan ini diperoleh dari
prasasti-prasastinya yang menyebutkan adanyampungku Sewasogata (Siwa-Buddha)
sebagai pembantu raja. [sunting]
Masa 1343-1846
Masa ini dimulai dengan
kedatangan ekspedisi Gajah Mada pada
tahun 1343.[sunting]
Kedatangan Ekspedisi Gajah Mada
Ekspedisi Gajah Mada ke
Bali dilakukan pada saat Bali diperintah oleh Kerajaan Bedahulu dengan Raja Astasura Ratna
Bumi Banten dan Patih Kebo Iwa. Dengan terlebih dahulu membunuh Kebo Iwa,
Gajah Mada memimpin ekspedisi bersama Panglima Arya Damar dengan dibantu oleh beberapa orang arya. Penyerangan ini mengakibatkan terjadinya
pertempuran antara pasukan Gajah Mada dengan Kerajaan Bedahulu. Pertempuran ini
mengakibatkan raja Bedahulu dan putranya wafat. Setelah Pasung Grigis menyerah, terjadi kekosongan pemerintahan
di Bali. Untuk itu, Majapahit menunjuk Sri Kresna Kepakisan untuk memimpin pemerintahan di Bali dengan
pertimbangan bahwa Sri Kresna Kepakisan memiliki hubungan darah dengan penduduk
Bali Aga. Dari sinilah berawal wangsa Kepakisan.[sunting]
Periode Gelgel
Karena ketidakcakapan
Raden Agra Samprangan menjadi raja, Raden Samprangan digantikan oleh Dalem Ketut Ngulesir. Oleh Dalem Ketut Ngulesir, pusat pemerintahan
dipindahkan ke Gelgel (dibaca /gɛl'gɛl/). Pada saat inilah dimulai Periode Gelgel dan
Raja Dalem Ketut Ngulesir merupakan raja pertama. Raja yang kedua adalah Dalem Watu Renggong (1460—1550). Dalem Watu Renggong menaiki
singgasana dengan warisan kerajaan yang stabil sehingga ia dapat mengembangkan
kecakapan dan kewibawaannya untuk memakmurkan Kerajaan Gelgel. Di bawah
pemerintahan Watu Renggong, Bali (Gelgel) mencapai puncak kejayaannya. Setelah
Dalem Watu Renggong wafat ia digantikan oleh Dalem Bekung (1550—1580), sedangkan raja terakhir dari
zaman Gelgel adalah Dalem Di Made (1605—1686). [sunting]
Zaman Kerajaan Klungkung
Kerajaan Klungkung sebenarnya merupakan kelanjutan dari Dinasti Gelgel. Pemberontakan I Gusti Agung Maruti ternyata telah mengakhiri Periode Gelgel.
Hal itu terjadi karena setelah putra Dalem Di Made dewasa dan dapat mengalahkan
I Gusti Agung Maruti, istana Gelgel tidak dipulihkan kembali. Gusti Agung Jambe
sebagai putra yang berhak atas takhta kerajaan, ternyata tidak mau bertakhta di
Gelgel, tetapi memilih tempat baru sebagai pusat pemerintahan, yaitu bekas
tempat persembunyiannya di Semarapura.
Dengan demikian, Dewa Agung Jambe (1710-1775) merupakan raja
pertama zaman Klungkung. Raja kedua adalah Dewa Agung Di Made I, sedangkan raja Klungkung yang terakhir
adalah Dewa Agung Di Made II. Pada zaman Klungkung ini wilayah kerajaan terbelah menjadi
kerajaan-kerajaan kecil. Kerajaan-kerajaan kecil ini selanjutnya menjadi swapraja (berjumlah delapan buah) yang pada zaman
kemerdekaan dikenal sebagai kabupaten. [sunting]
Kerajaan-kerajaan pecahan Klungkung
1.
Kerajaan Badung, yang kemudian menjadi Kabupaten Badung.
2.
Kerajaan Mengwi, yang kemudian menjadi Kecamatan Mengwi.
3.
Kerajaan Bangli, yang kemudian menjadi Kabupaten Bangli.
4.
Kerajaan Buleleng, yang kemudian menjadi Kabupaten Buleleng.
5.
Kerajaan Gianyar, yang kemudian menjadi Kabupaten Gianyar.
6.
Kerajaan Karangasem, yang kemudian menjadi Kabupaten Karangasem.
7.
Kerajaan Klungkung, yang kemudian menjadi Kabupaten Klungkung.
8.
Kerajaan Tabanan, yang kemudian menjadi Kabupaten Tabanan.
9.
Kerajaan Denpasar,yang kemudian menjadi Kota Madya Denpasar [sunting]
Masa 1846-1949
Pada periode ini mulai
masuk intervensi Belanda ke Bali dalam rangka "pasifikasi" terhadap
seluruh wilayah Kepulauan Nusantara. Dalam proses yang secara tidak disengaja membangkitkan
sentimen nasionalisme Indonesia ini, wilayah-wilayah yang belum ditangani oleh administrasi
Batavia dicoba untuk dikuasai dan disatukan di bawah administrasi. Belanda
masuk ke Bali disebabkan beberapa hal: beberapa aturan kerajaan di Bali yang
dianggap mengganggu kepentingan dagang Belanda, penolakan Bali untuk menerima
monopoli yang ditawarkan Batavia, dan permintaan bantuan dari warga Pulau Lombok yang merasa diperlakukan tidak adil oleh
penguasanya (dari Bali). [sunting]
Perlawanan Terhadap Orang-Orang Belanda
Masa ini merupakan masa
perlawanan terhadap kedatangan bangsa Belanda di Bali. Perlawanan-perlawanan
ini ditandai dengan meletusnya berbagai perang di wilayah Bali.
Perlawanan-perlawanan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Perang Buleleng (1846)
2.
Perang Jagaraga
(1848--1849)
3.
Perang Kusamba (1849)
4.
Perang Banjar (1868)
5.
Puputan Badung (1906)
6.
Puputan Klungkung (1908)
Dengan kemenangan
Belanda dalam seluruh perang dan jatuhnya kerajaan Klungkung ke tangan Belanda,
berarti secara keseluruhan Bali telah jatuh ke tangan Belanda.[sunting]
Zaman Penjajahan Belanda
Sejak kerajaan Buleleng
jatuh ke tangan Belanda mulailah pemerintah Belanda ikut campur mengurus soal
pemerintahan di Bali. Hal ini dilaksanakan dengan mengubah nama raja sebagai
penguasa daerah dengan nama regent untuk daerah Buleleng dan Jembrana serta
menempatkan P.L. Van Bloemen Waanders sebagai controleur yang pertama di Bali.
Struktur pemerintahan di
Bali masih berakar pada struktur pemerintahan tradisional, yaitu tetap
mengaktifkan kepemimpinan tradisional dalam melaksanakan pemerintahan di
daerah-daerah. Untuk di daerah Bali, kedudukan raja merupakan pemegang
kekuasaan tertinggi, yang pada waktu pemerintahan kolonial didampingi oleh
seorang controleur. Di dalam bidang pertanggungjawaban, raja langsung
bertanggung jawab kepada Residen Bali dan Lombok yang berkedudukan di
Singaraja, sedangkan untuk Bali Selatan, raja-rajanya betanggung jawab kepada
Asisten Residen yang berkedudukan di Denpasar.
Untuk memenuhi kebutuhan
tenaga administrasi, pemerintah Belanda telah membuka sebuah sekolah rendah
yang pertama di Bali, yakni di Singaraja (1875) yang dikenal dengan nama Tweede Klasse School. Pada
tahun 1913 dibuka sebuah sekolah dengan nama Erste Inlandsche School dan
kemudian disusul dengan sebuah sekolah Belanda dengan nama Hollands Inlandshe
School (HIS) yang muridnya kebanyakan berasal dari anak-anak bangsawan dan
golongan kaya.[sunting]
Lahirnya Organisasi Pergerakan
Akibat pengaruh
pendidikan yang didapat, para pemuda pelajar dan beberapa orang yang telah
mendapatkan pekerjaan di kota Singaraja berinisiatif untuk mendirikan sebuah
perkumpulan dengan nama "Suita Gama Tirta" yang bertujuan untuk
memajukan masyarakat Bali dalam dunia ilmu pengetahuan melalui ajaran agama.
Sayang perkumpulan ini tidak burumur panjang. Kemudian beberapa guru yang masih
haus dengan pendidikan agama mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama
"Shanti" pada tahun 1923. Perkumpulan ini memiliki sebuah majalah
yang bernama "Shanti Adnyana" yang kemudian berubah menjadi
"Bali Adnyana".
Pada tahun 1925 di Singaraja juga didirikan sebuah
perkumpulan yang diberi nama "Suryakanta" dan memiliki sebuah majalah
yang diberi nama "Suryakanta". Seperti perkumpulan Shanti, Suryakanta
menginginkan agar masyarakat Bali mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan
dan menghapuskan adat istiadat yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
zaman. Sementara itu, di Karangasem lahir suatu perhimpunan yang bernama
"Satya Samudaya Baudanda Bali Lombok" yang anggotanya terdiri atas
pegawai negeri dan masyarakat umum dengan tujuan menyimpan dan mengumpulkan
uang untuk kepentingan studiefonds.[sunting]
Zaman Pendudukan Jepang
Setelah melalui beberapa
pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai
Sanur pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942.
Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa.
Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Mula-mula yang
meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang
(Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan
diserahkan kepada pemerintahan sipil.
Karena selama pendudukan
Jepang suasana berada dalam keadaan perang, seluruh kegiatan diarahkan pada
kebutuhan perang. Para pemuda dididik untuk menjadi tentara Pembela Tanah Air (PETA). Untuk daerah Bali, PETA dibentuk
pada bulan Januari tahun 1944 yang program dan syarat-syarat pendidikannya
disesuaikan dengan PETA di Jawa.[sunting]
Zaman Kemerdekaan
Menyusul Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, pada tanggal 23 Agustus 1945,
Mr. I Gusti Ketut Puja tiba di Bali dengan membawa mandat pengangkatannya sebagai
Gubernur Sunda Kecil. Sejak kedatangan beliau inilah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia di Bali mulai disebarluaskan sampai ke desa-desa. Pada saat itulah
mulai diadakan persiapan-persiapan untuk mewujudkan susunan pemerintahan di
Bali sebagai daerah Sunda Kecil dengan
ibu kotanya Singaraja.
Sejak pendaratan NICA di Bali, Bali selalu menjadi arena
pertempuran. Dalam pertempuran itu pasukan RI menggunakan sistem gerilya. Oleh karena itu, MBO sebagai induk pasukan selalu
berpindah-pindah. Untuk memperkuat pertahanan di Bali, didatangkan bantuan ALRI
dari Jawa yang kemudian menggabungkan diri ke dalam pasukan yang ada di Bali.
Karena seringnya terjadi pertempuran, pihak Belanda pernah mengirim surat
kepada Rai untuk mengadakan perundingan. Akan tetapi, pihak pejuang Bali tidak
bersedia, bahkan terus memperkuat pertahanan dengan mengikutsertakan seluruh
rakyat.
Untuk memudahkan kontak
dengan Jawa, Rai pernah mengambil
siasat untuk memindahkan perhatian Belanda ke bagian timur Pulau Bali. Pada 28
Mei 1946 Rai mengerahkan pasukannya menuju ke timur dan ini terkenal dengan
sebutan "Long March". Selama diadakan "Long March" itu
pasukan gerilya sering dihadang oleh tentara Belanda sehingga sering terjadi
pertempuran. Pertempuran yang membawa kemenangan di pihak pejuang ialah
pertempuran Tanah Arun, yaitu pertempuran yang terjadi di sebuah desa kecil di
lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem. Dalam pertempuran Tanah Arun yang
terjadi 9 Juli 1946 itu pihak Belanda banyak menjadi korban. Setelah
pertempuran itu pasukan Ngurah Rai kembali menuju arah barat yang kemudian
sampai di Desa Marga (Tabanan). Untuk
lebih menghemat tenaga karena terbatasnya persenjataan, ada beberapa anggota
pasukan terpaksa disuruh berjuang bersama-sama dengan masyarakat. [sunting]
Puputan Margarana
Pada waktu staf MBO
berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18 November 1946 (malam
hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut
dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah
Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946
sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa
Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara
pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan
bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda
segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah
pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan
Ngurah Rai bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di
sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan "Puputan" atau perang
habis-habisan di desa margarana sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu
semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang yang tewas.
Untuk mengenang peristiwa tersebut pada tanggal 20 november 1946 di kenal
dengan perang puputan margarana, dan kini pada bekas arena pertempuran itu
didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.[sunting]
Konferensi Denpasar
Pada tanggal 7 sampai 24 Desember 1946, Konferensi
Denpasar berlangsung di pendopo Bali Hotel. Konferensi itu
dibuka oleh Hubertus Johannes van Mook yang bertujuan untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT) dengan ibu kota Makassar (Ujung
Pandang).
Dengan terbentuknya
Negara Indonesia Timur itu susunan pemerintahan di Bali dihidupkan kembali
seperti pada zaman raja-raja dulu, yaitu pemerintahan dipegang oleh raja yang
dibantu oleh patih, punggawa, perbekel, dan pemerintahan yang paling bawah
adalah kelian. Di samping itu, masih ada lagi suatu dewan yang berkedudukan di
atas raja, yaitu dewan raja-raja.[sunting]
Penyerahan Kedaulatan
Agresi militer yang
pertama terhadap pasukan pemeritahan Republik Indonesia yang berkedudukan
di Yogyakarta dilancarakan
oleh Belanda pada
tanggal 21 Juli 1947. Belanda melancarkan lagi agresinya yang
kedua 18 Desember 1948. Pada masa agresi yang kedua itu di Bali terus-menerus
diusahakan berdirinya badan-badan perjuangan bersifat gerilya yang lebih
efektif. Sehubungan dengan hal itu, pada Juli 1948 dapat dibentuk organisasi
perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (GRIM). Selanjutnya,
tanggal 27 November 1949, GRIM menggabungkan diri dengan organisasi perjuangan
lainnya dengan nama Lanjutan Perjuangan. Nama itu kemudian diubah lagi menjadi
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) Sunda Kecil.
Sementara itu, Konferensi Meja Bundar (KMB) mengenai persetujuan tentang
pembentukan Uni Indonesia - Belanda dimulai sejak akhir Agustus 1949. Akhirnya,
27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RIS. Selanjutnya, pada
tanggal 17
Agustus 1950, RIS diubah menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia.[sunting]
Masa 1949-2007
Pada 12 Oktober 2002,
terjadi pengeboman di Kuta yang menyebabkan sekitar 202 orang
meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Sebagian besar korban meninggal adalah
warga Australia dan Indonesia.
[sunting]Lihat pula
§ Daftar provinsi di
Indonesia sepanjang masa
§ Baca juga Buku "Bali Berdjuang" oleh
Njoman S. Pendityang diterbitkan oleh: "Jajasan Kebktian Pedjuang"
Daerah Bali - Denpasar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar