Minggu, 09 Desember 2012

CINTA DITOLAK


CINTA DITOLAK, LEAK BERGERAK

Tanting Mas adalah permaisuri Prabu Dirah, yang karena jengkel suaminya tidak mau menggendong anaknya yang menangis, pada saat paseban agung (rapat paripurna) menjadi marah dan memandangi suaminya dengan tajam (pandreng) dan sang Raja pun mati di tempat.
Mati mendadak pada saat rapat paripurna. Menurut analisa kedokteran beliau wafat karena serangan jantung. Sedangkan menurut analisa Mpu Peradah beliau wafat karena serangan aji penerangjana. Nah lho, mana yang benar?
          Ternyata penolakan Prabu Dirah mengendong anaknya pada saat paseban agung, bukanlah satu-satunya alasan bagi Tanting Mas untuk membunuh suaminya. Ada alasan lain yang lebih besar yaitu; ingin menjadi Raja dan memerintah di Dirah, yang kemudian bergelar Walunateng Dirah. Rupanya haus kekuasaan bisa memupuskan rasa cinta Tanting Mas terhadap suaminya, sehingga tega-teganya membunuh suami sendiri. Mitologi inipun sering terbukti di dalam masyarakat. Artinya pada mereka yang memiliki ilmu pengeleakan tingkat tinggi, pada umumnya berstatus janda. Karena suaminya telah mati lebih dulu dan dijadikan tumbal ilmu pengeleakannya. Tentu saja tidak ada maksud penulis untuk mengatakan, bahwa setiap janda pasti bisa ngeleak. Tidak.
        Sekarang diceritakan mengenai putri Walunateng Dirah, yakni Ratna Manggali sudah gadis, sudah dewasa. Cantik molek bagaikan Dewi Supraba, bidadari dari Kahyangan. Menurut pertimbangan Walunateng Dirah, Ratna Manggali akan dijodohkan dengan sepupunya, yakni Prabu Erlangga di Kediri. Tetapi Prabu Erlangga telah mengetahui tingkah polah Walunateng Dirah yang sudah termasyur ilmu ke digjayaannya. Leak ugig, aneluh anerangjana. Karena itu, Prabu Erlangga menolak untuk memperistri Ratna Manggali. Menurut logikanya, seorang anak pasti mewarisi kemampuan ibunya. Secara sengaja atau tidak, disadari atau tidak ilmu itu akan dimiliki pula oleh anaknya.
        Penolakan Prabu Erlangga untuk memperistri Ratna Manggali membuat Walunateng Dirah menjadi sangat marah, merasa terhina, merasa dilecehkan. Padahal dirinya adalah seorang Ratu sakti mandraguna. Maka dengan amarah yang meluap-luap dia perintahkan para prajuritnya untuk menggempur Kediri. Menghancurkan Kediri hingga menjadi kubangan badak. Hancur lebur tanpa sisa. Namun, sebelum menghancurkan Kediri terlebih dahulu Walunateng Dirah menghadap ke Kahyangan diikuti oleh para prajuritnya, yang merupakan anak buah dan sisia-sisianya, untuk memohon izin serta restu dari Bhatari Durga. Bhatari Durga berkenan memenuhi permintaan Walunateng Dirah, namun memberi batasan bahwa yang boleh dihancurkan hanyalah daerah pinggiran saja. Maka dibombardirlah wilayah pinggiran Kediri, dengan rudal-rudal pemusnah seperti Tuju, Desti, Teluh, Anerangjana dan sebagainya.
            Sekarang diceritakan Negara Kediri sudah hancur. Ada orang sakit pagi hari, sorenya telah meninggal. Sakit malam hari, esok paginya meninggal. Ranjau-ranjau pepasangan sangat banyak di jalanan, sehingga membuat penduduk sangat ketakutan. Situasinya begitu mencekam, tidak ada seorang manusia pun yang berani lalu-lalang di jalanan.
         Prabu Erlangga menjadi risau, sangat sulit memikirkan bagai mana cara melenyapkan Walunateng Dirah. Para patih sudah banyak yang menjadi korban, antara lain Patih Madri yang meninggal pada saat mengembalikan pinangan ke Dirah. Demikian pula Patih Maling Nglayang, yang bisa terbang di angkasa dan sangat digjaya, ternyata tewas secara mengenaskan. Karena pada saat melayang di udara bayangannya di pandreng - dipandangi dengan tajam - oleh Walunateng Dirah dan tiba-tiba Patih Maling Nglayang jatuh terkapar serta mayatnya terbakar.
         Kemudian Sang Prabu menugaskan Patih Taskara Maguna alias Maling Maguna, untuk membunuh Walunateng Dirah. Ketika tiba di Dirah hari sudah senjakala, saat sandikala. Maling Maguna langsung masuk ke puri dan menusuk Walunateng Dirah, akan tetapi janda itu ternyata kebal senjata - ora tedas tapak palune pande - tidak terluka oleh segala senjata buatan pande. Maling Maguna pun lari tunggang-langgang, bersembunyi di balik pepohonan, jika tidak iapun bisa mati gosong, bisa mati terbakar setelah dipandang tajam Walunateng Dirah. Maling Maguna bergegas pulang ke puri dan melaporkan misinya yang gagal untuk membunuh Walunateng Dirah, kepada Prabu Erlangga. Demikianlah nasib Prabu Erlangga, hanya karena menolak cintanya Ratna Manggali dan mengembalikan pinangan Walunateng Dirah, negaranya menjadi hancur lebur digempur leak.
            Pemikiran seperti yang dimiliki Prabu Erlangga, ternyata juga telah diwarisi oleh kebanyakan masyarakat di Bali. Tengok saja disekeliling kita, kalau ada seorang gadis yang orang tuanya “dicurigai” bisa ngeleak, dijamin cewek tersebut tidak ada pemuda yang berani ngapelin. Kecuali pemuda dari lain desa yang tidak mengetahui hal itu, atau boleh jadi pemuda setempat yang orang tuanya juga bisa ngeleak. Maka terjadilah perkawainan antara keluarga leak. Tentu saja pemikiran seperti itu tidaklah sepenuhnya benar. Buktinya, Diah Ratna Manggali putri Ratu leak sejagad, tidak bisa ngeleak.

(Sumber : Buku Leak Sari, Paramita Surabaya)

Tidak ada komentar: