PINANGAN
KEMATIAN
Setelah
mendapat petunjuk seperti itu Mpu Peradah pun menutup yoga samadhinya, kemudian
kembali ke ruang pertemuan. Sang Mpu berpikir sejenak kemudian memanggil sisia-nya,
yang bernama Mpu Bahula dan berkata: “Anakku Bahula, sekarang kau kuutus ke
puri menghadap Sang Prabu.
Kamu harus minta upakara peminangan ke Dirah, Akan
meminang Diah Ratna Manggali. Jika engkau sudah menikah hendaknya kamu mampu
meneliti tempat lontar kesaktian Walunateng Dirah. Jika sudah dijumpai bawalah
- segera kemari akan kupelajari. Hati-hatilah anakku, karena kamu sebagai duta
yang pantas menolong rakyat Kediri dari mara bahaya, sehingga negeri bisa kerta
kembali”.
Setelah mendengar wejangan tersebut,
pada saat itu juga Mpu Bahula mohon pamit, kepada Mpu Peradah, akan menghadap
ke puri hendak meminta upakara peminangan ke Dirah. Tidak disebutkan perjalanan
Mpu Bahula bersama para utusan, sekarang disebutkan mereka telah menghadap Sang
Prabu: “Ampun Tuanku, tuanku Mpu Peradah tidak ikut ke puri. Semua perihal yang
menyangkut mara bahaya negara paduka, sudah diserahkan kepada Mpu Bahula. Akan
tetapi, paduka di-mohon berkenan menganugrahkan upakara peminangan beliau untuk
meminang Diah Ratna Manggali”.
Sang Prabu menyanggupi seraya
memberikan upakara peminangan. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mpu Bahula
berangkat ke Dirah akan meminang Diah Ratna Manggali. Beliau menunggang kuda
diiringi oleh banyak rakyat.
Tidak disebutkan perjalanan beliau.
Kini disebutkan beliau telah sampai di Dirah dan bertemu Walunateng Dirah.
Beliau berkata: “Ya, tuan yang baru datang, ada urusan apa gerangan?”,
dilanjutkan, “Supaya pembicaraan berlangsung lancar tolong sampaikan hal itu,
termasuk dari kasta mana tuan ini?”.
“Hamba bernama Mpu Bahula, wangsa
Brahmana Buddha, sisia Mpu Peradah di Petulisan. Ada pun tujuan
kedatangan hamba ke sini adalah untuk meminang putri ibunda Diah Ratna Manggali
akan hamba jadikan istri. Pada kesempatan ini, hamba juga menyerahkan diri
kepada ibunda”, jelas Mpu Bahula tenang dan meyakinkan.
“Jika demikian halnya, ibu sangat
senang bermantukan kamu. Diamlah kau di sini dan bimbinglah adikmu, karena kita
sama-sama wangsa Brahmana Buddha”, sambut Walunateng Dirah dengan wajah
berseri. Saat itu juga Mpu Bahula dinikahkan dengan Diah Ratna Manggali.
Alangkah serasinya pasangan itu. Begitu pula cinta kasih mereka amat erat.
Dan pada saat itu juga maut
Walunateng Dirah sudah ditentukan. Tinggal menunggu waktu, tinggal menghitung
hari. Dia tidak tahu bahwa itu adalah pinangan kematian bagi dirinya. Sang Maut
memang tidak pernah datang terlambat dan tidak pula pernah datang terlalu
cepat. Dia selalu datang pada saat yang tepat. Dan itulah yang sekarang dialami
Walunateng Dirah.
Pada suatu hari, Walunateng tidak
berada di istana. Kesempatan itu digunakan oleh Mpu Bahula untuk mencuri
pustaka pengeleakan Walunateng Dirah lalu diserahkan kepada Mpu Peradah.
Beliau membaca pustaka itu lalu merenung, bahwa pada dasarnya pustaka itu
mengajarkan perihal filsafat yang sangat utama, namun Walunateng keliru di
dalam penerapannya. Nilai kebaikan dan keutamaan pustaka itu dipraktekkan
terbalik, sehingga menjadi ajiwegig, karena digunakan untuk membunuh
orang-orang tidak berdosa. Selain itu, dari pustaka itu diketahui juga
sejauhmana kesaktian Walunateng Dirah.
Bagi orang sekaliber Mpu Peradah,
tidaklah sulit untuk meluruskan ajaran yang bengkok. Mudah baginya untuk
membuat Ongkara yang dibuat Sungsang oleh Walunateng Dirah, menjadi Ongkara
Ngadeg atau Ongkara Tunggal. Dengan merubah satu atau dua kata maka ajaran leak
ugig Walunateng Dirah, bisa menjadi leak sari versi Mpu Peradah.
Menurut I Wayan Kardji: “Mulai dari
kelas Mpu Peradah ajaran Pangiwa, sudah tidak memerlukan pengorbanan
lagi untuk kenaikkan tingkatnya (di Bali sudah digolongkan dengan leak
ngisep sari). Oleh karena tidak ugig (runyam), maka pangiwa
dari tingkat Mpu Peradah ke atas, sudah berubah fungsinya menjadi panengen,
sehingga akan bertambahlah jumlah panengen tersebut. Bahkan, di dalam
cerita Mpu Peradah disebutkan sudah melaksanakan ilmu sadu dharma (ilmu
ke-pemangku-an)”. (Ilmu Hitam dari Bali.CV. Bali Media.1999)
Setelah mengetahui kelemahan ajaran leak
ugig Walunateng Dirah, dan menciptakan ajaran leak sari, Mpu Peradah
pun datang ke Dirah bermaksud melihat menantunya. Beliau menunggangi kuda tanpa
diiringi sisia seorang pun. Beliau pergi sendirian.
Tidak disebutkan perjalanan menuju
Dirah, sekarang disebutkan di Puri Dirah. Walunateng Dirah sudah mendengar
berita bahwa beliau akan kedatangan tamu dan sudah bersiap-siap membuat tempat
tinggal pendeta dan bahan-bahan makanan. Dengan tiba-tiba langit gemuruh, kerug-krebek
di siang belong itu pertanda kurang baik, dan tiba-tiba, ia mendengar sabda
dari angkasa: “Hai, rangda (janda) hati-hatilah kamu menjaga jiwamu, karena
sudah masanya kamu didatangi oleh Kala Mertiu (Dewa Kematian) yang sedang
mencari mangsa”. Mendengar sabda seperti itu, Walunateng tidak menghiraukannya,
karena ia sangat bahagia mempunyai menantu yang sangat tampan, pandai dan
sederajat.
Sekarang disebutkan perjalanan Mpu
Peradah sudah sampai di Puri Dirah. Walunateng menyapa: “Terimalah apa adanya
di sini, wahai adikku. Sungguh hatiku bagaikan pepohonan yang baru mendapatkan
hujan, setelah kedatanganmu”. Tentu saja Mpu Peradah tersenyum menerima
sambutan yang hangat itu. Apalagi melihat bermacam-macam jamuan makanan, lalu
beliau berkata: “Dari tadi saya tidak menjumpai kedua orang menantu kita. Di
manakah mereka tinggal?”
“Mereka sudah dinikahkan di sini.
Semua upacara pernikahan sudah dilaksanakan”, jawab Walunateng Dirah.
Setelah lima belas hari lamanya
beliau bersukaria di Dirah, maka Walunateng teringat akan perbuatan jahatnya
terdahulu. Seketika parasnya pucat pasi, maka beliau berkeinginan mohon
penyucian kepada Mpu Peradah: “Uduh, adikku, tolong sucikan diriku dari
perbuatan jahat yang pernah kulakukan agar aku bisa menjadi orang sadu
dharma. Hanya kepadamulah aku bisa mendapatkan hal itu, karena kau sama seperti
Sang Hyang Buddha, yang mampu menghilangkan dosa, aib dan segala perbuatan
buruk”.
Setelah berpikir sejenak, maka
menjawablah Mpu Peradah: “Baiklah jika begitu menurut pendapat kakak, tetapi
saya tidak akan mungkin bisa menyucikan dirimu, karena dosamu terlalu besar.
Banyak manusia telah mati, karena perbuatanmu, yang melaksanakan sad tatayi.
Sungguh sangat sulit meruwat orang yang telah banyak dosa. Apalagi saya, Sang
Hyang Hari Candani pun tidak mampu. Ada disebutkan dalam ilmu pengetahuan bahwa
ia sangat lama harus berada di dalam kawah, yakni seribu seratus tahun”.
Walunateng sangat takut mendengarkan
perkataan Mpu Peradah tersebut. Namun demikian, ia menyembunyikan ketakutannya
itu. Ia lalu marah dengan menuduh Mpu Peradah tidak mau meruwatnya. Walunateng
menantang Mpu Peradah untuk berperang tanding dan mengadu kesaktian di
pekuburan. Setelah sampai di tengah pekuburan, Walunateng berkata sambil
menuding Mpu Peradah, dengan serta-merta matanya membelalak mengeluarkan api,
lidahnya menjulur, taringnya gemerlapan, hidungnya besar, mulutnya besar
menganga, dan semuanya mengeluarkan api.
“Hai Peradah, lihatlah aku”, kata
Walunateng sambil menunduk ke tanah. Dengan seketika tanah itu menjadi abu
beterbangan ke sana ke mari bagaikan hujan debu. Kemudian Walunateng memandang
laut, dengan mendadak laut itu bergoncang seperti terayun-ayun. Setelah itu,
Walunateng memandang gunung, dengan seketika gunung itu roboh menjadi hujan
batu. Apapun yang dipandanginya dengan kemarahannya itu roboh seketika. Dunia
bergetar seakan-akan terjadi gempa.
“Sekarang bagaimana kehendakmu, hai
Peradah”, tantang Walunateng tidak sabar, “apakah engkau benar-benar pemberani?
Tidak lama lagi kau akan kubakar menjadi abu”.
“Wahai Walunateng, lanjutkanlah
sesuka hatimu. Sekarang aku akan membalasnya dengan ludah. Lihatlah, Mpu
Peradah akan membunuhmu dengan air ludah”, jawab Mpu Peradah melayani tantangan
Walunateng Dirah dengan sabar. Beliau lalu bersemadi memohon Sang Hyang Cintia
agar menghidupkan kembali kayu-kayu itu. Setelah itu, Mpu Peradah berkata:
“Lihatlah sekarang ini, semuanya sudah kembali seperti sedia kala. Sekarang
tunjukkanlah kemampuan penge1eakan-mu yang lainnya. Tidak urung semua penge1eakan
-mu akan berbalik menyerang dirimu sendiri”.
Mpu Peradah bersemadi kembali. Kali
ini memohon Sanghyang Siwa geni. Dari kedua mata beliau keluarlah api.
Walunateng lalu dibakar oleh api sehingga menjadi debu. Setelah itu, abunya
dihidupkan kembali menjadi Walunateng dan Menyembah kepada Mpu Peradah.
Walunateng memohon agar jangan dihidupkan lagi, karena sangat malu hidup
menanggung malu, menjadi gunjingan orang sedunia. Oleh karena demikian
permintaannya, maka ia pun dibunuh kembali oleh Mpu Peradah. Inilah yang
disebut dengan pinangan kematian, artinya karena dia menerima pinangan Mpu
Bahula, maka kelemahan ilmunya menjadi ketahuan sehingga dengan mudah dibunuh
Mpu Peradah.
Setelah Walunateng wafat, Mpu Peradah kembali ke Puri
Dirah. Alangkah dukanya Ratna Manggali ketika mendengar kematian ibunya. Ia
lalu diruwat oleh Mpu Peradah. Demikian pula semua hamba sahaya yang dulu
melaksanakan bicari, sehingga menjadi orang sadu dharma. Mulai
saat itu, negeri Dirah menjadi makmur di bawah kekuatan kerajaan Kediri. Mpu
Peradah pun kembali ke Puri Kediri dan diangkat sebagai bagawanta (pendeta
istana) di sana. Demikian cuplikan naskah seperti yang termuat dalam teks
Tanting Mas dan Tanting Rat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar