Teori Intertekstualitas
Dalam bidang sastra, intertekstualitas artinya telaah terhadap
sejumlah teks yang diprediksi mempunyai hubungan tertentu dengan teks-teks
lain, misalnya hubungan tema, penokohan, dan unsur-unsur intrinsik lainnya.
Secara lebih khusus, telaah
intertekstualitas berarti berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah
ada pada karya-karya sebelumnya yang muncul pada karya-karya berikutnya (Cika,
2003:780).
Penelitian
ini meletakkan suatu teks dalam sistem sastra dengan memperhatikan hubungan dan
kesinambungannya dengan teks-teks lain, baik secara sinkronis maupun secara
diakronis. Dengan kata lain dalam penelitian ini digunakan prinsip
intertekstualitas, baik dalam rangka melacak penciptaan teks (Riffaterre, 1978)
dan Culler, 1975:181, Teeuw, 2003:121) maupun dalam rangka menelusuri
resepsinya (Jauss, 1974). Selanjutnya disadari, bahwa dalam menentukan hubungan
antarteks itu terlibatlah penafsiran peneliti, yang sangat ditentukan oleh
pengalaman bacanya. Di samping itu teks dan sumber informasi yang relevan dari
masa lampau tidak selalu dapat ditemukan. Di sini terdapat tegangan antara
pencipta teks bersama dengan pembacanya pada masa lampau dan peneliti sebagai
pembaca masa kini. Tegangan itu tidak mungkin dijembatani sepenuhnya (Teeuw,
1984:374-375). Usaha peneliti di sini adalah menyajikan teks, membaca dan
menafsirkannya dengan cermat sesuai dengan kemampuannya, sehingga teks itu
masih dapat dipahami dan dinikmati oleh pembaca masa kini.
Seperti
disebutkan dalam kajian teks pada bagian terdahulu bahwa sumber utama kajian
ini adalah Svargarohaóaparva berbahasa Jawa Kuno, dengan merujuk pada
kitab suci Veda, termasuk kitab-kitab Upaniûad, susastra Hindu
yang meliputi susastra Sanskerta, utamanya kitab Itihàsa, yakni Ràmàyaóa
dan Mahàbhàrata (khususnya Úàbhaparva, Úàntiparva, Mahàprasthànikaparva,
dan Svargarohaóaparva Sanskerta), serta susastra Hindu berbahasa Jawa
Kuno utamanya Agastyaparva, Arjunavivàha, Úivaràtrikalpa, dan
Koravàúrama, di samping karya sastra Bali seperti Gaguritan Bhìma Svarga,
Putru Pasaji, Àtmapraúaòúa, Kakavin Aji Palayon, Gaguritan Japatvan, dan
Kiduò serta Gaguritan Bagus
Diarsa.
Sebuah
teks tidak akan bebas dari pengaruh teks-teks lainnya, demikian pula berbagai
teks yang dikaji dalam penelitian ini. Penelitian interteks dilakukan dengan
pendekatan intertekstual atau prinsip hubungan antar teks yang untuk
pertama kalinya dikembangkan oleh peneliti Perancis, Yulia Kristeva. Prinsip
ini berarti bahwa:
Setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca
dengan latar belakang teks-teks lain, tidak ada sebuah teks pun yang
sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak
dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka.
Pemahaman teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan teks-teks yang
mendahuluinya (Teeuw, 2003:120-121).
Lebih jauh
A. Teeuw (2003:121) dengan mengutip Culler (1981:103) menyatakan bahwa dari
segi teori sastra prinsip intertekstualitas mempunyai aspek lain: (it) leads
us to consider prior text as contributions to a code which makes possible the
various effect of signification. Seperti disebutkan di atas, bahwa
pemahaman tentang teks dalam kaitannya
dengan ciri-cirinya sebagai jaringan, maka dekonstruksi identik dengan
interteks (Kutha, 2004:221). Dalam hal ini dikemukakan kembali contoh pengakuan
pengarang Gaguritan I Japatvan dengan tegas menyatakan bahwa karya
sastra yang dikerjakannya mengambil sumber beberapa cerita dan teks-teks yang
sebelumnya pernah dibaca (Deger, 2002:iii).
Sumber:
Buku Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Mokûa Dalam Svargarohaóaparva: Perspektif Kajian Budaya; Dr.
I Made Titib, Ph.D; 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar