Konsep Svarga
Di dalam Veda,
svarga digambarkan sebagai tempat cahaya yang selalu terang bersinar,
tidak pernah ada kegelapan, tempat berkumpulnya orang-orang suci, merupakan
dunia kebaikan, dan
bahkan terdapat keabadian seperti digambarkan dalam kitab
suci Ågveda IX.113.8-11, Ågveda X.154.2-5, Atharvaveda
VI.120. 1-3, Atharvaveda IV.3-6, Atharvaveda IV.3-6, Atharvaveda
XII.3.17, dan Atharvaveda XIII.3.4.
Dalam
kitab-kitab Puràóa seperti Vàyu Puràóa (34. 96; 41.82; 103.42;
108.76 dan 84) digambarkan bahwa svarga memiliki tujuh pintu gerbang
bagi mereka yang melakukan tapa (pengendalian diri), dàna
(melakukan pemberian dengan tulus ikhlas), sàma (memandang sama suka dan
duka), dama (tahan uji), hrìá (memiliki rasa malu), àrjavam
(rendah hati), dan karuóa (simpati) kepada semua makhluk (Matsya
Puràóa 39.22). Sifat-sifat itu dimiliki oleh Mahàràja Úibi (Matsya
Puràóa 42.20). Svarga pernah dicapai oleh Mahàràja Yayàti
dengan 4 orang cucunya (Matsya Puràóa 42.28). Svarga juga tempat
untuk memuja Agastya (Matsya Puràóa 553.29). Nama lainnya adalah svargaloka
juga disebut divam, terletak pada
ruang antara matahari dan bintang dhruva (Ramachandra, III. 1995: 729).
Svarga
adalah tempat roh suci para leluhur dan Dewa Yama, tempatnya sangat tinggi atau
pada svarga ketiga, yakni cahaya yang abadi. Demikian juga digambarkan
sebagai titik pusat matahari dan merupakan langkah tertinggi dewa Viûóu (ketika
ber-trivikrama atau melangkah tiga langkah). Di sini terdapat satu pohon
yang bayangannya menyejukkan merupakan tempat bagi Dewa Yama dan Devatà
yang lainnya menikmati minuman. Di dalam Atharvaveda dinyatakan bahwa
pohon tersebut adalah pohon aúvata. Svarga diyakini merupakan
pahala dari perbuatan baik, juga bagi pahlawan yang gugur dalam medan
pertempuran, dan bagi mereka yang melakukan latihan pertapaan dengan tekun,
lebih-lebih mereka yang suka memberikan dàna puóya dengan ikhlas. Di
dalam Atharvaveda dijumpai penjelasan yang cukup banyak tentang mereka
yang memperoleh rakhmat untuk hal ini.
Roh orang
yang meninggal berjumpa kembali dengan roh suci leluhurnya, ibu, bapak,
keluarga, anak, dan istri. Tidak ada penyakit, sakit fisik dan mental tidak
dikenal, demikian pula umur tua. Di sana tidak ada yang kaya dan miskin, tidak
ada yang kuasa dan yang dikuasai. Kehidupan orang yang mendapat berkat akan
melalui jalan para Devatà, teristimewa akan menghadap Dewa Yama dan
Varuóa. Di sini terdengar suara seruling yang merdu dan lagu-lagu yang indah,
Sungai Soma, minyak ghee (mentega cair), susu, madu, dan anggur
mengalir; di sana terdapat spirit dari
makanan dan kesenangan. Bercahaya,
sapi-sapi beraneka warna, dan apa saja yang diinginkan akan tercapai.
Kehidupan
di svarga adalah kehidupan yang penuh kelembutan dengan kebahagian
material, kegembiraan sensual. Di dalam Upaniûad dinyatakan bahwa
kehidupan di alam Devatà akan diikuti oleh kelahiran kembali, lebih
rendah dan sifat kebahagiaanya sementara; hanya yang mengetahui kebenaran yang
sejati mencapai tingkatan yang lebih tinggi, kebahagiaannya tidak berubah,
kedamaian yang tanpa akhir sebagai hasil penyerapan spirit duniawi (Subodh,
2000:1905). Selanjutnya di dalam bahasa Jawa Kuno disebut “sukha tan pawali
duhkha”.
Roh mereka
yang dirakhmati tinggal di svarga yang ketiga, yakni alam leluhur (pitå
atau pitåloka). Penjelasan ini secara umum berarti bahwa leluhur yang
terlebih dahulu telah membuka jalan sehingga orang yang baru meninggal dapat
segera bergabung dengan mereka. Leluhur
kondisinya juga berbeda-beda, ada yang lebih tinggi, lebih rendah, ada yang di
tengah-tengah, ada yang duluan datang dan ada yang belakangan, semuanya
mengenal Dewa Agni, tetapi hanya beberapa saja untuk keturunan mereka. Para
leluhur senang dengan Soma, menikmatinya bersama para Dewa dan hidup
bersamanya.
Makhluk yang hidupnya abadi disamakan dengan para Dewa. Aksi-aksi
kosmis yang besar disamakan dengan para Dewa atau diidentifikasikan sebagai
kekuatan para Dewa. Selanjutnya, disebutkan bahwa mereka menghiasi langit
dengan bintang-bintang, menempatkan kegelapan pada waktu malam hari dan cahaya
pada waktu siang hari. Seperti halnya pembakaran jenasah tidak dalam arti pelaksanaan sebuah upacara yajña, Agni
pembakar jenasah dibedakan dengan Agni sebagai pengantar persembahan kepada
para Dewa; demikian pula jalan leluhur dan jalan menuju pada Dewa (ke-devatà-an).
Kitab Úatapatha Bràhmaóa menjelaskan lebih jauh tentang perbedaan antara
alam svarga (svargaloka) yang merupakan svarga para Dewa
dan alam leluhur (pitåloka).
Leluhur juga disembah seperti para Dewa,
dimohon rakhmatnya dan perlindungan bagi penyembahnya, serta menghentikan
pahala buruk dari keturunannya atas dosanya sebagai manusia yang dilakukan
terhadapnya. Kepada mereka juga dimohon untuk memberikan kekayaan, keturunan,
dan umur panjang keturunannya. Sering kali leluhur secara perorangan disebut
nama pribadinya. Leluhur datang menghadiri suatu upacara bersama dengan
kendaraannya Dewa Indra dan Devatà lainnya, mereka minum persembahan
Soma dan duduk di atas alas rumput (kuúa) di selatan (di wilayah tempat
tinggal roh). Mereka datang dalam jumlah
ribuan dan duduk bersama di altar persembahan. Mereka menerima persembahan, yang berbeda dengan persembahan
kepada para Dewa (Subodh, 2000:1906).
Lebih jauh
penggambaran svarga atau kahyangan, di antaranya disebutkan dalam
Sabhàparva (10) bahwa penggambaran kahyangan milik Dewa Kubera
sebagai berikut. Ruang sidang utama (hall) panjang dan lebarnya
masing-masing 100 yojana, di kelilingi tembok perkotaan yang tinggi. Di
tengah-tengah (pusat) kota terdapat gedung yang sangat besar (masion),
yakni pada tiang-tiangnya bertaburan permata yang indah. Dewa Kubera
dikelilingi oleh ribuan wanita. Dewa Màruta membawakan bau harum dari kalpavåkûa
dan memberi hormat kepadanya. gandharva dan apsarà (apsarì),
yakni para bidadari memainkan alat musik dan memberi hiburan kepada Dewa
Kubera. Miúrakeúì, Rambhà, Menakà, Urvaúi, Citrasenà, Úucismità, Ghåtàcì,
Puñjikasthalà, Viúvàcì, Sahajanyà, Pramalocà, Vargà, Saurabheyì, Samìcì,
Budhbudà, dan Latà adalah pemuka para bidadari kahyangan milik Dewa
Kubera.
Maóibhadra (Màóibhadra), Dhanada, Àúvetà, Bhadra, Guhyaka, Keúareka,
Gaóðakaóðu, Pradyota, Mahàbala, Ka, Tumburu, Piúàca, Gajakaróa, Viúala,
Varàhakaróa, Tàmroûþha, Halakakûa, Halodaka, Haýsacùða, Úaòkàvarta, Hemanetra,
Vibhìsana, Puûpànana, Piògalaka, Úonitoda, Pravàlaka, Våkûabàûpaniketa,
Cìravàsas, dan Nalakubera adalah pejabat tinggi yang mendampingi Dewa Kubera.
Dewa Úiva adalah sahabat dekat dari Dewa Kubera yang sering berkunjung ke
istananya. Para gandharva dan para åûi kahyangan seperti
Viúvàvasu, Hàhà, Parvata, Tumburu, dan Úailùûa tinggal di keraton Dewa Kubera
yang selalu menyenangkan dan sangat indah (Mani, 1989:435).
Di dalam Garuda
Puràóa (14) dijumpai penggambaran kahyangan Dewa Yama (Yamapurì)
sebagai berikut. Yamapurì luasnya ribuan yojana. Terdapat gapura yang
besar dan indah pada masing-masing 4 penjuru untuk memasuki kahyangan
ini. Pada salah satu sisi kota terdapat sebuah bangunan gedung yang besar,
yakni merupakan tempat tinggal Dewa Citragupta. Terdapat beberapa benteng
mengelilingi kota yang masing-masing terbuat dari baja. Tedapat ratusan jalan
di Kota Yamapurì. Seluruh jalan-jalan dihiasi dengan umbul-umbul dan rangkaian
glantungan bunga. Terdapat sekelompok orang (manusia Dewa) di istana Dewa
Citragupta. Mereka yang menghitung umur setiap makhluk. Mereka menghitung
pahala karma baik, dan buruk dari setiap manusia serta makhluk hidup lainnya.
Di sebelah selatan gedung tempat tinggal Dewa Citragupta terdapat Jvaramandira
(tempat penyakit). Berdampingan dengan tempat tinggal Dewa Citragupta terdapat
tempat berbagai penyakit, masing-masing jenis penyakit memiliki tempat
sendiri-sendiri. Istana Dewa Yama terletak 20 yojana dari tempat tinggal
Dewa Citragupta. Luas wilayahnya 200 yojana dengan tinggi 50 yojana.
Bangunan istana Dewa Yama disangga oleh seribu tiang. Pada bagian lain terdapat
ruang sidang yang sangat luas. Mereka yang berbuat kebajikan di dunia ini
memperoleh tempat yang baik setelah kematiannya, mencapai kebahagiaan dan
rakhmat surgawi (Mani, 1989:368).
Sumber: Buku Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Mokûa Dalam Svargarohaóaparva: Perspektif Kajian Budaya; Dr. I Made Titib, Ph.D; 2006
Sumber: Buku Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Mokûa Dalam Svargarohaóaparva: Perspektif Kajian Budaya; Dr. I Made Titib, Ph.D; 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar