Teori Agama (Religi)
Penelitian tentang persepsi umat Hindu di Bali terhadap svarga, naraka, dan mokûa,
perspektif kajian budaya, tidak dapat melepaskan diri dari teori agama atau
religi yang dianut oleh sebagian masyarakat Bali
dan yang relevan dengan hal itu diketengahkan
beberapa konsep agama menurut beberapa ahli peneliti budaya, di antaranya
Clifford Geertz. Dalam tulisan Religion As a Cultural System,
yakni bab 4 dari The Interpretation of Cultures: Selected Essay,
karya Clifford Geertz (1973:90) yang sangat terkenal dalam kajian budaya
dinyatakan definisi agama, terutama yang memiliki sifat eksplisit dan berguna,
yakni:
(1) a system of symbols which acts to
(2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in
men by (3) formulating conceptions of a general order of existence and
(4) clothing these conceptions with such an aura of factuality that (5) the
moods and motivations seem uniquely realistic.
Lebih jauh dalam
tulisannya “Internal Conversion” in Contemporary Bali yang
merupakan bab 7 dari The Interpretation of Cultures: Selected Essay,
karya Clifford Geertz (1973:176) dinyatakan:
Religion not only is not pervaded with a
consistent, highly distinctive tone (a kind of sedulous theatricalism which
only extended description could evoke), but the elements which comprise it
cluster into a number of relatively well-defined ritual complexes which exhibit,
in turn, a definite approach to properly religious issues no less reasonable
for being implicit. Of these, three are of perhaps greatest importance: (1) the temple
system; (2) the sanctification of social inequality; and (3) the
cult of death and witches. As the relevant ethnographic details are readily
available in the literature, my description of these complexes can be cursory.
Pengertian,
definisi atau konsep tentang agama dan ciri-cirinya seperti tersebut di atas,
khususnya ciri ketiga, yakni tentang upacara kematian dan ceritra alam gaib
termasuk SNM, sangat relevan dengan topik penelitian ini. Studi tentang
agama Hindu di Bali tidak hanya dapat dilakukan melalui pendekatan antropologi
(kebudayaan), tetapi juga melalui pendekatan teologi dan filsafat, khususnya
filsafat hermeneutik yang diajukan oleh Hans-Georg Gadamer.
Agama
menyangkut suatu teologi yang di sekitarnya disusun upacara-upacara (ritual)
serta dogma-dogma tertentu. Teologi hanya bermaksud memberikan penjelasan atau interpretasi tentang
dasar-dasar tersebut, sehingga teologi semacam itu digolongkan ke dalam teologi
tradisional. Dalam sistem teologi Hindu yang dianut oleh orang Bali, teologi
itu tidak menghapuskan kepercayaan dan kebudayaan asli, tetapi yang terjadi
adalah lokalisasi, kontekstualisasi atau pempribumian terhadap agama Hindu
sehingga melahirkan teologi lokal (Atmadja, 2002:2).
Teologi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata theos yang berarti ‘Tuhan’
dan logos yang berarti ‘ilmu’. Jadi teologi adalah ilmu tentang Tuhan
yang di dalam bahasa Sanskerta sangat dekat dengan kata Brahmàvidyà atau
Tattva Jñàna (Pudja, 1977:9). Sebagai sebuah ilmu, teologi dirumuskan
sebagai usaha sistematis untuk menampilkan, menafsirkan, dan membenarkan
kepercayaan kepada Dewa-dewa dan atau Tuhan dengan cara yang konsisten dan
bermakna (Lupito, 1995:342, Lorens, 2002:1091).
Tuhan Yang Maha Esa dalam agama
Hindu di Indonesia disebut Sang Hyang Widhi Wasa (di dalam teks ditulis Saò
Hyaò Viddhi Vaúa). Nama ini berarti yang menakdirkan atau yang menciptakan
dan mahakuasa (Monier, 1993:968, Mani,
1989:155, Zoetmulder, 1995:1427), yang di dalam bahasa Bali diterjemahkan
dengan nama Saò Hyaò Tuduh atau Saò Hyaò Titah. Umat Hindu di
Indonesia yang telah memeluk agama Hindu secara turun-temurun memuja Sang
Hyang Widhi sebagai Bhaþþàra Úiva (Sura, 1999:25).
Dalam
terminologi Hindu, tampaknya makna teologi dapat disejajarkan dengan pengertian
Brahmàvidyà yang didefinisikan sebagai pengetahuan tentang Brahman.
Kitab-kitab Hindu klasik di India yang membahas secara mendasar tentang Brahman,
terutama kitab-kitab Upaniûad, Brahmà Sùtra dan Bhagavadgìtà.
Ketiga kitab-kitab tersebut secara mentradisi disebut Prasthànatraya
(Suamba, 2003: 191) atau disebut juga Prasthànatrayi (Titib, 1996:128).
Sebagaimana yang dikutip oleh Suprayoga dan Tobroni (2001:57-58), Steenbrink
mengatakan, bahwa teologi memang tidak bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan,
baik wujud, sifat, maupun perbuatan-Nya, yakni di dalam khasanah Islam disebut
“Ilmu Kalam”.
Selanjutnya, Suprayoga dan Tobroni mengatakan
bahwa teologi merupakan
ilmu subjektif yang timbul dari dalam, yang lahir dari jiwa yang beriman
dan bertaqwa berdasarkan wahyu. Di samping itu, juga dijelaskan bahwa teologi
adalah upaya untuk merumuskan penghayatan iman pada konteks ruang dan waktu
tertentu. Dapat juga dikatakan bahwa teologi adalah pengkajian, penghayatan
(internalisasi) dan perwujudan (aktualisasi) nilai-nilai iman dalam memecahkan
masalah-masalah kemanusiaan.
Dalam
buku Aneka Pendekatan Studi Agama yang disunting oleh Peter Connoly
(2002:312) dengan kata pengantar Ninian Smart, Frank Whaling secara khusus
mengkaji agama melalui pendekatan teologi. Ia mengatakan bahwa posisi teologi
sangatlah penting dalam berbagai pembahasan tentang studi dan pengajaran agama.
Pendekatan teologis memfokuskan diri pada sejumlah konsep, khususnya yang
didasarkan pada ide theologos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pandangan teologi dapat dikategorikan menjadi tiga
kesimpulan:
- teologi mesti berkaitan dengan Tuhan atau transendensi, apakah dilihat dari mitologis, filosofis, atau dogmatis;
- doktrin tetap menjadi elemen signifikan dalam memaknai teologi; dan
- teologi sesungguhnya adalah aktivitas yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan.
Paul
Tillich (2002:4) dalam bukunya Teologi
Kebudayaan menjelaskan bahwa kritik keyakinan ilmiah dan teologis
mendefinisikan agama sebagai hubungan manusia dengan Tuhan yang eksistensinya
dinyatakan oleh kritik teologis sehingga agama merupakan aspek jiwa. Seorang
sosiolog, Pitrim Sorokin, telah
menguraikan masyarakat varna àúrama dengan istilahnya sendiri sebagai
budaya idaman, yaitu sebuah budaya yang pandangannya atas dunia pada dasarnya
bersifat metafisik, bukannya dunia yang hanya terbatas oleh indera. Ìúa
Upaniûad memberi ide dasar terhadap budaya idaman tersebut (Pudja,
1976:21). Berikut ini kutipan kitab Ìúa Upaniûad dimaksud.
¡xavaSyimdm(
sv| yiTkÆ jgTya' jgt( -
ten Tyµwn
.uǢqa ma g*/" kSy iSvd( /nm( --1--
Ìúavasyam idaý sarvaý yatkiñca jagatyaý jagat,
tena tyaktena bhùñjitha ma gåddhah kaúya
svidhanam
Ìúa Upaniûad 1.
‘Sesungguhnya apa pun yang ada di jagat raya ini, yang berjiwa dan
yang tidak berjiwa, dikendalikan oleh Ìúa (Tuhan Yang Maha Esa), oleh karena
itu orang hendaknya menerima apa yang diperlukan dan diperuntukkan bagi dirinya
dan tidak menginginkan milik orang lain’
Berdasarkan
berbagai definisi atau pengertian tentang teologi seperti tersebut di
atas, maka pada prinsipnya mempunyai
arti atau pengertian yang sama, yakni ilmu tentang Tuhan dengan berbagai
aspeknya, termasuk ajarannya. Dengan pemahaman terhadap konsep teologi
tersebut, maka penelitian ini akan lebih mudah dilaksanakan. Oleh karena itu
konsep atau pendekatan teologi sangat berguna dalam penelitian ini, terutama untuk mencari pembenaran tekstual
(normatif) dengan persepsi dan kontekstual tentang SNM. Hal ini sejalan
dengan pendapat Irmayanti (2004:27) yang menyatakan bahwa pengertian religi
dilihat sebagai suatu teks atau doktrin atau ajaran-ajaran.
Makna
agama (religi) berangkat dari pemahaman ketuhanan sehingga akan meningkatkan úraddhà (keimanan) dan bhakti (taqwa)
umat Hindu terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut dengan aneka nama. Makna
etis menjadikan umat Hindu bertingkah laku yang baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa sebagai Sang Pencipta, terhadap semua makhluk hidup dan alam semesta
ciptaan-Nya, sedang makna estetis dari pemahaman ketuhanan akan
menumbuh-kembangkan seni budaya yang adiluhung. Oleh karena keindahan
adalah sebuah persembahan, sebagai sarana untuk memuja-Nya sehingga dapat
memberikan ketentraman, kedamaian, dan kebahagiaan kepada seseorang yang
meyakininya.
Karya
sastra baik berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno, dan
Bali sesungguhnya merupakan susastra agama atau susastra Hindu.
Berkenaan dengan hal tersebut maka subjek kajian Svargarohaóaparva berbahasa
Jawa Kuno dan karya sastra Bali seperti: Gaguritan Bhìma Svarga (GBS),
Putru Pasaji (PP), Àtmapraúaòúa (Ap), Kakavin Aji Palayon
(KAP), Gaguritan I Japatvan
(GIJ), Kiduò Bagus Diarsa (KBD), dan Gaguritan Bagus Diarsa
(GBD) adalah susastra agama Hindu yang
di dalamnya mengandung makna religi, etika dan estetika.
Sumber:
Buku Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Naraka,
dan Mokûa Dalam Svargarohaóaparva: Perspektif Kajian Budaya; Dr. I
Made Titib, Ph.D; 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar