Babad Manik Angkeran
Sebagai pendahuluan ceritera, tersebutlah di kawasan Jawa, ada
pendeta maha sakti bernama Danghyang Bajrasatwa. Ada putranya laki-laki seorang
bernama Danghyang Tanuhun atau Mpu Lampita, beliau memang pendeta Budha,
memiliki kepandaian luar biasa serta bijaksana dan mahasakti seperti ayahnya
Danghyang Bajrasatwa. Ida Danghyang Tanuhun berputra lima orang, dikenal dengan
sebutan Panca Tirtha. Beliau Sang Panca Tirtha sangat terkenal keutamaan beliau
semuanya.
Beliau yang sulung bernama Mpu Gnijaya. Beliau membuat pasraman di
Gunung Lempuyang Madya, Bali Timur, datang di Bali pada tahun Isaka 971 atau
tahun Masehi 1049. Beliaulah yang menurunkan Sang Sapta Resi – tujuh pendeta
yang kemudian menurunkan keluarga besar Pasek di Bali. Adik beliau bernama Mpu
Semeru, membangun pasraman di Besakih, turun ke Bali tahun Isaka 921, tahun
Masehi 999. Beliau mengangkat putra yakni Mpu Kamareka atau Mpu Dryakah yang
kemudian menurunkan keluarga Pasek Kayuselem. Yang nomor tiga bernama Mpu
Ghana, membangun pasraman di Dasar Gelgel, Klungkung, datang di Bali pada tahun
Isaka 922 atau tahun Masehi 1000. Yang nomor empat, bernama Ida Empu Kuturan
atau Mpu Rajakretha, datang di Bali tahun Isaka 923 atau tahun Masehi 1001,
membangun pasraman di Silayukti, Teluk Padang atau Padangbai, Karangasem. Nomor
lima bernama Ida Mpu Bharadah atau Mpu Pradah, menjadi pendeta kerajaan Prabu
Airlangga di Kediri, Daha, Jawa Timur, berdiam di Lemah Tulis, Pajarakan,
sekitar tahun Masehi 1000.
Beliau Mpu Kuturan demikian tersohornya di kawasan Bali, dikenal
sebagai Pendeta pendamping Maharaja Sri Dharma Udayana Warmadewa, serta dikenal
sebagai perancang pertemuan tiga sekte agama Hindu di Bali, yang disatukan di
Samuan Tiga, Gianyar. Beliau pula yang merancang keberadaan desa pakraman –
desa adat serta Kahyangan Tiga – tiga pura desa di Bali, yang sampai kini
diwarisi masyarakat. Demikian banyaknya pura sebagai sthana Bhatara dibangun di
Bali semasa beliau menjabat pendeta negara, termasuk Sad Kahyangan serta
Kahyangan Jagat dan Dhang Kahyangan di kawasan Bali ini. Nama beliau tercantum
di dalam berbagai prasasti dan lontar yang memuat tentang pura, upacara dan
upakara atau sesajen serta Asta Kosala – kosali yang memuat tata cara membangun
bangunan di Bali. Tercantum dalam lempengan prasasti seperti ini.
“Ida sane ngawentenang pawarah – warah silakramaning bwana rwa
nista madhya utama. lwirnya ngawangun kahyangan, mahayu palinggih Bhatara –
Bhatari ring Bali lwirnya Puseh desa Walyagung Ulunswi Dalem sopana hana tata
krama maring Bali, ayun sapara Bhatara lumingga maring Sad Kahyangan, neher
sira umike sila krama” yang artinya: Beliau Mpu Kuturan yang mengadakan aturan
tentang tatacara di dunia ini yang berhubungan dengan mikro dan makrokosmos
dalam tingkat nista madya utama (sederhana, menengah dan utama), seperti
membangun pura kahyangan, menyelenggarakan upacara sthana Bhatara-bhatari di
Bali. Seperti Pura Puseh Desa, Baleagung, Ulunswi, Dalem, dan karena ada tata
cara di Bali seperti itu berkenanlah para Bhatara bersthana di Sad Kahyangan, karena
beliau yang mengadakan tata aturan tersebut.
Adiknya bernama Danghyang Mpu Bharadah mempunyai putra Iaki-laki
dan keutamaan yoga beliau bernama Mpu Bahula. Bahula berarti utama. Kepandaian
dan kesaktian beliau di dunia sama dengan ayahandanya Mpu Bharadah. Beliau
memperistri putri dari Rangdeng Jirah – janda di Jirah atau Girah yang bernama
Ni Dyah Ratna Manggali. Kisah ini terkenal dalam ceritera Calonarang. Beliau
Empu Bahula berputra Iaki bernama Mpu Tantular, yang sangat pandai di dalam
berbagai ilmu filsafat. Tidak ada menyamai dalam soal kependetaan, sama
keutamaannya dengan Mpu Bahula, ayahandanya. Mpu Tantular adalah yang dikenal
sebagai penyusun Kakawin Sutasoma di mana di dalamnya tercantum “Bhinneka
Tunggal lka” yang menjadi semboyan negara Indonesia. Beliau juga bergelar
Danghyang Angsokanata. Keberadaan beliau di Bali diperkirakan sejaman dengan
pemerintahan raja Bali, Sri Haji Wungsu pada tahun Masehi 1049.
Ida Mpu Tantular atau Danghyang Angsokanata, berputra empat orang
semuanya Iaki-laki. Yang sulung bernama Mpu Danghyang Panawasikan. Yang nomor
dua bergelar Mpu Bekung atau Danghyang Siddhimantra. Yang nomor tiga bernama
Mpu Danghyang Smaranatha. Yang terkecil bernama Mpu Danghyang Soma Kapakisan.
Ida Danghyang Panawasikan, bagaikan Sanghyang Jagatpathi wibawa
beliau, Ida Danghyang Siddhimantra bagaikan Dewa Brahma wibawa serta kesaktian
beliau. Ida Danghyang Asmaranatha bagaikan Dewa Manobawa yang menjelma,
terkenal kebijaksanaan dan kesaktian beliau, serta Danghyang Soma Kapakisan, yang
menjadi guru dari Mahapatih Gajahmada di Majapahit, bagaikan Dewa Wisnu
menjelma, pendeta yang pandai dan bijaksana. Ida Danghyang Panawasikan memiliki
putri seorang, demikian cantiknya, diperistri oleh Danghyang Nirartha.
Ida Danghyang Smaranatha, memiliki dua orang putra, yang sulung
bernama Danghyang Angsoka, berdiam di Jawa melaksanakan paham Budha. Adik
beliau bernama Danghyang Nirartha, atau Danghyang Dwijendra, Peranda Sakti Wawu
Rawuh dan dikenal juga dengan sebutan Tuan Semeru. Beliau melaksanakan paham
Siwa, serta menurunkan keluarga besar Brahmana Siwa di Bali yakni, Ida Kemenuh,
Ida Manuaba, Ida Keniten, Ida Mas serta Ida Patapan. Danghyang Angsoka sendiri
berputra Danghyang Astapaka, yang membangun pasraman di Taman Sari, yang
kemudian menurunkan Brahmana Budha di Pulau Bali.
Ida Danghyang Soma Kapakisan yang berdiam di kawasan kerajaan
Majapahit. berputra Ida Kresna Wang Bang Kapakisan, ketika Sri Maharaja Kala
Gemet memegang kekuasaan di Majapahit. Ida Kresna Wang Bang Kapakisan mempunyai
putra empat orang, semuanya diberi kekuasaan oleh Raja Majapahit, yakni beliau
yang sulung menjadi raja di Blambangan, adiknya di Pasuruhan, yang wanita di
Sumbawa. dan yang paling bungsu di kawasan Bali. Yang menjadi raja di Bali
bernama Dalem Ketut Kresna Kapakisan menurunkan para raja yang bergelar Dalem
keturunan Kresna Kepakisan di Bali. Dalem Ketut Kresna Kepakisan datang di
Bali, menjadi raja dikawal oleh Arya Kanuruhan, Arya Wangbang – Arya Demung,
Arya Kepakisan, Arya Temenggung, Arya Kenceng. Arya Dalancang, Arya Belog, Arya
Manguri, Arya Pangalasan, dan Arya Kutawaringin, Arya Gajah Para serta Arya
Getas dan tiga wesya: Si Tan Kober, Si Tan Kawur, Si Tan Mundur. Ida Dalem
beristana di Samprangan, didampingi oleh l Gusti Nyuh Aya di Nyuh Aya sebagai
mahapatih Dalem. Tatkala itu Ida Dalem memerintahkan para menterinya untuk
mengambil tempat masing-masing. Ida Arya Demung Wang Bang asal Kediri di
Kertalangu, Arya Kanuruhan di Tangkas, Arya Temenggung di Patemon, Arya Kenceng
di Tabanan, Arya Dalancang di Kapal, Arya Belog di Kaba-Kaba, Arya Kutawaringin
di Klungkung, Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas di Toya Anyar, Arya
Belentong di Pacung, Arya Sentong di Carangsari, Kriyan Punta di Mambal, Arya
Jerudeh di Tamukti, Arya Sura Wang Bang asal Lasem di Sukahet, Arya Wang Bang
asal Mataram tidak berdiam di mana-mana. Arya Melel Cengkrong di Jembrana, Arya
Pamacekan di Bondalem, Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di
Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan Demikian dikatakan di Babad Dalem.
Ida Danghyang Siddhimantra Berputra Ida Bang Manik Angkeran
Diceriterakan kembali putra Ida Danghyang Angsokanata atau
Danghyang Mpu Tantular yang nomor dua yakni Ida Mpu Bekung atau Danghyang
Siddhimantra Beliau bernama Mpu Bekung karena beliau tidak bisa mempunyai
putra. Kemudian beliau bergelar Danghyang Siddhimantra disebabkan memang beliau
pendeta atau Bhujangga yang sakti serta bijaksana. Beliau menjadi sesuhunan
sakti Bhujangga luwih (Junjungan sakti, pendeta yang bijaksana) di kawasan Bali
ini tatkala itu. Perihal gelar Ida Mpu Bekung menjadi Danghyang Siddhimantra,
akan diceriterakan di bawah ini.
Diceriterakan, Ida Mpu Bekung berkeinginan untuk memiliki putra
yang akan menjadi penerusnya kelak. Karena itu beliau melaksanakan upacara
homa, memuja Sanghyang Brahmakunda Wijaya.
Karena kesaktian beliau, dan karena permohonannya itu, beliau
dianugerahi manik besar yang keluar dari api homa tersebut. Kemudian nampak
keluar bayi dari tengah-tengah api pahoman itu. Anak itu kemudian diberi nama
Ida Bang Manik Angkeran. Artinya: Bang dari merah warna api itu. Manik dari
manik mutu manikam yang menjadi anugerah, dan Angkeran dari keangkeran pemujaan
sang pendeta yang demikian makbulnya. Demikian asal mulanya Ida Mpu Bekung
memiliki putera.
Setelah beliau memiliki putera, sangat sukacita beliau Mpu Bekung,
diperhatikan dan dimanjakan betul putera beliau. Setiap yang diinginkan
putranya dipenuhi.
Setelah Ida Bang Manik Angkeran menginjak remaja, mungkin
diakibatkan oleh kehendak Yang Maha Kuasa, agar supaya Ida Mpu Bekung menemui
ganjalan pikiran atau kesusahan, ternyata kemudian putra beliau sehari-hari
pekerjaannya hanya berjudi melulu, tidak pernah tinggal diam di rumah, selalu
berada di tempat perjudian semata. Di mana saja ada perjudian, di sana Ida Bang
Manik Angkeran bermalam. Diceriterakan perjalanan beliau berjudi tidak pernah
menang. Selalu kalah saja.
Hingga habis milik ayahnya dipergunakan untuk berjudi. Yang
membuat Mpu Bekung duka cita tiada lain karena putranya tidak pernah pulang ke
Griya. itu menyebabkan resah gelisah perasaan beliau, seraya pergi mencari
putra beliau Ida Bang Manik Angkeran ke desa-desa. Setiap ada orang yang
dijumpai di tengah jalan, ditanyai oleh beliau apakah ada menemui putra beliau
yang bernama Ida Bang Manik Angkeran. Namun semuanya mengatakan tidak pernah
mengetahui dan menemuinya.
Diceriterakan, konon, sudah lama beliau mengembara mencari putra
beliau itu tidak juga dijumpai, sampai akhirnya tiba di kawasan Tohlangkir
pengembaraan beliau Setibanya di Tohlangkir – Gunung Agung, di sana beliau baru
merasa lesu lelah kemudian duduk seraya bersamadi menyatukan pikiran beliau,
memuja Dewa seraya membunyikan genta beliau yang bernama Ki Brahmara .
Karena keutamaan puja mantra beliau diiringi dengan suara genta
beliau Ki Brahmara yang demikian menakjubkan, menjadi heboh keluar Ida
Sanghyang Basukih, seraya berkata: “Ah Mpu Bekung yang datang, apa keinginan
Mpu, memuja saya ? Segera katakan. agar saya menjadi tahu!”.
Berkatalah Ida Mpu Bekung: “Singgih paduka Sanghyang, hamba
memiliki anak seorang tidak pernah sama sekali pulang, sejak lama hamba
mencarinya, namun belum juga ketemu. Maksud hamba agar dengan senang hati
pukulun Sanghyang memberitahu keadaan sebenarnya, apakah dia masih hidup, atau
apakah dia sudah .mati. Kalau misalnya dia masih hidup agar supaya pukulun
Sanghyang sudi memberi tahu, di mana dia berada”.
Dengan sukacita Ida Bhatara Basukih berkata: “Ah Mpu, hendaknya
Mpu jangan bersedih hati, sebenarnya putra Mpu masih hidup berada di desa-desa,
bermalam di sana. Sekarang saya yang akan mengarad (menarik) Jiwa – putra Mpu,
agar segera pulang kembali. Namun, Mpu saya minta sarinya susu lembu, sebagai
imbalan saya mengarad putra sang Mpu”. Demikian wacana Ida Bhatara Nagaraja,
seraya meminta Ida Mpu Bekung agar pulang ke rumahnya.
Singkat ceritera. pulanglah Ida Mpu memohon diri dari Tohlangkir.
Tidak diceriterakan perjalanan beliau, maka sampailah beliau kembali di
rumahnya di Griya Daha, dan dilihatnya sang putera telah berada di rumah. Itu
sebabnya sangat sukacita beliau Mpu Bekung, seraya berkata: “Duh, putraku Sang
Bang, dengarkanlah apa yang ayah katakan sekarang. Jangan lagi ananda
mengulangi perbuatan yang sudah – sudah. Ayah tidak sama sekali melarang ananda
untuk bermain judi, namun agar ananda ingat juga dengan rumah Ananda. Payah
Ayah mencari ananda keluar masuk desa-desa”.
Kemudian berkatalah putranya:
“Singgih palungguh Mpu, ayahandaku, janganlah sekali-kali
palungguh Mpu marah serta duka ananda sudah menginjak dewasa sejak dahulu,
ananda tidak pernah sama sekali berani ingkar, karena ananda ingin sekali
dengan keberadaan diri sebagai seorang putra Brahmana”.
Demikian kata putranya Sang Bang Manik Angkeran.
Setelah usai Ida Mpu Bekung memberikan nasihat kepada putranya,
ingat beliau kepada permintaan Ida Bhatara Naga Basukih yang menginginkan susu
lembu.
Pada hari yang baik. lengkap dengan gentanya, beliau melakukan
perjalanan menuju Tohlangkir. Sesampainya di Tohlangkir, kemudian beliau
mempersiapkan diri dan melakukan yoga semadi memuja Ida Sanghyang Nagaraja
seraya membunyikan genta beliau. Karena kemakbulan weda mantra beliau memuja
Ida Sanghyang Naga raja, segera Ida Bhatara keluar seraya bersabda: “Ah, Mpu
Bekung yang datang.
Apa keinginan sang Mpu datang lagi?”.
Kemudian berkatalah Ida Mpu Bekung:
“Singgih pukulun Sanghyang, hamba menghadap pada paduka Bhatara,
bermaksud menghaturkan sarinya susu, sesuai dengan keinginan Sanghyang. Anak
hamba sudah ketemu, ada di rumah”.
Tatkala didengarnya kata-kata Mpu Bekung seperti itu, sangat
sukacita perasaan Ida Bhatara Basukih seraya berganti rupa menjadi Nagaraja
Agung, kemudian meminum sarinya susu, sampai beliau kenyang.
Setelah beliau kenyang meminum susu lembu itu, seraya berbalik,
beliau mengeluarkan emas, saat itu diminta Ida Mpu Bekung agar mengambil emas
itu.
Singkat ceritera, setelah beliau mengambil emas itu yang kemudian
dibungkus sebesar kelapa besarnya, lalu beliau memohon diri kepada Ida
Sanghyang Basukih Tidak diceriterakan perjalanan Ida Mpu Bekung, akhirnya tiba
jugalah beliau di Griya Daha seraya membawa emas. Diketahui emas itu oleh
putranya. Ida Bang Manik Angkeran yang gencar bertanya, meminta kepada
ayahandanya agar diberi tahu di mana memperoleh emas itu
Ida Mpu Bekung sangat merahasiakan perihal kepergian beliau
mendapat emas itu. Putra beliau tetap saja gencar mencari tahu. Lalu Ida Mpu
berkata kepada putranya. “Aduh ananda, jangan hendaknya ananda gencar bertanya
seperti itu akan perihal ayah mendapat emas ini. Kalau ada keinginan ananda
untuk mengambil, Ayahanda berikan”. Walaupun demikian kasih sayang beliau
kepada putranya, tetap saja Sang Bang memohon kepada ayahandanya untuk diberi
tahu di mana memperoleh emas itu Karena tidak sampai hati dan rasa kasih sayang
yang amat sangat, lalu Ida Mpu memberitahukan perihal beliau mendapatkan harta
itu.
Karena sekarang sudah memiliki emas, maka pergilah Ida Bang Manik
Angkeran bermain judi. Mungkin memang sudah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa,
sehari-harinya beliau selalu kalah berjudi. Akhirnya tidak sampai satu bulan
habislah sudah emas yang diberikan ayahandanya dijual, dipakai modal di tempat
perjudian.
Karena keadaannya demikian, lalu beliau berpikir keras, dan
kemudian Ingat beliau pada perjalanan ayahandanya mendapatkan emas itu, yang
merupakan anugerah dari Bhatara di Tohlangkir. Segera beliau pulang, tetapi
secara sembunyi – sembunyi agar tidak diketahui ayahandanya, beliau bertolak
menuju Tohlangkir seraya membawa susu lembu, serta genta milik ayahandanya, Ki
Brahmara.
Tidak diceriterakan perjalanannya, sampailah beliau di Tohlangkir,
di depan gua. Lalu beliau duduk mengheningkan cipta, memuja Dewa, seraya
membunyikan genta.
Rupanya pemujaan beliau yang khusuk, serta diiringi dengan bunyi
genta yang Utama itu, membuat geger, keluar Bhatara Naga Basukih dari gua itu
seraya berkata “Ah siapa anda ini datang, segera katakan !”.
Segera Ida Bang Manik Angkeran menyembah: “Singgih paduka
Sanghyang, hamba bernama Sang Bang Manik Angkeran. Hamba mengikuti jalan
Ayahanda hamba, menghaturkan sarinya susu lembu ke hadapan paduka Sanghyang.
“Demikian hatur beliau. Karena demikian, sangat sukacitalah perasaan Ida
Bhatara Basukih. Lalu diminumlah susu itu, setelah berganti rupa menjadi ular
naga besar berwibawa, seraya meminum susu itu. Seusai meminum susu itu,
bersabdalah beliau kepada Ida Bang Manik Angkeran: “lh, Sang Bang, sekarang apa
yang kamu inginkan, apapun yang ananda minta akan kuberikan.”
Berkatalah Ida Bang Manik Angkeran: “Singgih paduka Bhatara, hamba
bermaksud untuk memohon modal, nista sekali hamba berjudi, selalu kalah setiap
hari “.
Saat itu Ida Bhatara Basukih mengambil emas, bagaikan sebutir
kelapa besarnya. diberikan kepada Ida Bang Manik Angkeran, seraya bersabda:
“Ambillah emas ini, segera ananda pulang, poma, poma”. Lalu diambil emas itu,
disertai sembah bakti sekaligus memohon pamit ke hadapan Ida Bhatara Nagaraja.
Singkat ceritera. tibalah Ida Bang Manik Angkeran kembali di rumah
di Griya Daha, menyimpan genta saja, lalu beliau pergi lagi untuk bermain judi.
Atas kehendak Hyang Widhi, tidak sampai satu bulan, habis juga modalnya, itu
sebabnya kembali beliau mengelana, berhutang di perjudian tidak dapat, meminjam
tidak diberi. Karena itu, lalu beliau mengambil lagi genta milik ayahandanya,
seraya mencari sarinya Susu lembu, dan menyengkelit pedang yang bernama Ki
Gepang, lalu segera menuju Tohlangkir.
Setibanya beliau di Tohlangkir, lalu beliau duduk seperti yang
dilakukan sebelumnya, mengheningkan cipta, memuja Dewa, serta membunyikan
gentanya. Karena genta itu betul-betul genta utama, gegerlah Ida Sanghyang
Basukih ke luar guanya seraya bersabda: “Ah Sang Bang Manik Angkeran kiranya
yang datang. Datang lagi ananda membawa susu. Apa lagi permintaanmu, katakan,
semaumu akan kuberikan”.
Karena kewibawaan Ida Bhatara Basukih demikian mempesona dan
menggetarkan perasaan, menjadi tak enak perasaan Ida Sang Bang, lalu mengatakan
tidak memohon apa-apa. Karena demikian kata Ida Sang Bang, lalu Ida Bhatara
berganti rupa kembali menjadi ular naga yang besar, seraya meminum susu lembu
tersebut Setelah menyantap susu lembu itu, Ida Bhatara kembali ke gua. Karena
beliau berbadan panjang, ketika bagian kepala beliau sudah tiba di tempat
peraduan, maka bagian ekor beliau masih berada di luar gua. Dilihat oleh Ida
Bang Manik Angkeran ekor Ida Bhatara menyala karena di tempat itu terdapat
intan besar bagai ratna mutu manikam beralaskan emas dan mirah yang menyala
gemerlapan.
Ketika itulah muncul rasa angkara loba Ida Bang Manik Angkeran,
disusupi oleh niat tamak untuk memiliki permata itu. Lalu beliau menghunus
pedang Ki Gepang yang dibawanya segera memenggal ekor Ida Sanghyang Nagaraja,
sehingga terputus mata intan yang ada di bagian ekor yang segera diambil dan
dilarikan oleh Ida Manik Angkeran.
Karena demikian tingkah Sang Bang Manik Angkeran, tak terkira
murka Ida Bhatara Nagaraja, sebab merasa ekor beliau terluka, lalu beliau
kembali bergerak ke luar gua. Dilihat oleh beliau busana beliau dilarikan oleh
Ida Bang Manik Angkeran.
Segera beliau menyemburkan api, yang mengikuti arah perjalanan Ida
Bang Manik Angkeran yang kemudian terbakar habis menjadi abu. Tempat itu
belakangan bernama Cemara Geseng dan menjadi lokasi Pura Manik Mas Besakih.
Sementara itu permata milik Ida Bang Manik Angkeran ditempatkan sebagai pusaka
junjungan di Pura Dalem Lagaan, Bebalang, Bangli.
Diceriterakan Ida Mpu Bekung gundah perasaan beliau, karena
putranya tidak pernah pulang ke rumah. Desa-desa diselusuri mencari putranya,
namun tiada juga ditemukan. Segera beliau mengheningkan cipta. Karena kesaktian
beliau, terlihat oleh beliau putranya sudah menjadi abu. Segera beliau pergi
menuju Bali, Besakih yang ditujunya, berkehendak mengikuti perjalanan putranya.
Tidak diceriterakan di jalan tibalah beliau di Besakih. Di sana beliau melihat
onggokan abu, sementara buah genta berada di sebelah abu itu. Segera diketahui
dengan jelas, bahwa genta itu adalah milik beliau yang bernama Ki Brahmara.
Jelas sudah abu itu merupakan jasad putranya. Di sana beliau kemudian menumpahkan
rasa duka-citanya, seraya berpikir-pikir, jelas meninggalnya Ida Bang Manik
Angkeran disebabkan perbuatannya yang tak terpuji, disembur api oleh Ida
Sanghyang Nagaraja. Kemudian diambilnya genta Ki Brahmara yang sakti itu.
Karena sudah jelas diketahui, maka beliau kemudian melanjutkan
perjalanan berkehendak untuk menghadap Ida Sanghyang Basukih. Setibanya di
depan gua, seperti sebelumnya, beliau kemudian duduk melakukan pemujaan utama
memohon ke hadapan Ida Sanghyang Basukih.
Lama sudah beliau melakukan pemujaan. Lama beliau menunggu, tidak
juga keluar Ida Sanghyang Basukih, disebabkan demikian besar amarahnya, ingat
diperdaya oleh suara genta.
ltu sebabnya beliau Mpu Bekung melanjutkan lagi pujastutinya
dengan mengujarkan Asta Puja, Basukih Stawa dan Utpeti, Stiti Mantra diiringi
dengan suara genta beliau. Karenanya, barulah Ida Bhatara keluar dan dilihatnya
Ida Mpu ada di sana yang kemudian merangkul, seraya menghaturkan sembah
panganjali agar Ida Bhatara memberikan anugrah dan berkata: “Om paduka Bhatara,
ampunilah anak hamba. Tahu betul hamba akan perbuatan anakku yang demikian tak
berbudi dan tak terpuji. Bila mana berkenan, sudilah Bhatara menceriterakan
perbuatan anak hamba itu. Lama Ida Bhatara berdiam diri. Mukanya cemberut,
menunjukkan kekesalan perasaannya yang tak terhingga. Namun, karena Ida Sang
Mpu sudah memohon maaf dengan tulus dan suci, maka Ida Bhatara berkata
perlahan. Menceriterakan segala perbuatan yang dilakukan Ida Sang Bang Manik
Angkeran yang mengatakan diutus oleh Sang Mpu untuk menghaturkan susu lembu,
sampai akhirnya dihanguskan menjadi abu oleh beliau.
Mana kala Ida Mpu mendengar ceritera Ida Bhatara, meleleh air mata
Ida Sang Mpu Bekung, dan sesudah Ida Bhatara selesai bersabda, beliau kemudian
kembali menghaturkan sembah seraya berkata: “Singgih pukulun paduka Bhatara,
demikian memang dosa anakku itu, namun rupanya dia sudah menjalani kematian,
habis sudah dosanya. Inggih, hamba sekarang memohon anugerah pukulun Bhatara,
sudilah kiranya paduka Bhatara menghidupkan kembali Manik Angkeran, karena
dialah anak hamba satu-satunya, sebagai pewaris keturunan yang akan melanjutkan
keberadaan hamba kelak. Bila mana dia nanti hidup kembali, hamba akan
menyerahkan dirinya kepada paduka Bhatara, agar menghamba di sini sampai kelak
kemudian hari”.
Mendengar hatur Ida Sang Mpu Bekung sedemikian itu, merasa sedikit
malu Ida Bhatara seraya bersabda: “Ah, Sang Mpu, bila demikian permintaanmu,
aku dengan suka rela menghidupkan anakmu, namun agar sudi kiranya Sang Mpu
menyambung kembali ekorku”.
Lalu menyembah Mpu Bekung: “Singgih paduka Sanghyang, bila
demikian keinginan paduka hamba bersedia untuk menyambung kembali ekor paduka
Bhatara: Namun, sebelumnya, maafkanlah hamba berani berhatur sembah bila mana
paduka Bhatara berkenan, permata intan yang sebelumnya berada di ekor paduka,
sebaiknya ditempatkan saja di bagian mahkota paduka Bhatara, karena akan nampak
sangat maha utama, dan pula mereka yang jahat tidak akan tergoda untuk ingin
memilikinya Dan juga bila mana masih di bagian ekor, di samping terlihat nista,
juga membuat paduka Bhatara tidak bisa terbang karena keberatan di bagian
ekor”.
Demikian sukacita perasaan Ida Sanghyang Nagaraja tatkala
mendengar hatur Ida Mpu Bekung. Setelah usai bertemu wirasa, lalu Sang Mpu
melaksanakan yoga samadhi menghaturkan puja mantra, menyatukan batin beliau
memuja Ida Bhagawan Wiswakarma sebagai Dewanya sangging dan undagi (pekerja
khusus bangunan tradisional) di Surga.
Seusai sempurna pujastuti serta permohonan beliau, segera beliau
membuat gelung mahkota, dengan hiasan candi kurung, garuda mungkur, dengan
anting anting, bergundala dan memakai sekar taji. Demikian indahnya memang
kalau dilihat.
Singkat ceritera, selesai sudah gelung agung itu, kemudian dipakai
oleh Ida Bhatara. Memang, demikian menakjubkan. Nampak semakin mempesona
prabawa Ida Bhatara, dan juga beliau sekarang bisa terbang. Demikian sukacita
hati Ida Bhatara Nagaraja.
Karena itu, segera pula Ida Bhatara menghidupkan jasad Sang Bang
Manik Angkeran, didahului dengan pujastuti weda mantra. Perlahan, Ida Sang Bang
Manik Angkeran bangun, seperti baru habis tidur layaknya, hidup seperti semula,
dan ketika sadar, beliau cepat lari. Tempat itu kemudian bernama Pura Bangun
Sakti.
Segera Ida Sang Bang diikuti oleh ayahandanya, kemudian dipegang
dan diajak untuk menghadap Ida Bhatara Hyang Basukih. Sesuai perjanjian, maka
Ida Sang Bang Manik Angkeran dihaturkan kepada Ida Bhatara untuk mengabdi di
Basukih sampai kelak di kemudian hari.
Demikian suka citanya beliau berdua, karena semuanya sudah berhasil,
disebabkan kesaktian beliau masing-masing. Ida Sang Nagaraja sudah menghidupkan
kembali Ida Sang Bang Manik Angkeran. Juga Ida Mpu Bekung demikian saktinya
bisa menyambung kembali ekor Ida Bhatara Nagaraja. Ida Mpu Bekung kemudian
menghaturkan sembah terimakasih kepada Ida Sanghyang Basukih. Ida Sanghyang
Basukih kemudian bersabda: “Duh, Mpu Bekung, memang demikian saktinya anda ini.
Pantas anda bergelar Siddhimantra. demikian sakti dan makbulnya japa – mantra
anda. Sejak sekarang, tidak lagi Mpu Bekung nama anda, namun Danghyang
Siddhimantra nama anda sang pandita. Silakan, pulanglah sahabat karibku, semoga
Dirgahayu, panjang usia anda !” lalu Ida Sanghyang Nagaraja terbang menuju
Surga Loka. Sejak saat itu Ida Mpu Bekung bergelar Danghyang Siddhimantra.
Sebelum Ida Danghyang Siddhimantra kembali ke Griya Daha, tidak
lupa beliau memberikan petuah kepada putranya Ida Sang Bang Manik Angkeran: “
Uduh mas juwita permata hati ayah, engkau anakku Manik Angkeran. Ananda akan
ayah tinggal sekarang ini. Sebab Ayahanda akan kembali ke Jawa. l Dewa akan
ayahanda haturkan kepada Ida Sanghyang Basukih, sesuai dengan janji ayah kepada
Ida Bhatara. Mungkin ananda belum jelas tahu perihal keberadaan ananda sendiri
yang sebelumnya dihanguskan oleh Ida Bhatara sampai habis menjadi abu,
disebabkan karena marah beliau tak terhingga, perilaku ananda sungguh tak
terpuji, memenggal ekor Ida Bhatara. Lalu ayahandamu ini memohon kepada Ida
Bhatara, agar beliau dengan senang hati menghidupkan kembali ananda, dengan
janji, kalau ananda bisa hidup kembali, ananda akan ayah haturkan kepada Ida
Bhatara untuk mengabdi di sini di Besakih. Selain itu, kalau ananda kembali ke
Jawa, jelas perilaku ananda akan kembali seperti yang sudah-sudah, sebab
lingkungan ananda di sana sudah demikian rupa. Diamlah dan tinggal ananda di
sini, ayahanda akan kembali ke Jawa. Jangan ananda salah terima dan salah
paham, sebab sebenarnya, perihal perasaan ayahanda dan kasih sayang ayahanda
kepada ananda, tidak pernah kurang sejak dahulu sampai kapanpun. Ada petuah
ayahanda ini yang sangat Penting, agar diteruskan dharma bakti ananda ke
hadapan Ida Bhatara di sini di Tohlangkir, Besakih. Jangan sampai menurun,
sebab kalau demikian, menjadi ingkar ayahanda dengan janji ayahanda, sangat
nista disebut orang. Kemudian ada lagi nasehat ayahanda, sebab ananda sudah
pernah pralina atau wafat menjadi abu kemudian disucikan menjadi hidup kembali,
hidup untuk keduakalinya, berdwijati namanya, sekarang ananda berwenang menjadi
pendeta, agar ananda senantiasa menyelenggarakan, mengatur dan memimpin
penyelenggaraan segenap upakara dan upacara di sini di Besakih. Juga agar
ananda mengatur semua masyarakat umat di seluruh Bali, agar semakin meningkat
bhakti dan sradha imannya, kepada Ida Bhatara serta kepada sthana Ida Bhatara
semuanya”.
Ida Sang Bang Manik Angkeran mengiakan semua yang disampaikan oleh
ayahandanya. Di samping petuah tersebut, Ida Sang Bang juga diberikan
pengetahuan suci yang memberikan wewenang Ida Sang Bang untuk mengucapkan weda
mantra, menyelesaikan upacara, di samping diberikan pengetahuan kerohanian daya
kebathinan yang tinggi.
Seusai Ida Sang Bang Manik Angkeran mendapat pengetahuan suci dan
kerohanian, beliau ditinggalkan oleh ayahandanya yang kemudian melakukan
perjalanan pulang kembali ke Jawa.
Tidak diceriterakan perjalanan beliau, tibalah beliau di tanah
genting – tempat perbatasan antara Jawa dan Bali. Di sana beliau termenung
-menung. teringat beliau akan kelakuan putranya yang tak senonoh. ltu sebabnya
timbul kekhawatiran dalam perasaan beliau. seandainya Ida Sang Bang Manik
Angkeran kembali lagi ke Jawa, sehingga beliau berkeinginan mengupayakan bagai
mana caranya agar putranya tidak bisa lagi kembali, sebab janji beliau sudah
demikian pasti. ltu sebabnya kawasan itu akan diubah agar menjadi laut. Di sana
kemudian beliau menggelar yoga semadinya. Menyatukan batinnya, memuja Bhatara
di pegunungan agar berkenan dan tidak beliau menjadi kualat. Sudah bersatu
pikiran beliau dan juga sudah mendapatkan ijin anugrah, lalu tanah genting itu
digores dengan tongkat beliau. Bergetar dengan dahsyat kawasan Bali dan Jawa,
lindu dan gempa terjadi, kilat dan halilintar bertubi – tubi ! Terpisah dan
putuslah kawasan Bali dengan Jawa ! Laut memisahkan keduanya. Lalu laut itu
dinamakan dengan Segara Rupek. Tidak terhingga sukacita Dang Hyang
Siddhimantra. karena yakin putranya tidak akan bisa kembali lagi ke Jawa. Lalu
beliau kembali pulang ke Griya Daha di Jawa.
Ida Bang Manik Angkeran Berjumpa Dukuh Sakti Belatung
Kembali diceriterakan keberadaan Ida Bang Manik Angkeran di
Besakih. Beliau membuat pasraman di sebelah Utara gua, sekitar 300 depa
jaraknya dari Gua itu. pekerjaan beliau sehari-hari melaksanakan tapa brata
yoga samadhi, serta menjaga kebersihan dan kesucian kawasan Pura Besakih. Tak
sekalipun beliau lalai. Perilaku beliau berbeda benar jika dibandingkan dengan
sebelum beliau wafat dibakar oleh Ida Bhatara Nagaraja. Beliau melaksanakan
Kadharmaan, mengikuti ajaran dan perilaku seorang pendeta pura yang suci.
Setiap hari beliau menggelar Surya Sewana, memuja Sanghyang Parama Wisesa.
Suatu ketika tatkala hari sukla paksa pananggalan menjelang
purnama, beliau bermaksud untuk membersihkan diri dengan mandi di Toya Sah,
Besakih. Setelah membersihkan diri, berkeinginan beliau berjalan-jalan meninjau
kawasan Besakih. Lalu terlihat oleh beliau seorang Iaki-laki tua sedang bekerja
di ladang, membersihkan padi gaga, membersihkan rumput dan menyiangi. Orang tua
itu bernama Ki Dukuh Belatung yang demikian saktinya, namun tindak-tanduknya
bagaikan anak kecil senang dipuji serta senang pamer. Baru dilihat seseorang
datang ke tempat beliau dan menyaksikan beliau bekerja, keluarlah keisengannya
untuk pamer, sengaja berhenti bekerja kemudian menaruh alat siangnya dan
melompat duduk di atas alat itu seraya mengambil sirih dan melumatkan sirih itu
di atas alat siang tadi.
Pikir Ki Dukuh ingin supaya yang baru datang menjadi kagum. Namun
Sang Bang Manik Angkeran malahan menjadi sangat jengkel melihat aksi pamer Ki
Dukuh, karena jelas maksudnya untuk mencoba diri beliau. Lalu, dihampirinya Ki
Dukuh seraya berkata: “lh Bapak, kalau begini cara Bapak bekerja, sepertinya
bermain-main, sebanyak apa yang bisa Bapak hasilkan?”.
Lalu berkata Ki Dukuh sedikit gugup: “Siapa pula anda yang
bertanya ? Kok rasanya Bapak tidak jelas tahu?”.
Berkata Ida Bang Manik Angkeran: “Ah saya ini Sang Bang Manik
Angkeran, putra beliau Mpu Bekung dari tanah Jawa. Namun saya ini sekarang
menghamba kepada Ida Bhatara di Besakih, menjadi tukang sapu”.
Berkata lagi Ki Dukuh: “Tidak mengerti saya, kalau demikian
halnya. Sebab janggal keberadaan sang brahmana seperti itu. Baru sekarang saya
mendengar orang bekung (tak punya anak) memiliki putera. Dan lagi ada brahmana
menjadi tukang sapu, kalau tidak anda ini brahmana hina”.
Sedikit marah Sang Bang berkata: “lh Bapak, jangan berbicara
sembarangan! Ayah saya memang bekung, namun karena kesaktian beliau, berhasil
beliau mengadakan putera. Saya ini memang benar putra seorang Mpu, bukan
brahmana hina.
Serta saya berhak diperintah oleh Ida Bhatara, walaupun pekerjaan
yang diperintahkan itu menyapu, itu juga pekerjaan utama, kalau sudah Ida
Bhatara yang memerintahkan. Sekarang saya balik bertanya. Kakek ini siapa,
serta dari golongan apa ?”
Ki Dukuh kemudian berkata: “Saya ini bernama Ki Dukuh Belatung,
sebagai penua di desa Bukcabe, namun saya membuat tempat tinggal di sini”.
Berkata lagi Sang Bang, masih perasaannya jengkel: “lh Bapak
Dukuh, saya bertanya lagi Itu ada sampah bertimbun akan Bapak bagaimanakan ?
Tidak akan Bapak bersihkan ?”
“Akan saya bersihkan !”.
“Bagaimana cara Bapak membersihkan ?”
“Akan saya bakar !”
“Apa yang akan Bapak pakai membakar ?”
“Wah, ini benar-benar brahmana aneh”.
Ki Dukuh menjawab agak marah, “apa lagi dipakai membakar, kalau
bukan api. Lalu kalau Ida Bagus apa yang dipakai membakar ?”.
“Wah” demikian Sang Bang menjawab seperti mencibir, “kalau Bapak
Dukuh masih membakar sampah dengan memakai prakpak daun kelapa kering jelas
tidak benar Bapak Dukuh tahu dengan falsafah Tri Agni, yang berada di dalam
diri sebenarnya. Kalau saya, melalui air kencing saya saja sampah ini akan
terbakar tidak bersisa”
Tatkala didengarnya kata Ida Sang Bang demikian itu, menjadi
terhenyak Dukuh, berdiam diri, seraya lama termenung, kemudian menghaturkan
sembah “Singgih, Ratu Sang Bang, kalau benar seperti perkataan l Ratu, bisa
membakar sampah ini dengan air kencing l Ratu, hamba akan menghaturkan diri,
serta semua milik hamba beserta rakyat, serta pula anak hamba akan hamba
serahkan semuanya kepada Cokor I Ratu”
Usai Sang Bang mendengar hatur Ki Dukuh, menjadi pulih kembali
perasaan beliau. Lalu beliau berkata perlahan: “Nah, kalau benar seperti
perkataan Bapak saya akan memperlihatkan bukti. Namun agar semuanya sanggup
datang dan hadir serta disaksikan oleh Ida Sanghyang Triyodasa Saksi”.
“Jangan sekali-kali l Ratu ragu. Memang dari lubuk hati hamba yang
ikhlas tidak akan ingkar dengan janji”. Demikian hatur Ki Dukuh.
“Nah, kalau begitu, ke sana Bapak pulang, beritahu sanak keluarga
serta rakyat Bapak agar datang manakala saya memberikan bukti di hadapan
Bapak”. Demikian perjanjian Ida Sang Bang Manik Angkeran.
Setelah selesai janji itu, Ki Dukuh lalu memberitahukan kepada
anak, isteri serta keluarganya, perihal janjinya kepada Ida Bang Manik
Angkeran, serta imbalan yang dimasukkan ke dalam janji itu sebagai taruhan.
Yang mendengar semuanya sama-sama paham di dalam hatinya menjadi taruhan.
Tersebutlah pada hari yang telah disepakati, pagi – pagi hari Ida
Sang Bang sudah membersihkan diri dengan mandi di Tirtha Mas, serta kemudian
melakukan yoga samadhi memuja Sanghyang Agni agar memberikan anugrah. Setelah
melakukan yoga dan samadhi, lalu beliau berjalan menuju tempat tinggal Ki
Dukuh.
Setelah dekat dengan tempat Ki Dukuh, nampaknya semuanya lengkap
hadir, Ki Dukuh dengan isterinya, keduanya memakai pakaian putih-putih,
ditemani dengan anak dan kerabatnya, hanya tinggal menunggu kedatangan Ida Sang
Bang. Setelah tepat benar matahari di atas kepala, lalu beliau menuju tempat
sampah yang bertimbun, di sana beliau mengheningkan cipta-mamusti, menyatukan
pikirannya, menegakkan keteguhan batin Iaksana Gunung Mahameru. Tidak berapa
lama, matang sudah yoga beliau, seraya mengeluarkan air kencing di sampah itu.
Dan sekejap air kencing itu menjadi api yang menyala-nyala, berkobar. Terbakar
semua sampah kebun di tempat itu, hampir-hampir terbakar seluruh hutan di sana.
Keadaan itu dilihat oleh Ki Dukuh serta semua iringannya, sangat
kagum mereka pada kesaktian Ida Sang Bang. Ki Dukuh merasa kalah, namun
sekaligus merasa untung, karena merasa mendapatkan jalan baik untuk pulang ke
Sorga Loka. Tatkala api itu berkobar. saat itu pula Ida Sang Bang Manik
Angkeran membelokkan ujung api itu ke arah timur laut. Lalu beliau berkata
kepada Ki Dukuh: “Bapak Dukuh, saya memberi bekal Bapak dengan ganten. Turuti
asap itu ke arah timur laut”
Saat itu Ki Dukuh menemukan jalan baik seraya melihat ada Meru
bertingkat 11 (sebelas). Ki Dukuh menuju api itu serta mengheningkan cipta
dengan sikap angeranasika mengheningkan cipta dengan melihat hidung, lalu
beliau melompat ke tengah-tengah api yang sedang memuncak kobarannya itu. Ki
Dukuh naik moksa seiring dengan asap yang mengepul tinggi itu serta kemudian
tidak nampak lagi. Keadaan itu diikuti oleh isteri Ki Dukuh yang memakai
kerudung dan berkain putih, kemudian mamusti, selanjutnya melompat juga ke api,
sebagai tanda setia bhakti kepada suami serta berkeinginan juga menemui jalan
terbaik menuju Sorga. Beliau berdua pulang ke Nirwana, melalui Jalan ke Sorga
Loka yang utama, serta Juga berdasarkan sasupatan – penyucian oleh Ida Bang
Manik Angkeran, yang telah menjadi pendeta yang bijak. Sejak saat itu Ki Dukuh
Sakti dikenal dengan gelar Dukuh Lepas atau Dukuh Sorga. Lama kelamaan tempat
Ida Sang Bang Manik Angkeran bersengketa dengan Ki Dukuh Sakti itu dinamai
Gumawang,
Sekarang diceriterakan yang masih hidup. Sesudah Ki Dukuh Sakti
meninggal semua milik Ki Dukuh serta rakyat se kawasan Desa Bukcabe, diserahkan
kepada lda Sang Bang, termasuk putri beliau yang merupakan seorang dara yang
bijak, cantik tiada bandingnya, bernama Ni Luh Warsiki. Kedua beliau itu
sama-sama saling mencintai, disebabkan yang satunya merupakan seorang jejaka
yang tampan bersanding dengan seorang dara yang jelita. Kemudian
diselenggarakan Upacara Perkawinan.
Setelah upacara selesai, lalu keduanya kembali ke Pasraman di
Besakih. Sesampai di Tegehing Munduk-tempat ketinggian, Ni Luh Warsiki menoleh
ke tempat bekas sampah dibakar, terhenyak beliau, lalu menangis, teringat akan
ayah ibunya yang sudah berpulang. Beliau tidak mau melanjutkan perjalanan
sebelum pulih perasaan beliau. Rakyat beliau kemudian membuatkan tempat
beristirahat di sana. Lama kelamaan tempat itu dikenal dengan nama Munduk
Jengis.
Diceriterakan kemudian rakyat semuanya sangat gembira pada
perasaan mereka, disebabkan sekarang mereka memiliki pujaan yang tampan serta
sakti, pintar, bijaksana serta dibya caksu, memiliki kesaktian bisa melihat
kejadian tanpa hadir langsung.
Setelah lama beliau berdua bersuami isteri saling mencintai,
saling mengasihi maka lahirlah seorang putra Iaki-laki, rupanya tampan serta
memiliki prabawa yang agung dinamai Ida Wang Bang Banyak Wide.
Ida Bang Manik Angkeran Berjumpa Dengan Bidadari
Tidak terasa berapa tahun lamanya beliau bersuami-isteri, tatkala
hari Purnama bulan ke sepuluh, Ida Sang Pendeta keluar dari pasraman, membawa
tempat air serta seperangkat alat untuk mandi. Memang sudah menjadi kebiasaan
beliau setiap hari baik atau pada hari Purnama-Tilem, selalu beliau bepergian
ke Tirtha Pingit untuk mandi. Beliau berjalan naik perlahan sebab merasa senang
beliau melihat segala bunga yang tumbuh di tepi jurang, serta pula di berbagai
tempat di daerah Besakih. Banyak jenis bunganya serta beraneka rupa warnanya.
Demikian senang perasaan Ida Sang Pendeta melihat keadaan seperti itu, sampai
beliau menggumam bagaikan berbincang dengan bunga itu semua.
Setelah beliau memasuki hutan, terdengar oleh beliau suara burung
semakin ramai saling bersahutan, Iaksana menyambut kedatangan Sang Pendeta.
Beraneka macam memang suara burung itu. Semua itu menambah gembira hati sang
pendeta. Tahu-tahu beliau sudah berada dekat dengan tempat Tirtha Pingit yang
akan dituju.
Tiba-tiba beliau berhenti. Karena terlihat oleh beliau seorang
wanita sudah ada lebih dahulu di tempat air suci itu, kemungkinan juga akan
mandi. Beliau Sang Pendeta lalu memperhatikan wanita itu. Demikian cantiknya
serta berwibawa wanita itu. Kemudian beliau merasa-rasa. Sepertinya beliau
sudah pernah bertemu dengan wanita itu, namun tidak ingat lagi beliau, di mana,
siapa gerangan wanita itu. Ingat lagi, kemudian lupa kembali. Tatkala itu,
wanita itu juga diam menunduk, sepertinya acuh.
Setelah agak lama mengingat-ingat, juga tidak bisa beliau
mengingat, maka didekatinya wanita itu, seraya menyampaikan pertanyaan:
“Inggih, tuan puteri yang bijak, siapakah gerangan tuan puteri ini, Kok sendiri
di tengah hutan begini. Dari mana tuan puteri, apakah tuan puteri benar
manusia, apa Wong samar orang maya, ataukah Dewa ?”
Menjawab wanita itu: “Inggih Sang Pendeta, yang sangat bijaksana,
hamba ini bukanlah manusia maya, dan juga bukan manusia”.
“Kalau demikian, sebenarnya tuan puteri Bidadari ?”.
“Ya, benar sekali seperti yang Sang Pendeta katakan, hamba memang
bidadari dari Sorga”.
“Aduh, sudah hamba sangka, tentu tuan puteri adalah Bidadari,
karena kagum benar hamba melihat kecantikan paras tuan puteri”.
“Inggih, memang demikian Sang Pendeta. Kalau wanita, kecantikannya
yang menyebabkan orang itu kagum. Kalau Iaki-laki jelas kebijaksanaan dan keperwiraannya
yang membuat orang kagum serta bertekuk lutut di kakinya”. Demikian kata Sang
Bidadari.
Ketika mendengar perkataan Sang Bidadari sedemikian itu, seperti
terkena sindiran Sang Pendeta. Seraya menyembunyikan rasa gugupnya, lalu beliau
berkata: “Apa yang mungkin tuan puteri cari, datang ke sini di tengah hutan
seorang diri ?” Menjawab Sang Bidadari: “Tidak ada yang hamba cari. Kedatangan
hamba ke sini, hanya bersenang-senang”.
Apa yang menyebabkan tuan puteri datang ke sini untuk
bersenang-senang. Apakah di Sorga kurang tempat yang indah untuk
bersenang-senang?” “Ya, memang demikian Sang Pendeta. Di Sorga, memang tidak
kurang tempat yang indah. Tetapi sebenarnya sekali, yang membuat hati ini
senang, tidak tempat yang indah saja, namun senang atau sedih, suka atau duka,
hanya tergantung pada hati perasaan kita masing-masing. Kalau seperti hamba,
sekarang ini, hanya tempat ini yang paling indah, yang bisa memberikan
kesenangan pada perasaan hamba. Sebenarnya Sang Pendeta, bagaikan ditarik hati
hamba, jadi berkeinginan hamba untuk datang ke mari, mungkin ada sesuatu hal
yang sangat indah di sini”.
Lagi seperti dikenai sindiran, sampai Sang Pendeta menjadi makin
gugup, lalu kemudian beliau berkata lagi: “Memang betul tuan puteri datang dari
Sorga, sangat pintar dan bijak tuan puteri berkata, semakin menjadi kagum hamba
kepada tuan puteri”.
“Janganlah berkata demikian Ratu Sang Pendeta. Terlalu banyak l
Ratu memuji diri hamba. Sebenarnya sekali, hamba masih terlalu muda”. Demikian
Sang Bidadari segera menjawab.
Setelah lama berbincang-bincang serta keduanya merasa di hati
masing -masing sudah akrab serta bersemi lagi rasa cinta, lalu beliau Sang
Pendeta memaksakan dirinya untuk berkata: “Duh Dewa Sang Bidadari,
perkenankanlah hamba memohon maaf, kalau-kalau perkataan hamba tidak berkenan
di hati, karena tidak bisa sama sekali hamba akan menghentikan perasaan hamba
yang mungkin bisa dikatakan kurang baik, namun bisa juga disebut baik sekali”.
Lalu menjawab Sang Bidadari: “Silakan Sang Pendeta, apa yang akan
tuan sampaikan. Hamba bersedia untuk mendengarnya. Jangan lagi Sang Pendeta
merasa ragu dan khawatir”.
Berkata Sang Pendeta: “Duh, Dewa, terlebih dahulu hamba
menghaturkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas anugerah Tuan Puteri.
Pendek kata hamba ingin mengatakan, jangan sekali Tuan Puteri marah,
mudah-mudahan Tuan Putri berkenan. Ya, begini …. diri hamba akan hamba serahkan
ke hadapan Tuan Putri Namun karena hamba belum bisa ikut ke Sorga Loka
mengikuti Tuan Puteri, kalau berkenan, Tuan Puteri akan hamba ajak di sini di
dunia, di kawasan Besakih ini, menghamba dan mengabdi kepada Ida Bhatara di
sini”.
Menjawab Sang Bidadari: “Ya kanda, sebelum hamba menjawab
keinginan kanda tersebut, berikan saya menceriterakan terlebih dahulu perihal
kita berdua kala berada di Kendran. Sebenarnya, dahulu, sebelum kanda diutus
untuk turun ke dunia ini, atas permohonan Ida Danghyang Siddhimantra, dinda
sudah memilih hubungan-bertunangan dengan kanda. Namun setelah kanda turun ke
Marcapada ini dinda masih sendirian berada di Sorga Loka. Lama dinda menunggu
kedatangan kanda, tidak juga ada datang-datang. ltu sebabnya dinda sekarang
turun ke dunia mengikuti jejak kakanda, agar bisa segera bertemu dengan
kakanda, menyatukan tali asih yang sudah bersemi di Sorga Loka. Karena itu,
kalau memang benar ada maksud kakanda akan bersatu dengan dinda, dinda tidak
lagi berpanjang kata, dinda bersedia mendampingi kanda, walaupun di sini di
dunia, semasih kakanda berada di sini”.
Setelah mendengar perkataan Sang Bidadari demikian itu, merasa
gugup dan terhenyak perasaan Ida Sang Pendeta. Namun di lain pihak merasa
gembira perasaan beliau, seraya berkata: “Duh, permata hati kanda, l Dewa,
dindaku, barangkali memang betul sekali apa yang dinda katakan baru saja, kanda
juga merasa-rasa dengan perihal itu. Namun terasa sangat samar hal itu. Sekali
lagi kanda ingin menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya, karena demikian
besar kesetiaan dinda kepada kanda, sampai-sampai dinda mau turun ke dunia ini,
meninggalkan semua keindahan yang ada di Sorgaloka. Ya, kalau demikian, kanda
sanggup, agar kanda bisa bersama dengan dinda sampai kelak di kemudian hari, ke
mana pergi dinda, kanda akan ikut. Namun demikian ada yang kanda ragukan dalam
hati kanda, perihal keadaan dinda akan menetap di dunia ini bersama kanda,
apakah tidak akan membuat ribut di Sorgaloka, ke sana kemari para Dewa mencari
dinda. Itu yang sangat kanda khawatirkan di hati, agar tidak karena kanda yang
menyebabkan dinda menemui kesulitan, apalagi dinda sudah demikian berkenan memberikan
anugerah kepada kanda”.
Menjawab Sang Bidadari dengan senyum manis: “Ya kanda, memang
sepantasnya kanda memikirkan keadaan dinda. Namun jangan kanda merasa khawatir.
Sebab dinda sudah memohon pamit kepada Ida Bhatara serta keluarga dinda
semuanya di Sorga, serta dinda sudah mendapatkan ijin dari Ida Bhatara. Memang
benar dinda sedikit bersikeras memohon diri kepada Ida Bhatara, karena janji
Ida Bhatara dahulu, konon kanda hanya sebentar saja diutus turun ke sini ke
dunia.
Namun, sesudah kanda selesai diruwat Ida Sang Nagaraja, seyogyanya
kanda sudah kembali pulang ke Sorga. Memang kanda sudah dapat pulang sekejap,
namun karena keras permohonan Ida Sang Nagaraja, yang sudah berjanji kepada Ida
Danghyang Siddhimantra, ayah kakanda, lagi pula memang kebetulan ada lain
pekerjaan yang harus kanda selesaikan di sini, jadi hambalah yang dikalahkan.
Kanda dikembalikan lagi ke dunia. Karena dinda tidak mau ditinggalkan oleh
kanda sedemikian lama, jadi dinda menghadap Ida Bhatara, memohon agar dinda
diperkenankan turun ke dunia ini, mengikuti perjalanan kanda. Mungkin
permohonan dinda dianggap pantas, itu sebabnya dinda diberi ijin untuk mohon
pamit serta diberikan wara nugraha untuk bisa turun seperti ini ke dunia, tidak
lagi menjalani hal yang sudah lazim, yakni menjelma sejak bayi seperti
kelahiran kanda dahulu. Sebab bila demikian perihalnya, jelas tidak bisa dinda
bertemu dengan palungguh kanda, seperti sekarang”.
Memang demikian kagumnya beliau Sang Pendeta pada kadibyacaksuana
wawasan Sang Bidadari, kemudian beliau bertanya kembali: “Jadi, kalau demikian
halnya, semua perbuatan Kanda di dunia ini sudah dinda ketahui ?”
“Ya, semua dinda ketahui”.
Baru demikian Sang Bidadari berkata, menjadi merah muka Ida
Pendeta akibat malunya. Hal itu diketahui oleh Sang Bidadari. Lalu, seraya
tersenyum, Sang Bidadari melanjutkan: “Namun semua itu merupakan titah atau
kehendak dari Ida Bhatara di Sorgaloka. Kanda hanya melaksanakan. Kalau kanda
tidak dijadikan anak yang durhaka, tidak bisa kanda akan nyupat- meruwat Ida
Sang Nagaraja, sebab tidak lama kanda memenggal ekor beliau yang menjadi tempat
berkumpulnya angkara. Namun Beliau Sang Nagaraja tidak berhutang supata kepada
kanda, karena beliau sudah pula nyupat-menyucikan diri kanda, beliau melebur
badan jasmani – stula sarira kanda yang banyak berisikan dosa, kemudian diganti
oleh beliau dengan badan jasmani baik seperti sekarang “.
Sang Bidadari berhenti sebentar, kemudian melanjutkan lagi: “Dinda
lanjutkan sedikit lagi. Begini, perihal beliau Ki Dukuh Belatung. Memang beliau
sangat sakti matang sekali dalam hal yoga samadhi. Namun ada kekurangan beliau
sedikit. Yaitu beliau sedikit tinggi hati dan senang pujian. ltu sebabnya
beliau bersedia diruwat pada api yang keluar dari air kencing kanda. Namun
sebenarnya, hal itu merupakan kehendak Ida Bhatara, sebab kalau Ki Dukuh tidak
tinggi hati, dan senang pujian, tidak berhasil kanda akan memperlihatkan
kesaktian membakar sampah di hutan dengan memakai air kencing, yang menjadi
jalan Ki Dukuh untuk moksa. Sebab kalau kanda yang langsung bertindak lebih
dahulu, jadi kanda akan dianggap mendahului dan berlaku kurang senonoh.
Kesaktian yang kemudian memunculkan hal yang tidak baik jelas akan hilang
keutamaannya”. Demikian kata-kata Sang Bidadari.
Menjadi semakin kagum Sang Pendeta. Merah warna paras muka beliau
sudah sirna. Beliau kemudian berkata dengan manis: “Ah, muda-mudanya mereka
yang ada di Sorgaloka, lebih bijaksana jika dibandingkan dengan yang ada di
dunia. Ya, kalau demikian halnya, menjadi tenang dan hening hati kanda tanpa
ganjalan lagi sekarang. Sekarang, kanda temani dinda menuju Pasraman. Namun
jangan sekali disamakan keadaan di sini dengan di Sorga”.
Cepat berkata Sang Bidadari: “Janganlah itu lagi disinggung. Bisa
bertemu dengan kanda seperti ini saja, dinda sudah sangat dan lebih bahagia
dibandingkan dengan di Sorgaloka”.
Singkat ceritera, pada akhirnya bersuami-istrilah Ida Sang Pendeta
dengan Sang Bidadari, kemudian mengadakan putera Iaki seorang, tampan,
berprabawa cerdas, mengagumkan sekali walaupun masih bayi, dinamai Ida Wang
Bang Tulusdewa.
Semakin lama, kawasan Bukcabe, Besakih, Tegenan serta Batusesa,
semakin subur makmur, tiada kurang makan dan minum. Itu sebabnya semakin bhakti
rakyat di sana kepada Sang Pendeta. Diceriterakan di kawasan Besakih, ada
pendamping Ida Sang Pendeta, sebagai pemuka warga Pasek di sana yang bernama Ki
Pasek Wayabiya. Beliau sangat bhakti kepada Sang Pendeta, Danghyang Bang Manik
Angkeran, karena anugerah beliau memberikan pelajaran tatwa, pengetahuan serta
kaparamarthan-kebathinan kepada Ki Pasek. Itu sebabnya Ki Pasek menghaturkan
puterinya yang bernama Ni Luh Murdani, seorang wanita yang cantik jelita,
sebagai tanda pengikat bhakti beliau kepada Ki Pasek sekeluarga sampai kelak di
kemudian hari. Beliau Sang Pendeta tidak menolak keinginan Ki Pasek Wayabiya.
Dengan demikian sudah tiga orang Sang Pendeta memiliki isteri,
semuanya menjadi wikuni – pendeta wanita yang sangat fasih dengan weda mantra
serta pula melaksanakan tapa brata yoga samadhi. Dari isterinya – Ni Luh Murdani,
lahir seorang putera Iaki-laki, yang juga berprabawa agung, tampan, dinamai Ida
Wang Bang Wayabiya atau Ida Wang Bang Kajakauh.
Bagaikan Brahma, Wisnu, Iswara rupa putra beliau bertiga: Ida Bang
Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa miwah Ida Bang Wayabiya. Singkat ceritera,
semua putranya itu meningkat dewasa. Karena memang putera orang yang bijak,
maka ketiga putranya itu sangat setia dan akrab bersaudara, serta sangat
berbakti kepada ayah bundanya. Semuanya pandai, karena segala yang dikatakan
oleh ayah-bundanya berisikan Kadharman serta Kawicaksanaan. Isi dari Sanghyang
Kamahayanikan, Sanghyang Sarasamuscaya dan Manawa Dharmasastra, sudah ditekuni
dan dilaksanakan. Serta tidak ingkar kepada isi dari Tri Ratna dan Asta Marga
Utama. Serta oleh Sang Pandita, putranya diberikan nasehat mengenai Putra
Sasana dan Tri Guna serta Tri Rna. Pendeknya segala ilmu filsafat yang baik-
baik ditekuni oleh Sang Tiga.
Selain dengan memberikan nasehat kepandaian, kebijaksanaan kepada
para putera itu, Sang Pendeta juga sering melakukan perjalanan ke desa-desa
memberikan nasehat dan petuah keagamaan serta ilmu kebathinan kepada masyarakat
banyak ltu sebabnya, kelak di kemudian hari beliau dibuatkan sthana-pelinggih
di pura-pura sebagai bukti sujud bhakti masyarakat kepada beliau.
Ida Bang Manik Angkeran Berjumpa Ki Dukuh Murthi
Diceriterakan sekarang, pada suatu hari. Ida Sang Pendeta
Danghyang Bang Manik Angkeran berjalan menuju ke arah Barat Laut, ke arah
tempat kediaman Ki Dukuh Murthi. Tidak diceriterakan di jalan, sampailah beliau
di hutan Jehem, kemudian, menuju Padukuhan, dan berjumpa dengan Ki Dukuh
Murthi. Keduanya kemudian berbincang-bincang mengenai mertua Sang Pendeta yakni
Ki Dukuh Belatung yang sudah moksa. Ki Dukuh Murthi memang bersaudara dengan Ki
Dukuh Belatung. Pada saat itu Ki Dukuh Murthi memiliki seorang anak wanita yang
sangat cantik bernama Ni Luh Canting. Putrinya itu dipersembahkan oleh Ki Dukuh
kepada Sang Pendeta, sebagai haturan utama yang tulus ikhlas, bukti besar
bhaktinya Sang Dukuh kepada Sang Pendeta, sebagai pengikat hingga kelak di
kemudian hari. Beliau Sang Pendeta sangat mencintai dan mengasihi Ni Luh
Canting, serta bertemu cinta didasari rasa kasih sayang yang suci. Namun karena
ada pekerjaan yang sangat mendesak serta didatangi oleh warga desa-desa lain
untuk memberikan pelajaran pengetahuan keagamaan, tergesa-gesa beliau
meninggalkan Ni Luh Canting untuk melanjutkan perjalanan memberikan petuah
kepada warga desa-desa lainnya.
Ni Luh Canting kemudian hamil, dan lama-kelamaan melahirkan
seorang putra yang tampan, diberi nama Sira Agra Manik. Belakangan Sira Agra
Manik kembali ke Besakih, sehubungan dengan pesan ayahandanya untuk
menghaturkan Lawangan Agung.
Dengan demikian Ida Danghyang Bang Manik Angkeran memiliki putra
empat orang, yakni Ida Bang Banyak Wide, Ida Bang Tulusdewa, Ida Bang Wayabiya
dan Si Agra Manik, yang keturunannya kemudian bernama Catur Warga.
Ida Danghyang Bang Manik Angkeran Berpulang Ke Sunyaloka
Patut diketahui perihal kesaktian Sang Bidadari sehari-hari,
menanak nasi dengan sebulir padi. Sehelai bulu ayam, jika dimasak, menjadi ikan
ayam. Keadaan demikian itu jelas tidak boleh dilihat oleh orang lain. Hal itu
sudah dipermaklumkan kepada Sang Pendeta, agar beliau jangan mencoba kesaktian
Sang Bidadari, agar kesaktian Sang Bidadari tidak hilang. Itu sebabnya
keberadaan sehari-hari Sang Pendeta dengan isteri dan putranya di Besakih,
tiada kurang suatu apapun.
Setelah berapa tahun lamanya, Ida Danghyang Bang Manik Angkeran
melaksanakan swadharma berkeluarga dengan istri beliau bertiga beserta putranya
tiga orang di Besakih, maka tibalah waktunya perjanjian Sang Bidadari harus
kembali ke Sorgaloka. Keluar pikiran Ida Sang Pendeta mencoba kesaktian sang
istri. Beliau mengintip isterinya Sang Bidadari sedang memasak, manakala
isterinya menaruh sebulir padi. Setelah lama nian memasak, dibukanya kekeb –
penutup alat masak- itu oleh Sang Bidadari. Dilihat padinya sebulir itu masih
seperti sediakala. Saat itu, berpikir Sang Bidadari, kemungkinan memang sampai
saat itu Sang Bidadari bersuamikan Sang Pendeta. Kemudian beliau menghadap dan
menghaturkan sembah: “Inggih kakandaku, Sang Pandita, rupanya sampai di sini
dinda mengabdikan diri – bersuamikan kanda. Sudah usai rupanya perjanjian kita.
Dinda sekarang, akan memohon diri ke hadapan palungguh kanda, untuk pulang
kembali ke Sorgaloka”.
Sang Pandita kemudian berkata halus: “Nah, kalau begitu Silakan
adinda pulang lebih dahulu, kanda akan mengikuti perjalanan dinda”. Sang
Bidadari lalu kembali ke Indraloka.
Sejak saat itu Ida Sang Pendeta Danghyang Bang Manik Angkeran
selalu melaksanakan Yoga Panglepasan untuk pulang ke alam baka. Dan lagi,
beliau menyadari akan segera kembali pulang ke Sunyaloka, lalu beliau memanggil
putranya bertiga, memberitahukan bahwa putranya bertiga memiliki kakek di Jawa,
yang bernama Ida Danghyang Siddhimantra. Bersama isterinya yang dua orang itu,
beliau memberikan petuah yang sangat bermakna: “ l Dewa, Bang Banyak Wide, l
Dewa, Bang Tulusdewa, l Dewa Bang Wayabiya, anakku bertiga yang sangat ayahanda
cintai dan kasihi, ayahanda sekarang bersama ibu-ibumu berdua, akan
meninggalkan ananda. Ayahanda akan pulang ke Sorgaloka. Satukan diri ananda
dalam bersaudara. Ala Ayu tunggal ! Duka maupun suka hendaknya tetap satu!
Kemudian juga agar selalu ingat kepada Bhatara Kawitan, serta senantiasa bhakti
menyembah Ida Bhatara semua di sini di Besakih serta Ida Bhatara Basukih. Tidak
boleh ananda lalai serta ingkar dengan petuah ayahandamu ini”. Demikian nasehat
Ida Sang Pendeta, dicamkan betul oleh para putranya bertiga.
Pada hari yang baik, beliau kemudian berpulang ke Nirwana, moksa
dengan Adhi Moksa-moksa yang utama, diiringkan oleh isterinya berdua, karena
keduanya memang setia dan bhakti kepada beliau.
Diceriterakan, beliau-beliau itu sudah menyatu dengan Tuhan.
Tinggallah para putranya bertiga, ditinggal oleh ayah serta bundanya. Namun
demikian masyarakat se wilayah desa Bukcabe, masih tulus bhaktinya, karena
ingat kepada petuah Ki Dukuh Sakti Belatung dahulu. Pada saat itu, putera Ida
Bang Manik Angkeran yang nomor empat dari Ni Luh Canting yakni Sira Agra Manik,
belum ada dan belum berdiam di Besakih.
Tidak terhitung berapa tahun ketiga putera itu ditinggal oleh ayah
ibunya semua, lalu ada keinginan Ida Sang Bang Banyak Wide akan berbincang
dengan kedua adiknya. Setelah semuanya duduk, maka berkatalah Ida Bang Banyak
Wide “Inggih, adikku berdua, yang kanda kasihi dan cintai. Teringat kanda
dengan petuah Ida l Aji, kata beliau Kakek kita yang bernama, mohon maaf, Ida
Danghyang Siddhimantra, bertempat tinggal di Pulau Jawa, tepatnya di daerah
Daha. Kalau sekiranya dinda berdua menyetujui, marilah kita pergi ke sana, bersembah
sujud menghadap kepada Ida l Kakiyang- kakek kita, agar kita mengetahui
keberadaan beliau, agar jangan seperti ungkapan yang mengatakan, tahu akan nama
namun tidak tahu akibat rupa. Lagi pula kalau Kanda pikir, mungkin sekali Ida l
Kakiyang – kakek kita tidak tahu sama sekali akan keberadaan kanda dinda,
karena tidak ada yang menceriterakan perihal keberadaan ayahanda kita serta
kita bertiga”.
Baru didengar perkataan kakaknya demikian, maka menjawablah Ida
Sang Bang Tulusdewa dengan sangat sopan: “Inggih palungguh kanda, mengenai
perihal itu, perkenankanlah dinda menyampaikan pendapat, namun mohon dimaklumi,
bila mana ada yang tidak berkenan di hati kanda. Perihal keinginan kanda,
disebabkan niat bhakti kehadapan Ida l Kakiyang, memang wajar sekali. Dinda
sangat berbesar hati. Namun bila mana kanda akan pergi ke Jawa, untuk menghadap
kepada Ida Kakiyang kakek kita, apalagi berkeinginan untuk bertempat tinggal di
sana, mohon maaf dan mohon perkenan kakanda, bahwa dinda tidak bisa mengikuti
kehendak kanda itu. Biarkanlah hamba di sini di Bali, agar ada yang melanjutkan
yadnya dari ayahanda Ida Sang Pendeta, sebagai tukang sapu di sini di Besakih,
seperti menjadi petuah dari ayahanda”.!
Kemudian Ida Bang Wayabiya menghaturkan sembah: “Inggih palungguh
kanda Sang Bang Banyak Wide yang sangat dinda hormati, dinda juga, bukan karena
kurang bhakti dinda kepada Ida l Kakiyang, walaupun belum dinda ketahui. Yang
nomor dua, tidak kurang bhakti serta kasih dinda bersaudara dengan kakanda.
Namun kalau berpindah tempat meninggalkan Bali ini, berat rasanya bagi dinda,
karenanya, mohon maaf pula, dinda juga tidak ikut mendampingi kanda, seperti
pula pada yang dikatakan kanda Tulusdewa baru. Dinda tidak sekali akan
menghalangi niat luhur kakanda untuk pergi ke Jawa, menghadap kepada Ida l
Kakiyang. Itu juga sangat pantas. Kalau kakanda berkehendak akan pergi, silakan
kakanda pergi sendiri, agar ada yang memberitakan keberadaan di Bali ke hadapan
Ida l Kakiyang. Biarkan dinda berdua di sini di Bali “.
Baru mendengar hatur adik-adiknya berdua, lama Ida Sang Banyak
Wide berdiam, berpikir-pikir. Karena memang tidak pernah berpisah dan mereka
saling mengasihi satu sama lainnya. Kemudian beliau berkata: “Inggih, kalau
demikian pendapat dinda berdua, patut juga, di Bali agar ada, ke Jawa, menurut
kanda, juga agar ada yang memberitahukan perihal keadaan kita di Bali ini,
seperti yang dikatakan dinda Wayabiya baru. ltu sebabnya perkenankan kanda akan
sendirian pergi ke Jawa, untuk menghadap kepada Ida l Kakiyang. Namun ada
petuah kanda kepada dinda berdua. Walaupun kanda tidak lagi berada di sini
bersama dinda berdua, di mana saja mungkin kanda – dinda berdiam, kalaupun
kanda – dinda menemui kebaikan atau keburukan, agar supaya tidak kita lupa
bersaudara sampai nanti kepada keturunan kita di kelak kemudian hari. Ingat
betul nasehat suci dari Ayahanda kita: Ala Ayu Tunggal! Ayu tunggal, Ayu kabeh.
Ala tunggal, ala kabeh! Duka dan suka tunggal! Kalau satu orang mendapatkan
kegembiraan, agar semuanya bisa ikut menikmatinya.
Demikian juga kalau salah satu mengalami kedukaan agar semuanya
merasakannya. Mudah-mudahan kita semuanya bisa bertemu kembali. Kalau tidak
kanda yang bisa bertemu dengan dinda, semoga anak cucu kita bisa bertemu serta
mengingatkan persaudaraan kita di kelak kemudian hari”.
Inggih, silakan palungguh kanda pergi, dinda menuruti semua apa
yang kanda katakan, Semoga kanda selamat, serta bisa bertemu dengan Ida l
Kakiyang”. Demikian hatur adiknya berdua.
Pada hari yang baik, Ida Bang Banyak Wide mohon diri kepada saudaranya
berdua, seraya berangkat. Diceriterakan perjalanan Ida Bang Banyak Wide,
demikian banyaknya desa, perumahan serta hutan dilewatinya, lembah dan jurang
yang dituruninya, jarang sekali berjumpa dengan manusia. Banyak sekali
kesulitan yang ditemuinya di jalan tak usah diceriterakan, namun Ida Bang
Banyak Wide, walau masih jejaka muda-belia, demikian teguhnya kepada tekadnya,
tidak pernah takut dan khawatir menghadapi kesulitan dan hambatan di jalan.
Pada siang hari beliau berjalan, di mana beliau merasa lesu, di
sana berharap untuk beristirahat. Kalau hari sudah menjelang malam, beliau
bermalam di mana beliau mendapatkan tempat. Kalau kemalaman di desa, berupaya
beliau menumpang di tempat orang, namun seringkali beliau berada di tengah
hutan, dan paksa tidur di pohon-pohon kayu. Setiap kali beliau berjumpa dengan
orang, tidak lupa beliau menanyakan di mana negeri Daha itu.
Singkat ceritera, sampailah beliau di perbatasan negeri Daha.
Terkesan beliau akan keadaan negeri itu yang demikian ramai dan indah. Berbeda
sekali kalau dibandingkan dengan desa Besakih, yang sedikit bangunannya.
Bangunan di sana semua besar-megah serta memakai tembok yang tinggi dari batu
bata. Orang di sana semuanya memakai pakaian yang bagus – bagus. Jalannya juga
lebar, setiap beberapa meter ada lampu yang berderet di sisi jalan.
Setelah tenggelam sang mentari, kala itu nampak oleh beliau ada
sebuah bangunan seperti Jero, bertembok bata dengan memakai pintu gerbang kori
agung Di bagian luar dari bangunan yang serupa jero itu, ada balai-balai kecil:
bale panjang layaknya seperti tempat orang berteduh dan beristirahat. Di sana
lalu beliau berteduh dan beristirahat. Demikian gembiranya beliau, sebab
mendapatkan tempat beristirahat yang nyaman.
Tidak lama, karena demikian lesunya, sekejap beliau sudah
terlelap. Ternyata itu ternyata sebuah Griya – tempat seorang pendeta yang
bernama Ida Mpu Sedah Di sana, di bagian luar dari Griya Ida Pandita terdapat
sebuah batu ceper yang berukuran besar, sebagai tempat Pendeta Mpu Sedah
duduk-duduk tatkala beliau beranjangsana. Konon, dahulunya, di tempat batu itu,
tak seorangpun berani bermain atau lewat di sana, apalagi untuk mendudukinya.
Walau hanya seekor capungpun, kalau hinggap di tempat itu,. langsung akan
hangus terbakar.
Singkat ceritera, ketika hari itu Ida Pandita keluar untuk
berjalan-jalan, tiba-tiba beliau berhenti sejenak ketika melihat ada seorang
jejaka duduk di batu ceper itu. Lalu didekatinya seraya berkata: “Uduh kaki,
ndi sang kayeng tuan, agia tunggal-tunggal, eman-eman warnanta masmasku. Mwang
siapa puspatanira? Was duga-duga kawongane sira, dadine sira Kaki pasti
maweruha. Nah, anakku, dari megerangan sebenarnya ananda ini datang sendirian
ke mari. Kagum kakek menyatakan prabawamu. Siapa namamu, serta apa keluarga dan
kelahiran ananda? Ayuh jelaskan agar kakek mengetahuinya!”
Kemudian Ida Sang Bang Banyak Wide berkata, seraya menghaturkan
sembah bakti “Singgih pukulun Sang Pendeta, hamba adalah cucu dari Sang Pendeta
Siddhimantra, ayahanda hamba adalah Sang Pendeta Angkeran. Nama hamba Sang
Banyak Wide, maksud tujuan hamba adalah ingin bertemu dengan kakek Kakiyang
hamba di Griya Daha, Ida Sang Pendeta Siddhimantra itu”.
Baru didengar hatur Ida Sang Banyak Wide demikian, menjadi sangat
terharu perasaan Ida Pandita, seraya berkata: “Aum cucuku tercinta, kalau
demikian maksud tujuan cucunda, ketahuilah bahwa kakek cucunda ini memiliki
hubungan saudara dengan kakekmu itu yang kini sudah tiada. Karena itu sekarang
yang paling baik, dengarkan kakekmu ini, jangan dilanjutkan keinginan cucunda
pulang ke Griya kakekmu. Di sini saja cucunda berdiam, mendampingi kakekmu ini
yang sudah tua renta. Cucuku menjadi pewaris keturunanku, sebab kakekmu ini
tidak memiliki keturunan atau anak. Dulu putera kakek ada Iaki-laki seorang,
bernama Sira Bang Guwi. Sudah dibunuh oleh sang raja, dosanya karena
membangkang kepada raja. Sebab itu sekarang putung – tidak berketurunan kakekmu
ini, semoga berkenan cucunda menjadi sentana-keturunan pewarisku, yang akan
memelihara tempat kediaman ini kelak di kemudian hari. Sekarang cucunda yang
memerintah di kawasan ini. Di samping itu ada petuah Kakek, sebab cucunda
memakai pegangan Ke-Budhaan, sementara kakekmu ini melaksanakan Kesiwaan,
karena itu sekarang cucunda janganlah lagi menggelar Kebudhaan, gelaran Siwa yang
cucunda jadikan pegangan “.Demikian wacana Ida Mpu Sedah kepada Ida Bang Banyak
Wide yang memahami dan menyetujui kehendak Ida Pandita, sehingga akhirnya Ida
Bang Banyak Wide diresmikan sebagai putera angkat – kadharma putera.
Sangatlah sukacita perasaan Sang Pendeta. sangat dimanja putranya
Ida Bang Banyak Wide. Singkat ceritera, sekarang telah berdiam Ida Sang Bang
Banyak Wide di Griya Daha mendampingi kakeknya Ida Mpu Sedah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar