GALUNGAN
Merupakan piodalan jagat (hari raya umum/ hari raya kenegaraan/hari raya semesta) yang dirayakan oleh semua lapisan masyarakat untuk merayakan kemenangan Dharma (kebenaran) menaklukkan adharma (ketidakbenaran), dengan memuja Hyang Widhi, memohon semoga berkenan melimpahkan kesejahteraan, ketenangan lahir-batin bagi alam semesta (jagat raya) beserta seluruh isinya. Di tiap-tiap rumah-tangga menghaturkan penghormatan juga kepada para dewa pitara (leluhur) di merajan (tempat pemujaan keluarga) masing-masing.
Hari Úuci Galungan datangnya setiap 210 hari sekali (6 bulan) yaitu tepatnya pada hari Budha Kliwon wuku Dunggulan saat itu umat Hindu melaksanakan persembahyangan di tempat Úuci keluarga dan tempat Úuci umum dengan tujuan memperingati hari kemenangan Dharma melawan Adharma. Sehari sebelum Galungan disebut hari Penampahan Galungan. Pada hari raya Galungan umat Hindu membuat penjor dan dipasang di depan rumah. Tujuannya adalah sebagai tanda terima kasih atas kemakmuran yang dianugrahi Hyang Widhi.
CERITA MAYADANAWA
Pada zaman dahulu, bertahta seorang
raja Mayadànawa, keturunan Daitya (Rakûasa) di daerah Blingkang (sebelah Utara
Danau Batur), anak dari Dewi Danu Batur. Beliau adalah raja yang sakti dan
dapat mengubah diri menjadi bentuk yang diinginkannya. Beliau hidup pada masa
Mpu Kul Putih. Karena kesaktian sang raja, daerah Makasar, Sumbawa, Bugis,
Lombok dan Blambangan dapat ditaklukkannya.
Karena kesaktiannya, Mayadànawa menjadi
sombong dan angkuh. Rakyat Bali tak diizinkan lagi menyembah Tuhan, dilarang
melakukan upacara keagamaan dan merusak semua Pura. Rakyat menjadi sedih dan
sengsara, namun tak kuasa menentang Raja yang sangat sakti. Tanaman penduduk
menjadi rusak dan wabah penyakit menyerang di mana-mana.
Melihat hal tersebut, Mpu Kul Putih
melakukan yoga semadhi di Pura Besakih untuk mohon petunjuk dan bimbingan
Tuhan. Beliau mendapat pawisik/petunjuk agar meminta pertolongan ke India
(Jambùdwìpa). Kemudian diceritakan pertolongan datang dari Sorga, yang dipimpin
oleh Bhaþþàra Indra dengan pasukan yang kuat dan persenjataan lengkap.
Dalam
penyerangan melawan Mayadànawa, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Citrasena dan
Citràògada. Pasukan sayap kiri dipimpin oleh Sangjayantaka. Sedangkan pasukan
induk dipimpin langsung oleh Bhaþþàra Indra. Pasukan cadangan dipimpin oleh
Gandarwa untuk menyelidiki keadaan keraton Mayadànawa, dengan mengirim Bhagawan
Nàrada.
Menyadari kerajaannya telah terancam,
Mayadànawa mengirimkan mata-mata untuk menyelidiki pasukan Bhaþþàra Indra serta
menyiapkan pasukannya. Ketika pasukan Bhaþþàra Indra menyerang, pasukan
Mayadànawa memberikan perlawanan yang hebat. Pasukan Bhaþþàra Indra unggul dan
membuat pasukan Mayadànawa melarikan diri bersama patihnya yang bernama Kala
Wong.
Karena matahari telah terbenam, peperangan dihentikan. Pada malam
harinya, Mayadànawa menciptakan mata air yang beracun di dekat tenda pasukan
Bhaþþàra Indra. Agar tidak meninggalkan jejak, ia berjalan mengendap dengan
memiringkan telapak kakinya, sehingga daerah itu kemudian dikenal dengan nama
Tampak Siring.
Keesokan harinya banyak pasukan
Bhaþþàra Indra yang jatuh sakit karena minum air yang beracun. Melihat hal itu,
Bhaþþàra Indra kemudian menciptakan mata air yang kemudian dinamakan Tìrtha
Empul, dan semua pasukannya bisa disembuhkan kembali. Bhaþþàra Indra dan
pasukannya melanjutkan mengejar Mayadànawa. Untuk menyembunyikan dirinya,
Mayadànawa mengubah dirinya menjadi Manuk Raya (ayam), dan daerah tersebut
dinamakan Desa Manukaya. Bhaþþàra Indra tak bisa dikibuli dan terus mengejar.
Mayadànawa mengubah dirinya menjadi Buah Timbul sehingga daerah itu dinamakan
Desa Timbul, kemudian menjadi Busung (janur) sehingga daerah itu dinamakan Desa
Blusung, menjadi Susuh sehingga daerah itu dinamakan Desa Panyusuhan, kemudian
menjadi Bidadari sehingga daerah itu dinamakan Desa Kadewatan dan menjadi Batu
Paras (batu padas) bersama patihnya Si Kala Wong. Batu padas tersebut dipanah
oleh Bhaþþàra Indra sehingga Mayadànawa dan patihnya menemui ajalnya.
Darahnya
terus mengalir membentuk sungai yang disebut Sungai Petanu. Sungai itu dikutuk
oleh Bhaþþàra Indra yang isinya, jika air sungai itu digunakan untuk mengairi
sawah akan menjadi subur, tetapi ketika dipanen akan mengeluarkan darah dan berbau
bangkai. Kutukan itu berumur 1000 tahun.
Kematian Mayadànawa tersebut
diperingati sebagai Hari Raya Galungan sebagai tonggak peringatan kemenangan
Dharma (kebenaran) melawan Adharma (kejahatan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar