ÚIWA RÀTRI
Memuja Hyang Widhi dalam prabhawanya sebagai Hyang Úiwa yang mahakuasa melebur (mendaur ulang) segala ciptaan-Nya, Pemujaan dilaksanakan dengan brata Úiwa Ràtri yaitu: jàgra (tidak tidur), upawàsa (tidak makan-minum) dan mona brata (tapa bisu) tidak berkata-kata kotor atau buruk.
Hari raya Úiwaràtri di
Indonesia kerap disebut dengan Úiwalàtri, yaitu kata ràtri berubah
menjadi làtri. Úiwaràtri berasal dari kata “Úiwa” dan “ràtri”,
yang dimaksud dengan Úiwa adalah Sang Hyang Úiwa, sedangkan kata ràtri
berarti malam. Dengan demikian yang
dimaksud dengan kata Úiwaràtri adalah malam Úiwa. Malam Úiwaràtri adalah malam payogaan
Sang Hyang Úiwa yang berfungsi sebagai dewa pelebur (pralina). Úiwaràtri
diadakan setiap setahun sekali yaitu purnama Tilem sasih Kepitu.
Dalam lontar Úiwalàtri Kalpa diceritakan sebagai berikut:
Ada seorang pemburu yang
bernama Lubdhaka yang tinggal di sebuah desa terpencil. Setiap hari
pekerjaannya adalah berburu dan membunuh binatang untuk menghidupi keluarganya.
Berdasarkan profesinya sebagai pemburu seolah-olah setiap hari Lubdhaka
mengumpulkan dosa karena melakukan hiýsà ‘membunuh’ atau ‘menyakiti’
binatang hasil buruannya tersebut.
Pada suatu hari Lubdhaka
berburu di tengah hutan belantara, namun tidak ada seekor binatang yang diperoleh
Lubdhaka. Namun demikian Lubdhaka tidak mengenal lelah dan putus asa
sedikitpun. Lubdhaka terus masuk ke tengah hutan yang lebat. Sampai akhirnya
suatu sore ternyata Lubdhaka belum juga mendapatkan seekor binatang buruan.
Karena hari sudah mulai gelap, Lubdhaka memutuskan untuk tidak pulang
kerumahnya, melainkan menginap di tengah hutan.
Di
tengah hutan terdapat pohon-pohon yang besar dan menjulang tinggi, Lubdhaka
naik di antara pohon-pohon yang bercabang-cabang tersebut, kebetulan pohon itu
berada di pinggiran kolam yang dahannya menjulur ke atas kolam tersebut.
Lubdhaka akhirnya naik ke atas pohon tersebut agar terhindar dari binatang
buas. Untuk menjaga agar dirinya tetap terjaga di atas pohon serta tidak jatuh
dari atas pohon, Lubdhaka memetik selembar demi selembar daun bila yang
dijatuhkan ke bawah pohon yang ia naiki. Tanpa disadarinya, daun-daun bila yang
Lubdhaka jatuhkan dari atas pohon tersebut mengenai sebuah batu besar yang
ternyata adalah lingga untuk memuja Dewa Úiwa dengan cara melaksanakan tapa,
brata, yoga, samàdhi. Akhirnya perbuatan Lubdhaka
diketahui oleh Bhaþþàra Úiwa. Karena Lubdhaka telah melaksanakan tapa,
brata, yoga, samàdhi maka Dewa Úiwa mengampuni perbuatan Lubdhaka. Kelak
jika Lubdhaka meninggal dunia rohnya akan diterima di alam Úiwa loka.
Singkat cerita, karena
hari sudah mulai terang Lubdhaka turun dari pohon dan pulang dengan tangan
hampa karena tidak mendapatkan seekor binatang buruan untuk dijadikan makanan
sekeluarga. Hari berganti hari, tahun berganti tahun Lubdhaka sudah semakin tua
renta sering jatuh sakit dan pada akhirnya meninggal. Roh Lubdhaka disambut
oleh bala Dewa Yamadipati untuk diberikan hukuman karena pekerjaannya membunuh
binatang yang tidak berdosa. Tidak lama kemudian datanglah prajurit Dewa Úiwa untuk
menjemput roh Lubdhaka untuk dibawa ke alam Úiwa. Terjadilah perdebatan antara citra
(cakra) bala Dewa Yamadipati dengan prajurit Dewa Úiwa. Akhirnya
setelah dijelaskan oleh Dewa Úiwa, karma baik Lubdhaka pada waktu
Úiwaràtri melaksanakan tapa, brata, yoga, samàdhi maka cakra bala
Dewa Yamadipati mengalah untuk kemudian menyerahkan roh Lubdhaka untuk dibawa
ke alam Úiwa loka oleh prajurit Dewa Úiwa.
Demikianlah riwayat
Lubdhaka, walaupun pernah berbuat dosa, namun karena tekun melaksanakan tapa,
brata, yoga, samàdhi terutama pada saat Úiwaràtri, maka dosa-dosanya
dihapuskan oleh Dewa Úiwa. Dengan adanya cerita Lubdhaka seperti itu diharapkan
kita sebagai umat Hindu untuk melaksanakan tapa, brata, yoga, samàdhi.
Melaksanakan jàgra atau tidak tidur semalam suntuk untuk meningkatkan
kualitas spiritual dan úraddhà bhakti kita kepada Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar